3

1186 Words
  “Jika kematian menjadi jurang pemisah, Maka biarkan aku terus berkubang dengan rasa bersalah,” -  Prakarsa Darmawan.   Pening melanda Arsa. Ia tak sanggup. Sungguh! Kembali menginjakkan kaki di rumah sakit merupakan kegiatan terakhir yang dulu ia rencakanan. Jika bisa hal itu justru tak ada karena mati adalah keinginan terbesarnya. Namun perintah Sofi dalam komanya tak bisa Arsa lalaikan. “Arrggh,,” erang Arsa memegangi kepala. Ia terhuyung lalu oleng begitu saja hingga tubuhnya terasa menyandar pada diri seseorang. “Dokter.. Dokter nggak papa?” Suara ini? Secepat mungkin Arsa mengadahkan wajah. Menatap lekat siapa gerangan pemilik suara menyerupai sosok Sofia yang telah tiada.  Arsa mengerjap. Berulang kali ia mencoba memastikan jika apa yang ia lihat adalah kenyataan. Tangannya terulur begitu saja. Membelai lembut pipi putih berisi milik wanita yang ia lihat sebagai Sofia. “Sofia..” lirih Arsa dengan isakkan. Sungguh ia melihat Sofia. Ia tak berbohong. Sofianya kini menjadi penyangga untuk tubuh lemahnya. “Dokter!” pekik Ariana. Ia tak menyangka jika orang asing yang bekerja di satu rumah sakit dengannya akan menyambar tubuh dan langsung memerangkap dirinya dengan pelukkan. “Sofia kamu hidup lagi, Sayang? Kamu kembali buat aku Sof?”, yang belum Arsa sadari adalah betapa berbedanya wajah Ariana dengan mendiang Sofia. Terlalu rindu membuat Arsa melihat Ariana menjadi sosok sang kekasih hati. "Dokter tolong lepaskan Saya!” “Sofia jangan pergi lagi! Jangan tinggalin aku Sayang. Aku.. Aku..” “Saya bukan Sofia! Nama Saya Ariana!” sentak Ariana dengan nada tak bersahabat. Arsa melepaskan pelukkan. Ia memejam lalu mencoba kembali melebarkan mata. Nyatanya kenyataan kembali menampar diri adik Pradipta Darmawan itu. Arsa salah! Wanita dihadapannya bukanlah Sofia. Wajah mereka jelas-jelas tak sama. Sofianya merekah penuh energi bahkan terkesan tomboy. Berbeda dengan wanita dihadapannya saat ini. Sangat berbalik. Aura mereka jelas tak sama. Keanggunan dokter wanita ini bukan lah hal yang disukai oleh Sofia. “Ma.. Maaf…” pinta Arsa dingin lalu membalikkan tubuh. Andai Ariana tak bergerak cepat, tubuh lemah Arsa mungkin telah jatuh mengenaskan di atas lantai basement rumah sakit.  "Dokter.. Lebih baik kita kembali ke dalam. Dokter membutuhkan penanganan." Ujar Ariana sembari menahan berat tubuh Arsa. "Saya ingin pulang." Lirih Arsa. Ia tak mau kembali ke dalam. Ia kesakitan berada di tempat dimana Sofia menutup mata untuk terakhir kalinya. "Dokter kondisi Dok.." "Tolong bantu saya pulang."  Ariana bergeming. Membantu Dokter ini pulang sama saja mengundur waktunya sendiri untuk sampai ke rumah. “Maaf Dokter saya nggak bisa. An.. Dokter!” jerit Ariana sembari menahan tubuh yang tak sadarkan diri. “Astaga Dokter!” Ariana panik. Ia harus sampai ke rumah dengan cepat karena Isyana merengek dan membuat bingung pengasuh anak itu dan sekarang membawa masuk ke gedung Dokter di salah satu rumah sakit tempatnya bekerja akan sangat memakan waktu.  “Bawa pulang dulu aja biar dia istirahat.” putus Ariana. Wanita satu anak itu mencoba membawa masuk Arsa ke dalam mobil. Untung sekali mobilnya terpakir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Jika tidak Ariana tak tahu apa yang akan terjadi. Patah tulang mungkin. Ariana melajukan mobil. Sejak tadi ponselnya terus berdering. Pasti Isyana! Siapa lagi memang jika bukan sang Putri yang sedang berulang tahun. Kasihan Isyana. Karena jadwalnya yang terlalu padat ia bahkan sampai belum bertemu dengan permata hatinya.   Sampai di rumah Ariana bergegas membopong tubuh Arsa untuk masuk. Ketika pintu terbuka, pekikan kaget Isyana lah yang ia dapati.  "Mamah.. Mamah bawa pulang Papah?" tanya anak itu antusias.  Arina memberi pengertian pada Isyana untuk membawa Arsa masuk ke dalam kamar. Setelah membaringkan tubuh Arsa ke atas ranjang, Ariana bergegas menemui Sang Putri, menejelaskan jika pikiran anak itu salah besar. Ia tak membawa Papah Isyana pulang. "Mamah.. Mamah bawa pulang Papah buat kado Isya ulang tahun ke enam ya Mah? Iyakan?"  Ariana tak tahu harus menjawab apa. Tegakah ia mematahkan hati malaikat kecilnya? Meski hadir karena kejadian buruk, melihat Isyana terluka adalah hal terakhir yang ia Ariana inginkan. Sedangkan bibirnya kini mulai kelu. Ia bahkan tak mengenal sosok lelaki di dalam. "Isya mau ketemu Papah!” "Isyana.." Ariana menahan lengan Sang Putri. Dengan gerakkan cepat wanita yang masih mengenakan jas putih itu membawa tubuh Isyana ke dalam gendongan. "Om itu bukan Papah. Dia teman kerja Mamah. Dokter di rumah sakit." sungguh, Ariana tak mampu melihat pancaran kecewa di mata bening anaknya. Terlalu menyakitkan bagi seorang ibu yang mengetahui betapa rindunya Isyana akan sosok bernama papah. "Jadi dia bukan Papah?" Ariana menggeleng lemah.  "Kapan Papah dateng Mah? Isya kangen.." lirih anak itu membuat Ariana semakin erat memberikan pelukkan. Arsa meletakkan lengan ke atas wajah. Sebenarnya ia telah sadar ketika pekikkan histeris gadis kecil menyeruak digendang telingannya. Lirihan pilu itu mengiris hati Arsa.  Apakah mungkin gadis kecil itu merasakan kesakitan yang sama dengannya? Kehilangan Sang Papah, seperti ia kehilangan Sofi? "Sofi.. Aku menemukan seseorang yang sama menyedihkannya denganku." Lirih Arsa sembari menatap langit-langit kamar. Arsa mengerang sebelum memilih bangkit dari pembaringan. Kehilangan adalah kata paling menyakitkan hati. Perasaan tercabik ingin mati, Arsa memilikinya. Seperti gadis kecil yang tengah menanyakan sosok Sang Ayah, Arsa tahu jelas bagaimana pedih itu tergambar membentuk palung lara. "Terimakasih.." satu kalimat bernada lelah Arsa lontarkan. Ia berniat pergi. Pulang ke rumah untuk menyendiri dalam kegelapan. Berharap kesunyian menghadirkan Sofia dalam benak demi membunuh rindu dan rasa bersalah. Hingga suara lirih gadis kecil membuat langkah kaki Arsa terhenti. "Papah.." "Isyana.. Om itu bukan Papah." Hari ini ulang tahun gadis itu bukan? Jika tak salah dengar, begitulah kebenaran yang anak bernama Isyana itu lontarkan pada Sang Mamah. "Papah.." Ariana menitikan air mata. Sebegitu merindunya Isyana akan sosok Papah. Apa yang akan ia katakana nanti pada diri sang putri?! Bahwa dirinya sendiri bahkan tak tahu sosok Ayah dari anaknya itu. "Papah, Isya ulang tahun. Ke enam." Senyum itu. Entah mengapa Arsa menyukainya. Ia seperti tengah berkaca, melihat sosoknya sendiri pada sosok Isyana.  "Isyana, nggak boleh gitu! Nggak sopan sama temen Mamah Nak." Mengabaikan teguran wanita yang tak ia ketahui, Arsa melangkah, mendekati Isyana lalu berjongkok mensejajarkan diri. Arsa mengulurkan tangan, menggenggam jemari Isyana. "Mau kado apa?" tanya Arsa. Sejenak ia melupakan Sofia. Melihat Isyana membuat segala luka Arsa hilang entah kemana. "Mau Papah." Menundukkan kepala, Isyana berharap jika apa yang ia inginkan terpenuhi. "Papah di sini. Ayo kita pulang!" Kontan saja Ariana mendorong tubuh Arsa. Ia menarik tubuh Isyana, menyembunyikan diri Sang Putri tepat dibelakang tubuhnya. "Apa-apan ini Dokter?! Sebaiknya Dokter pergi! Jangan pernah temui anak saya lagi!" Arsa melirik Isyana. Bias mata gadis kecil itu semakin meredup. Belum lagi air mata yang mulai menetes membuat Arsa tersiksa. Bola mata berwarna sama dengan miliknya itu menggoreskan sakit lain. "Papah, Mah. Papah.” "Isya!" terperanjat, Isyana menghempaskan jemari Ariana. Ia berlari memasuki kamarnya. Menyisakan d**a kembang kempis Ariana, serta tatapan tajam yang ia hunuskan pada Arsa. Bola mata itu... "Saya pulang, terimakasih atas bantuannya." Ariana masih terpaku. Bola mata Dokter itu, bola mata berwarna sama dengan Isyana. Entah mengapa Ariana merasa terusik. Sedangkan Arsa, lelaki itu menghempaskan tubuh di sandaran jok mobil. Ia meminta seseorang menjemput dirinya tadi sebelum beranjak bangun dari ranjang milik Ariana. "Sofi.. Anak itu? Kenapa anak itu ada di dunia ini? Bukan kah dia yang menjaga kamu di sana?! Sofi.. Kenapa dia sangat mirip denganku?!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD