2

1019 Words
Satu bulan berlalu setelah sadarnya Arsa dari koma. Ia mematung dalam diam, mengamati keadaan sekitar yang sunyi. Menginjakkan kaki di ruang kerjanya entah mengapa kembali membuka luka yang masih segar dalam ingatan. Semua kenangan mengenai Sofia menyeruak, muncul perlahan bagai kaset yang rusak. Bagaimana Sofia selalu menemani hari-hari kelabunya dulu. Lengkungan indah dari bibir Sang Gadis, belum lagi pelukkan hangat ketika ia kelelahan. Sepertinya baru kemarin semua itu Arsa rasakan. Dan kini semua terenggut akibat kesalahan fatal yang ia lakukan. Ya! Dia lah pelaku pembunuhan itu. Meski keluarga Sofia tak mencecar Arsa dengan kalimat kejam, tapi redupnya mata Sang Calon Ibu Mertua kala Sofia dikebumikan adalah hukuman terberat dibandingkan teralis besi yang seharusnya ia rasakan. Penjara saja rasanya tak akan cukup untuk menebus semua dosa setelah menghilangkan nyawa orang yang paling ia cintai. Ia tak kehilangan tunangan, tapi seluruh hidupnya. Ia juga membuat orang tua tak lagi memiliki anak, ketika mendiang Sofia resmi dinyatakan meninggal dunia. "Sofia.." lirih Arsa mengingat nama itu. Andai dia tak gegabah dalam mengambil tindakkan. Seandainya saja ia membiarkan tangan lain untuk ikut campur dalam operasi, Sofianya akan tetap hidup. Tentu mereka masih bersama di dunia yang sama, bersama membesarkan anak-anak yang lucu. Menyembuhkan para pasien dengan cinta tulus mereka, seperti bayangan mimpi-mimpi di masa kuliah dulu. “Ya Tuhan.. Kenapa Engkau kembali menghidupkan hamba?!” Jiwa Arsa telah mati. Bersama dengan jasad Sofia, kehidupannya juga telah lenyap. Kini ia tetaplah tulang-belulang tanpa nyawa yang dipaksa untuk hidup. Sungguh Arsa menyesali kejahatan dirinya pada Sofia. "Tangan ini.. Tangan ini yang bunuh kamu, Sayang." air mata Arsa tak tertahan. Bagaimana bisa tangan yang orang lain katakan sebagai penyelamat, justru merenggut satu-satunya cinta yang ia miliki. Arsa membaringkan tubuh. Ranjang yang dulu biasa ia gunakan untuk memeluk tubuh Sofia kini terasa dingin. Kehangatan itu telah menghilang ditelan tanah tandus. Arsa menutup mata kala rasa sakit kembali menyeruak dalam hati. Sofia— berulang kali Arsa memanggil nama Sang Pujaan Hati, berharap gadis itu akan datang lalu memberikan pelukkan hangat pada hidupnya yang melelahkan. "Jangaaan... Stop! Kembalikan Sofia ku ke atas. Jangan! Tolong jangan tidurkan dia di sana. Sofia nggak suka dingin." Teriak Arsa kala tubuh dibalut kain kafan Sofia diturunkan ke liang lahat.Arsa terus meronta. Tubuhnya bahkan tak lagi bersih seperti kala pertama kali ia datang. Tanah makam bercampur pada pakaian putih yang ia kenakan. “Stop! Naikan Sofia.. Bawa dia kesini!!” "Arsa.. Sadar Arsa.." ujar Dipta sembari menahan tubuh Arsa. Sedetik saja adiknya terlepas, maka pria muda itu akan kembali terjun ke dalam peristirahatan terakhir Sofia. "Abang.. Tolong bilang sama mereka. Jangan masukkan Sofia Abang. Sofia cuman tidur. Dia lagi marah karena aku terlalu sibuk sama pasienku." “Arsa! Sofia sudah pergi!” hardik Dipta keras menyentak kesadaran Arsa. "Hah?!" pekik Arsa membuka mata cepat. Kejadian di mana ia meraung meminta Sofia tak dikebumikan kembali menyapa dalam tidur. Kenangan terakhir yang ia miliki bersama Sofia di dunia. Hal terpahit dan ingin sekali Arsa hilangkan keberadaannya. "Sofia.. Bawa aku ke sana. Dingin di sini lebih menyakitkan tanpamu Sayang." ujar Arsa sembari memandang foto Sofia yang ia gantungkan di atas dinding. Malamnya tak pernah tenang. Sedetik saja matanya terpejam, maka kenangan buruk akan datang demi mencekik batang lehernya. Itulah mengapa Arsa lebih menyukai kematian setelah kepergian Sofia. Arsa bangkit, ia memilih mendudukan diri sembari menatap wajah Sofia. Air matanya kembali turun. Terlalu menyesakkan ketika ia masih bisa hidup sedangkan Sofia telah pergi karena kesalahannya. 'Jadilah dokter yang hebat, kepergianku adalah kehendak Tuhan. Aku selalu bersama kamu Arsa,' Kalimat itu. Kalimat yang Sofia ucapkan ketika mereka bertemu dalam ketidak sadarannya. Apakah sebuah perpisahan? Benarkan mereka tak akan bisa bersama setelah hari-hari yang sempat dilalui ketika ia koma? "Kenapa kamu membangunkan aku Sof? Kenapa kamu mendorongku pada cahaya itu? Jika mati bisa membuat kita bersama, kenapa kamu ingin aku hidup menderita di sini, Sayang?!" Tok.. Tok.. Tokk!! Suara ketukan pintu menyadarkan Arsa dari pemikirannya tentang Sofia. Arsa bangkit dan berjalan keluar dari kamar pribadinya menuju ruang kerja. "Dokter Arsa hari ini ada sepuluh pasien yang telah mendaftar." Suster Hernita tersenyum ketika melihat Arsa menganggukkan kepala. Lama ia tak melihat anak pemilik rumah sakitnya bekerja. Setelah kematian gadis cantik yang ia tahu sebagai tunangan Arsa sekaligus dokter anak di tempat ia bekerja, wajah tampan itu tak pernah lagi terlihat di rumah sakit. Sosoknya bagaikan hilang ditelan bumi hingga pagi itu kehebohan terjadi di ruang Unit Gawat Darurat. Prakarsa Darmawan bermandikan darah hingga membasahi brankar Unit Gawat Darurat. Ia sendiri menjadi saksi betapa tubuh itu tidak lagi ingin bertahan. Kejadian yang akhirnya terus berulang. Menggemparkan seisi tenaga medis yang bertugas di setiap kejadian. "Dokter untuk pasien tindakan opera.." "Berikan pada dokter lain. Saya baru mulai kerja. Sampai nanti, tolong jangan berikan saya operasi apapun." Arsa menyela. Tidak akan ada lagi pisau bedah yang tangannya pegang. Tidak setelah Sofia tak mampu membuka mata dan ia hidup dalam lubang kesakitan. "Baik Dok." Suster Hernita membalikkan tubuh. Namun belum sempat ia melangkahkan kaki, wanita berusia empat puluh tahunan itu memutar tubuhnya, "Dokter Arsa. Selamat datang kembali. Saya senang akhirnya dokter berada di tempat ini lagi. Dokter Sofia pasti juga merasa begitu. Selamat bekerja Dokter." Suster Hernita tersenyum, “Dokter.. Ada banyak hal yang menjadi rahasia Tuhan.” “Di dunia ini kita diciptakan sesuai dengan script yang telah Tuhan tulis.” Suster Hernita membiarkan Arsa meresapi kalimat-kalimatnya. “Selalu ada alasan mengapa seseorang tidak Tuhan izinkan pergi Dok. Salah satunya Dokter. Saya yakin, Tuhan memiliki rencana terbaik. Ada hal yang belum Dokter Arsa selesaikan. Dokter Sofia pasti akan sangat senang jika Dokter mampu menjalani hidup lebih baik setelah kepergiannya..” setelah mengucapkan itu, Suster Hernita undur diri. "Sofia, apakah kamu senang?" Lirih Arsa sembari menatap foto Sofia dan dirinya di atas meja. Arsa menghembuskan nafas. Suster Hernita tidak salah. Sebagai manusia perjalanan hidupnya memang belum berakhir. Ia belum berbakti pada kedua orang tuanya. Dirinya terus berkubang pada rasa sakit karena kehilangan Sofia hingga mati menjadi jawaban terbaik agar segera bisa menyusul gadis itu. “Bunda.. Ayah.. Abang.. Kak Dira.” Lirih Arsa memanggil satu persatu anggota keluarganya. Jika begini.. Apa artinya terus bernafas. Ia hanya menjadi beban untuk semua orang. Menyakiti orang-orang yang mencintai dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD