p r o l o g

195 Words
NADINE 'S POV Aku berjalan ke arah halte dengan headset di telinga dan sebuah novel di tanganku. Beginilah aku jika berada di tempat-tempat umum dengan kumpulan orang-orang yang sama sekali tidak kukenali. Berbeda jika aku berada di sekitar orang-orang terdekatku. Maka dari itu mengapa orang-orang kerap mengecapku sebagai manusia dengan tingkat kepedulian rendah. Ah, orang-orang memang mudah untuk melabeli kehidupan orang lain, bukan? Aku duduk di bangku halte yang tampak ramai pagi ini. Membaca novel yang baru seminggu lalu aku beli bersama Aldric. Namanya Azka Aldric. Orang-orang memanggilnya Azka, berbeda denganku. Seulas senyum tipis muncul saat aku memikirkan Aldric. Dia lelaki dengan badan tegap juga tinggi. Alis tajam serta mata seperti elang saat melihat orang lain, namun teduh sekali kala menatapku---setidaknya itulah yang kurasakan. Tapi jika kalian mengartikan kalau Aldric suka padaku, kalian salah. Dia hanya menganggapku sahabat. Sahabat yang selalu dia cari untuk berkeluh kesah ataupun berbagi kegembiraan. Jika kalian bertanya siapa yang Aldric suka, aku punya jawabannya.  Aqila. Aku ingin sekali berkata pada Aqila, bahwa dia adalah seorang yang beruntung. Tidak perlu melakukan apapun untuk membuat Aldric menyukainya. Aqila memang beruntung. Adikku satu-satunya itu memang terlahir sebagai seorang yang beruntung. * * *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD