Chapter 1

1062 Words
“Addy.” Gadis itu menghentikan langkahnya dan menghela napas. Dia membenarkan tas yang ia bawa di sebelah bahunya sebelum membalikkan badannya hanya untuk melihat wanita berkacamata dengan badan besar yang melihat ke arahnya dengan tegas. Addy tersenyum tidak berdosa. Ini bukan pertama kalinya dia mendapatkan tatapan seperti itu. mungkin, ini keseribu kalinya dia ditatap seperti itu. “Pagi, Bu.” Ibu Amanda adalah kepala sekolah yang setiap hari senin selalu menjaga gerbang sekolah di mana Addy menuntut ilmu—dan, hampir setiap hari, bukan hanya hari Senin saja, Ibu Amanda memergoki Addy dengan santainya berjalan melewati gerbang yang dipenuhi anak OSIS dan Ibu Amanda sendiri tanpa takut. “Ini sudah keberapa kalinya saya—” Bu Amanda terhenti ketika murid bebal di depannya ini dengan tidak sopan menghela napas di depannya seolah dia lelah mendengar celotehan dari kepala sekolahnya sendiri. “Addy!” Semua orang memanggilnya dengan nama panggilannya, daripada memanggilnya dengan nama aslinya yang sangat susah diucapkan—Adelaide, oleh sebagian orang. “Saya tahu, Bu. Ini terakhir kalinya—tapi, saya tidak bisa janji.” Murid-muris OSIS yang menjaga gerbang di sana menggelengkan kepalanya karena tidak menyangka ada orang yang seberani Addy. “Addy! Jangan mentang-mentang Bapak kamu yang punya—” “Kalau memang Bapak saya yang menjadi donatur terbesar untuk sekolah ini, memang kenapa? Lagian, kenapa Ibu selalu menyangkut-pautkan kenakalan saya dengan kekuasaan Ayah saya? Padahal sebenarnya itu dua hal yang sangat jauh berbeda.” Addy melipat kedua tangannya di depan d**a dan tanpa takut melihat Ibu Gurunya. Bu Amanda sudah kesal setengah mati. “Sekali lagi kamu berbuat kayak gini, saya laporkan kamu ke Ayah kamu!” Addy mengangkat bahunya tidak peduli. “Silakan saja.” Dia langsung pergi untuk menuju ke lapangan upacara di mana sudah banyak orang di sana. Iya, pastinya, karena dia akan menjadi murid terakhir yang menjadi peserta upacara di mana upacaranya sudah mulai setengah jam yang lalu. Addy sudah hapal di mana barisan kelasnya—tepatnya, di mana saudari kembarnya berdiri. Addy tersenyum saat melihat gadis dengan kunciran rapi yang berdiri di tengah barisan. “Minggir, mingggir,” ucap Addy pelan seraya memaksa masuk ke dalam barisan tanpa memedulikan orang-orang. Sebagian orang melihatnya kesal, namun sebagian lagi memilih untuk mengalah karena tahu siapa Addy. “Woi!” Addy menepuk pundak Adele yang membuat kembarannya itu terkejut. Adele menghembuskan napasnya. “Kamu terlambat?” Addy nyengir kuda. Tanpa menggunakan topi, rambut dikucir asal-asalan, dan tidak memakai dasi, ditambah roknya yang terlihat lebih pendek daripada murid perempuan yang lain, membuatnya seperti penarik perhatian murid lain karena tanpa dosanya dia berdiri di tengah-tengah barisan. “Kenapa juga lo ninggalin gue?” Ini bukan pertama kalinya, Adele berangkat terlebih dahulu dan meninggalkan Addy—bahkan hampir tiap hari mereka berangkat masing-masing, karena Addy selalu bangun kesiangan. Mengingat mereka hanya diantar olehb Ayah mereka yang juga akan bekerja, membuat Adele terpaksa meninggalkan saudarinya dan membuat Addy terlambat sendiri. Itu sudah biasa terjadi dan baik Adele atau Addy, sebenarnya tidak masalah. “Ibu sudah membangunkan kamu berkali-kali, Addy.” Adele yang sudah biasa melihat kelakuan saudarinya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Addy tertawa kecil. “Gue tau, cuman you know, gue ngantuk semalaman nonton drakor.” Adele lagi-lagi menggelengkan kepalanya. “Hari ini ulangan Sosiologi, kamu sudah belajar?” Seharusnya Adele tahu bahwa jawaban Addy adalah tidak. Namun, jangan salah sangka, Addy tidak perlu belajar untuk mendapatkan nilai bagus di kelas, berbeda dengan dia yang harus belajar mati-matian untuk menyusul Addy walaupun dia tetap berada di belakangnya, ranking 2. Yap, Addy selalu yang pertama. Mungkin hal itu pula yang membuat para guru—beberapa di antaranya, tidak memusingkan perilaku Addy yang sangat kacau di sekolah. Selain karena cerdas, Addy juga anak dari donatur di sekolah ini, siapa pula yang berani men-drop out-nya. Addy menggeleng. “Gue nggak suka pelajarannya.” “Belajar tetap belajar, Addy.” “Gue nggak suka.” Adele berdecih. “Terserah.” Karena Adele tahu, yang disukai Addy hanyalah piano, lukisannya, dan kucing kecil miliknya. Selain itu, Addy tidak menyukai apapun lagi. *** Addy dan Adele berada di satu kelas yang sama, berada di bangku yang sama, dan kemana-mana selalu bersama. Kadang, hal itu membuat teman-teman kelasnya sedikit ragu untuk memulai pertemanan dengan mereka. Maksudnya, mereka seperti paket lengkap, di mana ada Addy pasti ada Adele, begitupun sebaliknya. Mereka juga sebenarnya ingin berteman dengan Adele—hanya Adele, karena selain baik, Adele juga tidak serampangan dan tomboy, berbeda dengan Addy. Tapi, karena Addy selalu bersama Adele, teman-temannya memilih untuk tidak terlalu dekat dengannya agar tidak mendapat masalah. Sebelum jam pelajaran dimulai, Addy memilih mengeluarkan ponselnya dan memakai earphone untuk menonton drama Korea yang belum selesai dia tonton, sementara Adele memilih untuk mengeluarkan buku Sosiologi dan mulai mempelajarinya. Addy melirik kembarannya. “Lo belajar?” Adele tertawa kecil. “Kelihatannya?” “Well, menurut gue kalau sudah dekat jam ujian, lebih baik lo nggak usah buka buku. Itu malah buat lo nambah pusing dan alhasil ujian lo bakal berantakan.” Adele melirik Addy. Dia tersenyum dan tetap pada kegiatannya. “Aku bukan kamu, Addy. Kamu bisa dapet nilai seratus tanpa belajar, kalau aku? Aku harus mati-matian buat dapat hasil itu.” Addy menepuk bahu kembarannya dan memeluknya sekilas. “Nggak usah sok-sok insecure, lo juga punya kelebihan lain.” Jika yang dilihat orang lain adalah Addy yang serampangan dan minus akhlak, Adele melihatnya seperti Kakak perempuan yang akan selalu menjaganya. Sedari dulu, Addy selalu menjaga Adele jika ada yang mengganggunya—karena saat mereka kecil, Adele dikenal sebagai anak lemah dan cengeng, berbeda dengan kembarannya, dan Addy selalu menendang orang-orang yang mengganggu Adele dulu. Bahkan itu membuat Ibunya sering dipanggil guru karena kelakuan Addy. Namun, Adele melihatnya dari sisi lain—sisi seorang adik yang melihat kakaknya dengan kagum. “Thanks.” Adele tersenyum dan membuat Addy berdecak. Adele sadar Addy selalu tidak suka melihat Adele tersentuh hanya karena hal-hal kecil. Ponsel dihadapan Addy bergetar dan membuat Addy berdecak kesal. “Apa?!” “Kak, Rio ngajak gue ribut gara-gara kemarin.” Itu Regan. Adik laki-lakinya yang tidak memiliki kembaran dan selalu sok-sokan seperti Addy padahal sebenarnya dia laki-laki penakut. Regan hanya berbeda satu tahun dari mereka, kini berada di kelas 2 SMA, dan mereka bertiga ada di sekolah yang sama. “Sebentar. Gue kesana.” Adele yang melihat Addy bangkit dari duduknya langsung kebingungan dan panik karena sebentar lagi mereka akan ujian, dan Addy dengan santainya pergi begitu saja. “Kemana?” “Adik lo bikin masalah.” Adele tersenyum kecil. “Berantem lagi?” “Hm, sebenarnya itu gara-gara gue. Bentar, ya.” Adele melihat kembarannya berlari kecil menuju koridor kelas 11. See? Dia kakak yang penyayang, bukan? Seharusnya orang-orang bisa melihatnya dari sisi yang lain. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD