1

1048 Words
Prakarsa Darmawan— pria yang biasa dipanggil dengan nama Arsa itu tak pernah tahu, jika selama ia tertidur tanpa daya di atas ranjang pesakitan rumah sakit ada dua wanita cantik dihidupnya yang terus menangis memikirkan kapan Arsa akan terjaga dari koma. Kesadarannya hilang setelah mengalami kecelakaan tunggal yang hebat. Bukan tanpa sebab, kemalangan tersebut terjadi sebagai buntut atas meninggalnya Sofia. Arsa menjadi sangat rapuh setelah kepergian wanita tercintanya. Kematian.. Di dunia ini, manusia mana yang menginginkan adanya peristiwa pemutus hubungan dengan semua makhluk bernyawa itu? Tak satu pun orang tentunya! Apalagi jika kematian ternyata menjemput seseorang yang kita cintai. Belum lagi semua terjadi di bawah kerja tangan kita sendiri. Miris memang. Arsa merasa dirinya menjadi alasan lain mengapa sang kekasih hati harus terbaring di bawah dinginnya tanah yang tandus. Karena ketidakmampuannya, Sofia meninggal bahkan sebelum operasi selesai dilakukan. Selain takdir, kebodohannya juga menjadi penyebab mengapa kini Sofia tidak lagi bersama mereka. Duka yang mendalam, serta rasa bersalah yang tidak bisa di usir keberadaannya menggelapkan kehidupan Arsa. Hal tersebutlah yang nyatanya membuat Arsa harus hidup bak orang mati. Harga paling sebanding yang ia wajib bayar setelah dengan tangannya sendiri ia hantarkan Sofia pada gerbang kematian. “Arsa.. Nak...” “Ayah.. Adek Ayah!” Dipta Darmawan— Kakak kandung Arsa, meremas jemari sang istri dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya ia gunakan untuk memeluk tubuh Anisa yang terisak menanti kesadaran Arsa. Setiap hari mereka menyempatkan diri untuk melihat langsung kondisi Arsa. Miris, tak ada tanda-tanda Arsa akan bangun. Semua orang bahkan hampir menyerah jika saja bukan karena tangis histeris Anisa yang meminta agar Arsa tetap diberi alat bantu pernafasan sebagai penunjang kehidupan. “Anak Bunda, Dipta! Anak Bunda!” Anisa terisak sembari memukul d**a yang terasa sesak. Ia merindukan sosok Arsa melengkapi kehidupannya. “Bunda, sstt… Arsa pasti akan sembuh. Kata Bunda, Ayah pasti bisa sembuhin Arsa kan?!” Dipta mencoba menguatkan hati Anisa, meski ia sendiri merasa tak yakin jika Arsa memang memiliki keinginan untuk bangun dari tidur panjangnya. Anak itu selalu menantikan perjumpaan dengan Sofia. Jiwanya telah mati meski raganya hidup bersama mereka. Dira— kakak ipar Arsa ikut menangis. Melihat mata Arsa terus terpejam membuat Dira teringat akan jeritan pilu dari bibir sang adik ipar. Bagaimana tersiksanya Arsa ketika Sofia dikebumikan, bagaimana cara anak itu meraung dan menjerit memanggil nama Sofia berulang kali agar bangun. Arsa kesakitan, dan Dira tidak memiliki power apapun untuk membantu sang adik yang dirundung duka berkepanjangan. Melepaskan genggaman tangan Dipta, Dira berjalan ke sisi kanan ranjang Arsa. Ia sempat memberikan senyum pada Farhan— Papah Mertuanya yang kini tengah melakukan cek rutin kondisi Arsa. Berulang kali Dira mencoba menghapus air mata. Jujur meski tersenyum, ia tak bisa berhenti menangis. Hatinya teramat sakit melihat satu-satunya adik yang ia miliki sekarat karena cinta. Jalan Arsa masih begitu panjang. Banyak hal yang harus Arsa lakukan. Dira membungkuk, mendekatkan bibirnya ditelinga Arsa. “Arsa, Sofi nggak akan suka lihat kamu begini. Nanti dia marah. Jangan begini Arsa! Kakak mohon.” Bisik Dira lirih. Ia meminta Arsa untuk bangun dengan menggunakan nama Sofia. Arsa memang sangat mencintai Sofia, dengan itu Dira harap Arsa akan menurut dan siuman. Kembali dalam pelukkan mereka, meski mungkin nanti lelaki itu akan kembali mencoba cara agar Tuhan merebut nyawanya paksa. Tak apa, meski ribuan kali percobaan bunuh diri terulang, mereka— keluarga Arsa akan seribu kali lebih banyak, mendoakan agar si kecil diberi keselamatan. “Arsa, Sofia menunggu kamu di sini, Sayang.” Bisik Dira sekali lagi sebagai pancingan. Arsa harus bangun untuk melanjutkan hidupnya. Di depan sana, ada ribuan tanggung jawab yang harus Arsa tunaikan. Kehilangan satu orang tidak boleh membuat Arsa lemah. Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukkan pintu sebelum semenit kemudian ruang perawatan Arsa terbuka menampilkan sosok dokter wanita yang memanggil nama Farhan. "Dokter Farhan..." Entah mengapa jemari Arsa bergerak. Ini kali pertama anggota tubuh Arsa bereaksi akan suara, membuat Dira reflek memekik, “Ayah! Arsa gerak Ayah! Arsa gerak!” Pekikkan Dira tentu saja memancing keingintahuan Dipta dan Anisa. Mereka berjalan cepat mengerubungi brankar Arsa. "Ma-maf Dokter, Saya tidak tahu jika.." “Dokter Ariana.. Saya sedang memeriksa putra saya. Bisa tunggu sebentar.” Seluruh manusia di ruangan hanya diam. Mereka menatap sosok yang baru saja Farhan perintahkan untuk menunggu. “Baik Dokter Farhan..” ujar Ariana sembari menebarkan senyum untuk menghormati keluarga pasien. Sofia.. Merasa mengenal suara yang kini tengah berbicara dengan Sang Ayah, mata Arsa perlahan terbuka. Suara itu, suara yang selalu Arsa rindukan. Sofia-nya! “Arsa! Kamu bangun, Nak?! Arsanya Bunda bangun?!” Anisa memekik. Tak menyangka momen yang ia tunggu akhirnya terjadi. Anaknya bangun dari koma. “Sofi…” lirih Arsa, memanggil nama sang tunangan. Ia salah mengira jika sosok yang membuatnya terjaga dari tidur adalah Sofia. Melihat wanita mengenakan jas putih di depan pintu ruang perawatannya, air mata Arsa menetes deras. "Sofi..." sekali lagi, suara parau Arsa mengudara. “Arsa..” Dira menggelengkan kepala, seraya membekap bibir mendengar racauan Arsa terkait mendiang Sofia. “Dia bukan Sofia Arsa...” mendiang Sofia terlalu lama menghukum Arsa. Adiknya bahkan membayangkan orang lain sebagai gadis itu. “Ayah..” Dipta lantas memberikan kode agar ayahnya segera bertindak. “Dokter, temui saya nanti di ruangan!” Titah Farhan sebelum kembali memusatkan diri pada Arsa. "Arsa sadar!” ujar Farhan sembari menepuk pelan pipi Arsa. “Sofia nggak ada di sini.. Dia sudah tenang, Nak..” ungkit, Farhan tak mau jika sang putra berhalusinasi lebih jauh tentang mantan calon menantunya yang telah dikebumikan. Melihat sosok yang ia pikir Sofia memundurkan langkah, Arsa terisak semakin hebat. Dengan bibir bergetar ia meminta Sofia tak lagi meninggalkan dirinya di dunia. Arsa memejamkan mata. Ia ditampar oleh kenyataan bahwa wanita yang ia cintai telah tiada. Kilasan-kilasan memori tentang bagaimana mereka menjalani hari-hari kembali terlintas lalu berakhir pada putaran kenangan pahit dimana kekasihnya itu dimasukkan ke liang lahat. "Arsa, bangun! Arsa! Arsa bangun, Nak! Ayah mohon!” Panik, Farhan mengira Arsa kembali hilang kesadaran. Farhan tak ingin kehilangan Arsa untuk selamanya. “Bangun Arsa, kasihan Bunda Nak.” Mohon Farhan dengan suara serak. Lelaki paruh baya itu tak akan sanggup lagi menghadapi kesedihan sang istri. Arsa membuka mata. Ia menatap Farhan dengan mata berkaca-kaca. “Sofia, Ayah. Sofi! Itu tadi Sofi kan?”, mendengar itu seluruh penghuni kamar perawatan Arsa menangis. “Kembalikan Sofia ku, Ayah.. Kembalikan dia...” ratap Arsa sekarat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD