LITTLE BLACK DRESS- 01

2308 Words
"Dion!" Suara keras dari ujung lorong tak bisa menghentikan seorang wanita muda berparas cantik, gaya rambut ikal sebahu yang diikat penuh ke atas, hidung lancip, bibir bawah sedikit tebal, dan alis yang dibiarkan begitu saja tanpa polesan lain. Dia melangkah anggun, sambil membawa glove kesukaan nya. Dionne Mustika baru saja selesai berlatih, dan pelatihan yang didapat hari ini begitu keras. Sehingga dia merasa badan nya lelah. Namun, Dion memiliki cara untuk menyembuhkan. Langkah tak beraturan dari belakang, berhasil mendahului Dion. Dia pun berhenti sambil mendengus kesal, "Ada apa sih? Teriak-teriak mulu, udah mirip di angkasa raya. Kamu pikir ini di mana? Berisik tau enggak? Di dalam itu …," Telapak tangan gadis berambut panjang diwarnai merah itu seketika membungkam mulut Dion dengan telapak tangan. Lalu Rasti berkata, "Jangan galak! Kamu mau Crush itu kabur? Denger suara kamu begini, dia jadi males kenal sama lo!" Dion melepas kasar tangan Rasti. "Aku tau, cuma kamu juga enggak perlu teriak enggak jelas! Di ruang sebelah ada latihan yoga, kamu bisa kena skors!" Tiba saja Rasti tertawa. "Ah, enggak. Kamu tenang aja! Ayo, katanya mau ketemu sama Crush kamu yang ganteng tapi lemah." Mendengar maksud dari Rasti, tangan Dion menahan lengan sahabatnya. "Tau dari mana dia lemah? Kamu …," "Iya, aku sempet liat buku harian kamu. Kalau … F itu lemah, sukanya juga klub motor lemah!" seru Rasti menambahkan hinaan nya. Sungguh, Dion tidak sempat memberi jawaban. Dia hanya mengikuti Rasti dengan jangkah kaki pelan, dan sesampainya di dalam ruang gym Dion hanya berdiri di dekat meja kasir. Matanya memutar, mencari di mana sosok yang biasa hadir di jam 11 siang. Dekat dengan mesin pembentuk otot bahu, tampak dari belakang punggung lebar itu mengkilat tersiram oleh keringat. Benar-benar memikat, dan Dion suka dengan warna singlet yang baru milik pria itu. Tak lama, Dion pun memilih tempat duduk di dekat mesin treadmil. Mencari suasana hati, meski dia lelah tetap saja semangatnya membara ketika pria itu menyapa nya dengan senyuman. "Hai, Dion. Apa kabar?" tanya pria bermata sipit, rambut kemerahan dan alis tebal menghampiri Dion. Dada Dion serasa panas. "Hai, Frey. Baik, tumben jam segini udah keliatan panas. Datang dari jam berapa, eh?" Frey Saskara menarik kursi yang ada di samping Dion, sedikit menjaga jarak. "Udah dari 15 menit yang lalu. Kamu, baru selesai latihan ya?" Dion menelan ludah saat melihat keringat Frey menetes di antara caruk leher. "Iya, aku … Baru aja latihan, cuma sebentar sih. Capek!" Sontak saja Frey memukul lengan Dion. "Ayo dong, semangat! Kan kamu jagoan nya Jakarta Selatan!" "Ah enggak juga, banyak kok yang jago. Aku cuma baru belajar, masih awam!" celetuk Dion merendah. Frey langsung saja menyatukan kedua alis, sehingga matanya yang kecil tampak semakin rapat. "Belajar tanding kelas dunia, iya 'kan?" Jujur saja Dion enggan jika mendapat pujian, dan matanya tak pernah bisa lepas dari wajah tampan keturunan Jepang yang ada di depannya. Tetapi, Dion tidak dapat menggapai sosok Frey yang tampan dan memiliki pergaulan luas. Dion tertunduk malu, dia ingat akan apa yang ada dalam hidup ini. Mana mungkin ada pria yang sudi menikahi nya, sedang dia telah memiliki seorang anak. "Hei, kenapa melamun? Ayo, bantuin! Enggak sibuk 'kan?" tanya Frey melayangkan lamunan Dion. "Iya," jelas Dion terkejut. "Ok, tapi … Bantuin apa nih?" Frey mengerlingkan mata. "Biasa lah, partner!" Jujur saja, setiap Frey mengajaknya untuk berolahraga bersama, Dion merasa terjebak lebih dalam. Tanpa menunggu lama, Dion pun mengganti pakaian nya. Seperti biasa, dia akan meninggalkan sepatu nya di sisi rak. Memilih untuk melangkah tenang dengan sandal jepit, karena bagi Dion berolahraga tanpa alas kaki membuatnya nyaman dan bebas bergerak. "Eh, enggak pakai apa-apa itu kakinya? Nanti ketimpa plate gimana?" tanya Frey peduli. "Aman," Dion pun sebenarnya tidak sanggup jika harus menerima perhatian Frey. "Udah biasa kok, lagian hari ini aku latihan kaki. Jadi … Biar enjoy aja!" "Oh, ya udah kalau gitu. Kamu bantuin aku buat angkat aja ya, jangan dibantu saat aku naik!" ucap Frey mengenai teknik pada mesin otot bahu. Frey pun mengatur beban maksimal, di mana Dion seketika membulatkan mata. Jelas saja Frey menyadari, dia merasa sudah menjadi seseorang yang hebat. Ya, dengan membuktikan bahwa dia kuat. "Kamu kenapa, Dion?" "Um … Itu, kamu yakin? 100 kilogram?" Dion heran. "Iya," jawab Frey tenang kemudian duduk di mesin Shoulder Press. "Siap ya, Dion?" "Ya," Dion memberi tanda dan tangannya berada di sisi pegangan mesin. "Siap, bilang berhenti ya kalau emang kamu udah enggak sanggup!" Frey menempatkan posisi di tempat duduk, mulai mengatur posisi tangan dan membusungkan d**a. Pelan, dia menopang beban ke atas, lalu bawah dan pelan lagi mendorong ke atas hingga ketiga kalinya. Terdapat suara menahan berat, dan Frey hanya bisa menahan di gerakan kelima. "Akhirnya," Frey merasa puas lalu dia berdiri. "Eh, tapi … Tanganmu enggak kenapa-napa 'kan?" Belum sempat Dion memberi jawaban, dia telah dikejutkan oleh tangan Frey yang menopang lengannya. Diangkat, kemudian diberi pijatan pelan di sana. Kemudian Dion melerai nya, dia merasa tidak enak hati dengan dirinya sendiri walau sebenarnya senang akan semua perhatian Frey. "Eh, enggak. Aku baik-baik aja kok, aman!" "Yakin?" Dion menatap liar ke sana kemari, demi menghindari sorot mata Frey yang bisa kapan saja membuatnya lemas. "Iya, tenang aja. Kuat lah segitu, kan cuma bantu doang! Ini kamu udah 'kan? Berapa set sih?" Kemudian Frey menoleh ke bagian pemberat mesin. "Udah selesai sih, ini set terakhir. Kenapa? Masih mau bantuin?" "Boleh," jawab Dion cepat. Lalu Frey mengangguk pelan. "Ok, satu kali lagi. Dan … Jangan dibantu waktu aku turun ke bawah ya!" Dion menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. "Ok, tenang aja!" Dengan tempo yang sama, Frey mulai menahan beban ke atas lalu ke bawah. Begitu berlangsung hingga beberapa kali. Dan satu repetisi terakhir, Frey menahan suaranya. Terdengar merdu di telinga Dion lalu beban itu diturunkan. Ya, Frey merasa puas dengan memaksimalkan kemampuannya. Keringat yang berlalu di pelipis dan dagu, membuat Dion semakin ingin tinggal lebih lama di samping Frey. Tetapi, dia memaksakan dirinya untuk segera menjauh. "Aku mau latihan dulu, kalau ada yang perlu dibantu bilang aja ya!" "Ok, siap Dion!" ucap Frey sambil memberi hormat. Lalu Dion menuju ke mesin squat manual. Sesekali dia masih mencuri tatapan ke Frey. "Ya ampun, dia ganteng banget. Sialan, kenapa sih harus begini punya hati? Ribet deh ah!" Dengan mempersiapkan diri yang baik saat akan berolahraga, Dion tetap memerhatikan Frey dan secara tidak sengaja dia menemukan tatapan itu membalas. Dion menundukkan kepala, bahkan dia sudah tidak sanggup lagi menoleh hingga beberapa kali bergerak. [...] Usai menyelesaikan sesi hari ini, Dion telah mengundang Rasti untuk ikut bergabung dalam tongkrongan nya. Dan itu biasa dilakukan ketika Dion merasa bosan. Satu lagi, mengenai Rasti. Sebenarnya sosok itu tidak pernah ada, itu hanya semacam teman khayalan Dion sejak kecil. Seorang wanita cantik, di mana Dion menjadikan bayangan dalam pikiran sebagai sahabat. Dion sama sekali tidak memiliki seseorang yang bisa membuatnya nyaman selama ini, dia hidup dalam kesibukan menjadi seorang atlet dan Ibu untuk Yoda. Putra pertamanya yang kini sudah berusaha 7 Tahun. Kesendirian ini, Dion sudah mencurahkan segala isi hati kepada Rasti mengenai hari yang menyenangkan bisa menjadi partner olahraga Frey. "Tapi, di sana cewek yang biasa aku temui, namanya Devi. Dia kenal juga sama Frey, sedekat itu tadi. Coba deh lo bayangin!" "Mungkin dia cuma temen," Rasti mengaduk-aduk gelas berisi kopi s**u. "Enggak usah beranggapan yang aneh-aneh dulu deh!" "Tapi …," "Dion," Sebuah panggilan datang dari arah seberang, tempat duduk Dion di kafe pasca selesai latihan. Terlihat Devi melambaikan tangan, Dion pun membalas dengan senyuman. Ya, hanya dengan bibir sedikit terangkat. Kemudian menggeser tempat duduknya, dari dulu Dion hanya suka berada di dekat tembok. Itu bisa memudahkan punggung nya santai di sana, Dion paling tidak suka harus menahan punggung berlama-lama tanpa sandaran. "Sendirian aja nih," Devi pun duduk di sebelah Dion dan mengangkat satu tangan ke arah pelayan kafe. "Udah selesai latihannya? Tadi aku liat, kamu ada di sanggar karate." "Dojo," Dion tersenyum menahan tawa. "Namanya Dojo. Bukan sanggar, Devi!" Devi tertawa lantang, sambil menutupi bagian gigi depan berlubang. "Iya, iya. Aku emang enggak tau apa-apa soal karate. Bahkan aku aja baru pertama kali liat tuh sanggar. Eh, Dojo." Kesibukan baru Dion kini teralihkan saat dia melihat Frey keluar dari tempat gym, tampak pria itu terburu-buru sambil di tangannya memainkan kunci motor vespa nya. Dion terpaku, sesekali melirik berharap Frey menyapa. Dan ya, tangan itu melambai ke arahnya. Dion pun menanggapi berupa senyuman tipis, kemudian tertunduk kembali menatap buku menu. "Dion, permisi. Boleh aku liat buku menu nya?" tanya Devi menunggu, buku yang diberikan pelayan berada di pelukan Dion. Menyadari ada yang salah pada dirinya sendiri, Dion mendadak menarik napas berat. "Eh, iya. Maaf, maaf. Ini, kamu mau pesen apa?" Devi mengerutkan kening, menatap Dion lebih jeli hanya saja dia memilih diam. "Sini, biar aku liat dulu ya." Betapa tidak pantas sebenarnya, Dion menganggap sudah berlaku tidak adil pada pikirannya. Kenapa hanya Frey? Sedang Dion harus cepat-cepat pulang, dia tahu jika hari ini Yoda ada les tambahan. Tetapi, dia melirik Devi yang sedang asyik memilih menu. Dan Dion sebenarnya ingin tahu lebih banyak lagi mengenai Frey, dan bisa saja Devi memberikan informasi lain. Setelah Devi menentukan pilihan, Dion pun meringkus dompet dan ponsel ke dalam ransel. "Eh, aku harus pulang nih. Kamu … Di sini sendiri, enggak apa-apa 'kan?" Devi mendadak memalingkan wajah. "Hm … Tau gini, aku enggak usah pesen makanan. Gimana sih, ditemenin kok malah cabut?" Sebenarnya Dion tidak ada tujuan untuk berteman akrab dengan Devi. Saat itu, Devi hanya rekan ketika Dion memilih tempat olahraga angkat beban sebagai hiburan. Rupanya Dion melihat sosok Frey yang menjadi salah satu member, dia pun menjadikan dirinya juga sebagai member tempat gym. Lalu Dion jatuh cinta akan jenis olahraga satu itu, kemudian dia mengenal Devi dan teman-teman yang lain. Berakhir menjadikan semangat Dion kembali utuh, dia mempunyai keluarga baru. "Iya, deh iya. Aku temenin," Dion melihat arloji nya. "Sejam lagi aku pulang." "Nah, gitu dong! Bentar lagi temen-temen aku bakal ke sini, nanti aku kenalin ya." ucap Devi antusias. Mengenal banyak orang sebenarnya bukan hal penting bagi Dion, dan memberi kesempatan Devi untuk masuk ke kehidupan juga sesungguhnya itu sebuah maksud baginya. "Ya, kenalin aja. Tapi … Nanti bentar lagi aku pulang ya. Soalnya aku harus ngurus anakku dulu." Devi masih kurang percaya akan apa yang dikatakan Dion tentang anak. "Oh, ya enggak apa-apa. Ngomong-ngomong … Berapa usia anak kamu, Dion?" "Tujuh, kelas empat SD. Kalau … Anak kamu, Devi?" tanya Dion polos. "Aku … Kan belum nikah, Dion." jelas Devi menganggap pertanyaan Dion hanya candaan semata. Dion pun tersipu. "Eh, iya. Maaf, ya maaf." "Kenapa harus minta maaf? Biasa aja deh!" ucap Devi santai, sambil menatap bagian koridor ruang gym. Selalu terdapat sesuatu yang tidak bisa diungkap karena perkenalan Dion terhadap seseorang selalu terbatas. Namun, memang dasar dari hal tersebut hanya dia ingin tahu lebih banyak tentang Frey. Pria yang dikenal nya beberapa minggu lalu, dan sebenarnya Dion sudah memerhatikan Frey sejak lama. Kedatangan teman-teman Devi pun membuat Dion terpaksa bersikap lain, dia yang awalnya tenang dan tidak berminat akhirnya menyapa dengan ramah saat ada salah satu bertanya mengenai Frey. "Dia udah cabut," Devi menerima semangkuk sapo tofu. "Kayaknya buru-buru sih, ini kan malam minggu." Perasaan Dion terpukul setiap mendengar kenyataan bahwa Frey sudah memiliki kekasih. Tetapi, dia menganggap itu hanya seorang kekasih yang sampai kapan pun tidak bisa dibenarkan bahwa Dion tidak bisa mendekati Frey. Ya, dan itu semua tidak berlaku jika Dion memang bisa menaklukkan Frey. "Dion, ke acara ulang tahun cucunya Bos enggak?" tanya dari seorang laki-laki yang sedang membawa bingkisan dari warung sebelah, kemudian diletakkan di atas meja. Dion yang belum sadar sepenuhnya dari lamunan, lantas diam sambil memerhatikan. Lalu, seketika matanya menoleh ke arah Devi. "Emang, siapa sih cucu si Bos?" Devi menahan tawa, semua bisa dilihat dari ketika dia membungkam mulut. "Itu loh, anak dari salah satu owner nya pabrik SAS." Masih saja Dion berlaku selayaknya orang yang tidak tahu apa pun. "Hah? SAS? Siapa sih? Tolong deh, jangan bikin aku penasaran." "Frey," Devi menyebutkan nama itu tepat di telinga Dion. "Cucu dari pendiri SAS, itu Frey. Ih, masa kamu enggak tau sih? Aku cium nih!" "Oh," Dion pun baru menyadari apa yang tengah diperbuat. "Emang … Kapan sih ulang tahun Frey itu? Aku … Enggak dapat undangan." "Hei, jangan manja deh mau dapet undangan segala. Kamu siapa, neng?" tanya salah satu pria yang duduk di sebelah Devi, kemudian tertawa kecil. "Iya, aku memang enggak dapet undangan sih." sesal Dion. Lalu tangan Devi merangkul Dion. "Emang Frey enggak nyebarin undangan, Dion sayang. Itu tuh, dia ngomong ke kita kalau misalnya dia itu mau ngadain acara milad nya yang ke-30 Tahun. Dan kita semua bisa dateng, begitu." Dion pun menanggapi penjelasan Devi dengan masih tanpa rasa senang, dia menganggap itu bukan sebuah ajakan untuknya. Ya, sekali lagi bagi Dion itu berlaku untuk teman-teman akrab Frey. "Tapi kayaknya aku enggak bisa dateng deh, maaf." "Kenapa?" Devi terkejut. "Ya …," Dion mengangkat wajahnya. "Emang kapan sih?" "Minggu depan," sahut yang lain, duduk di sisi kiri Dion. Lalu Dion mengambil ponsel yang sudah tertata rapi di tas kecil. "Bentar, aku liat jadwal dulu. Soalnya kan bentar lagi acara semester, jadi … Aku harus atur jadwal belajar di rumah sama les anakku." Sekilas ucapan Dion tidak dipedulikan oleh beberapa orang. Namun, rupanya salah satu pria yang sedang sibuk menghabiskan cemilan nya mendekati Dion. "Emang mbak Dion, udah punya anak ya?" Sontak Dion mengangkat wajahnya, itu merupakan pelatih karate yang biasa memberikan bantuan berlatih untuk Dion. "Eh, kamu. Iya, aku udah punya anak. Kenapa emang?" "Ya ampun, wajahnya biasa aja kali neng!" ucap Devi memerhatikan Dion. "Iya, maaf. Refleks." barulah Dion mengumbar senyuman. "Ikut, ya ikut. Aku … Baru beli Dress baru warna hitam dan itu pas di kulit kamu yang putih dan mulus, cuma … Aku belinya enggak tau diri, ukuran paling kecil padahal nih perutku itu gede! Dress nya kecil, imut deh kalau kamu yang pakai!" pekik salah satu teman Devi yang tidak terlalu dekat dengan Dion. "Dress hitam?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD