B A B 1

1273 Words
"Pada akhirnya, hanya senyum penuh kepalsuan yang dapat aku tunjukkan. Membiarkan hatiku remuk di dalam, membiarkan kau menghancurkannya secara perlahan. Rasanya teramat perih dan menyakitkan." —Aku, dan kursi bus kota lusuh yang busanya sudah mencuat. NADINE 'S POV "NADINE! Itu jamnya diliat! Kamu mau sekolah apa enggak?" teriakan mama mampu membuatku sadar dari tidur singkatku. Bagaimana tidak, tugas yang menumpuk harus aku selesaikan hingga dini hari. Dan aku hanya tidur selama 2 jam. Aku berhambur cepat ke kamar mandi. Mandi secepat kilat lalu selesai. Tidak lupa dengan seragam yang kukenakan secara asal, yang penting kancing bajuku tidak tinggi sebelah! Ayolah, aku tidak punya waktu untuk lebih rapi. Setelah itu, aku sibuk mencari benda persegi panjang berwarna silver yang semalam entah kuletakkan dimana. Sial, kenapa tidak ketemu? "Nadine, buruan nanti kamu telat," teriakan mama yang terdengar lagi hanya membuatku memutar mata sebal. "Yas! Akhirnya ketemu," ucapku lega pada diri sendiri. Langsung saja aku mengambil headset dari atas meja belajar dan memungut sepatu converse dari rak sepatu. Aku membuka pintu kamar dan berjalan keluar dengan memegang sepasang sepatu lusuhku di tangan kiri. "Ya ampun! Kamu mandi nggak?" tanya mama dengan tatapan tajamnya tepat ketika aku sudah turun dan tiba di ruang makan.. "Mandilah, parfum juga banyak," jawabku dengan cepat mengambil roti bakar yang sudah disediakan. "Buruan, nanti karna kamu juga Mama ikutan telat ngantor." "Yaudah gausah ngantor," ucapku ketus lalu berjalan mendahului mama. Selalu seperti itu, selalu kantor, kantor, kantor, kantor. Aku bingung, apa uang yang Papa dapatkan selama bekerja masih kurang? Aku memasuki mobil dengan tatapan datar sambil memakan rotiku dengan lahap. Mama sudah siap disebelahku. Tanpa berkata apa-apa lagi, mobil inipun bergerak menjauhi rumahku. Beberapa menit dilalui dalam keheningan, namun setelah itu terganti karena Mama bertanya bagaimana keadaan belajarku. "Biasa aja, Nadine tetep pinter kayak biasa," jawabku santai. "Masih deket sama Azka?" tanya Mama yang membuatku langsung menatap Mama, namun seakan sadar, aku langsung mengalihkan wajahku ke arah lain. "Masih," jawabku singkat. Karna mama bertanya seperti itu, membuatku mengingat kekesalan yang sekarang aku simpan pada Aldric. Percakapan di kantin kemarin berakhir dengan aku yang meninggalkan Aldric sendirian. "Dia udah lama nggak main ke rumah, mama kira kalian berantem." Aku yang melarang Aldric ke rumah, dan lebih mengajak Aldric bertemu di tempat lain. Karena aku tau, aku hanya akan menjadi nyamuk mengerikan sedangkan Aldric akan sibuk bersama Aqila. Ya, silahkan katakan saja aku egois. "Kita berdua masih temen." "Baguslah," ucap mama lalu keadaan kembali hening. Sampai di sekolah, semuanya sudah hening. Gerbang sudah tertutup. Mama memandangku dengan tatapan kasihan. Oh, aku sungguh tidak butuh tatapan seperti itu. Hal seperti ini sangat mudah untuk aku atasi seorang sendiri. Aku lantas menyalami tangan mama untuk berpamitan dan keluar dari mobil. Ketika berjalan santai menuju gerbang, kulihat satpam sekolah yang sangat dekat denganku sedang membaca koran di bangku posnya. "Shhhhh! Bang! Bang Ponik, Woi!" teriakku geram akhirnya dan Bang Ponik kaget melihatku disini. Dan tanpa kuminta, Bang Ponik dengan cepat membuka gerbang dan membiarkan aku masuk. "Kok bisa telat?" "Nugas," jawabku langsung berlari. "Makasih ya, Bang. Tar siang cari gue aja." "Oke, Neng." Kulihat senyum cerah di wajah bang Ponik. Aku berjalan mengendap menuju UKS. Jam pertama adalah Bahasa Indonesia. Aku tidak mungkin masuk jika pada akhirnya aku hanya dipermalukan oleh guru pecinta warna pink tersebut. Saat sampai di UKS, aku mengintip sebentar, dan bersyukur saat mendapati UKS dalam keadaan sepi. Aku langsung masuk dan mencari sebuah kasur berniat untuk melanjutkan tidur. Belum 10 detik mataku terpejam, dapat kurasakan ada yang memperhatikanku. Perlahan aku membuka mata dan melihat seseorang di depanku. Aku memilih duduk dengan terpaksa. Dia, laki-laki yang dikagumi oleh warga sekolah. Dia Sean. Kapten basket yang sangat dikenal. Dapat kulihat alisnya yang bergerak seolah bertanya, 'Lu ada kepentingan apa disini?' "Gue gak gangguin lo kan, jadi jangan ganggu gue," ucapku datar padanya dan mencoba untuk memejamkan mata lagi. "Gue gak niat gangguin lo. Penting banget gangguin lo?" Tangannya dengan cepat mengambil bantal di belakangku. "Ini! Gue cuma mau ambil bantal ini. Nggak minat gangguin lo." Ha? Apa katanya? "Lo kalau ngomong bisa nggak, nggak usah nyolot? Ini masih pagi." "Dosa apasih Azka sampai bisa sedeket ini sama lo. Lo kasih pelet apaan temen gue?" Pertanyaannya sedikit menjentik hatiku---entah niatnya memang hanya untuk bercanda atau memang serius. Apa aku tidak pantas bersama Aldric? Kenapa orang-orang sepertinya sangat menentang kedekatan kami, hubungan ini hanya sahabat. Tidak lebih dari itu. Tapi pada akhirnya aku memang memilih untuk tidak memperdulikan ucapan mereka. Terserah mereka saja mau melakukan apa selagi tidak menyakitiku secara fisik, maka itu sudah cukup. "Lo bisa pergi? Gue mau lanjut tidur," ucapku menatap Sean masih dengan raut datar. "Lo bakalan terus sakit kalo ngarepin dia terus,” ucap Sean tiba-tiba dengan nada sendu. Aku dapat melihat Sean yang menghela napas, namun aku sendiri juga buru-buru membuang muka. "Lo nggak akan pernah bisa gapai bintang. Lupain obsesi lo." "Lo gausah nyampurin urusan gue, deh, Yan. Ini hati gue, bukan hati lo. Dan terlebih lagi, ini hidup gue. Dan gue yang nentuin kemana gue mau ambil langkah. Apa salahnya gue coba buat gapai bintang? Gue cuma pengen nyoba, walaupun gue tau kok ini tuh mustahil banget." "Nad, lo taukan, kalau sebuah kaki nggak bisa dimasukin ke sepatu yang terlalu kecil buat dia." Sean diam, menatapku dengan pandangan yang sangat aku benci. "Sepatu itu sempit, dan lo tetep mau coba sepatu sempit itu. Lo maksa buat masukin kaki lo di sepatu itu. Itu nyakitin, Nad. Dan lo tau apa akibatnya? Kaki lo bakal luka." Aku masih diam, enggan melawan perkatannya. "Sama kayak hati lo. Kalau lo terlalu maksain, lo yang bakal ngerasain lukanya." Suara Sean berubah lirih. "Gue udah lari sejauh ini, Yan," ucapku menatap Sean memohon. "Dan gue udah banyak dapetin luka. Tapi gue tetep mau coba. Please jangan paksa gue, Yan." "Ok, gue cuma mau ingetin lo itu doang. Tapi inget aja, kalau gue selalu ada di samping lo." Kemudian Sean meletakkan kembali bantal yang sedari tadi dia pegang dan berjalan keluar UKS. Samar, aku tersenyum menanggapi ucapan Sean. Aku tahu dia serius ketika mengatakan hal tersebut. Aku dan Sean, memang kadang kala hobi sekali berkata ketus satu sama lain. Namun tidak dipungkiri kalau kami juga bisa saling mendukung, dan itu yang terpenting. * * * Jam istirahat aku berjalan ke arah kelas. Meletakkan tas ku dan setelah itu berjalan kembali keluar menuju toilet. Aku masuk ke salah satu bilik toilet dan duduk diatas closet. Tidak melakukan apapun selain merenung. "Kak Azka? Kayaknya dia dikasih sesuatu yang aneh-aneh deh sama kak Nadine. Kak Nadine cantik sih, cuma karna dia deket sama kak Azka, kak Nadine jatuhnya jelek." Apa yang dia katakan? Apakah dia tau kalau di dalam salah satu bilik toilet terdapat seorang yang dia bicarakan? "Kak Nadine kan miskin. Kemana-mana aja pake bis, makanya dia deketin kak Azka. Ya cari kesempatanlah. Harusnya kak Azka tau kalau kak Nadine cuma manfaatin dia." Apa katanya? Apa dia tau kalau papa adalah salah satu donatur terbesar sekolah ini? Kenapa banyak sekali orang-orang yang menilai seseorang hanya dari tampilan dan kebiasaan. "Kalian berdua itu terlalu iri sama kak Nadine. Kenapa kalian harus urusin kehidupan orang lain sih sedangkan hidup kalian aja belum bener." Aku bernafas lega saat mendengar perkataan temannya yang lebih terdengar sehat. Kenapa dia mau berteman dengan dua orang gila itu? Aku tetap berada disini sampai terdengar bel berbunyi. Setelah itu merapikan diri di depan kaca. Saat merasa siap, aku keluar dari toilet dan berjalan ke kelas. Aku menatap lurus ke depan hingga terdengar suara orang yang begitu aku kenal memanggil namaku. "Nadinnnnn!" Aku membalikkan badan, menahan senyum saat melihat Aldric berlari dengan nafas putus-putus. "Abis ngapain lo?" "Ngejar elo!" Andai lo beneran ngejar gue....   ...t b c...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD