4

1023 Words
Sejak hari dimana Sofi dikebumikan, Arsa tak berharap mampu membuka mata. Pagi hari menjadi hal yang ingin Arsa lewatkan setelah malam. Terlebih kini ia kembali berkutat dengan tempat dimana ia membunuh sang kekasih hati. "Arsa.. Bangun Sayang. Kata Ayah hari ini kamu ada pasien di rumah sakit." Arsa ingin tuli. Kalau bisa ia berharap bahwa Sang Bunda tak sedang berada di kamar, menyingkap kain horden hingga membuat kesadarannya kembali. Mematahkan keinginan untuk lari dari kehidupan fana setelah ditinggalkan oleh Sofia. "Abang Arsa, anak Bunda." "Bunda.. Boleh Arsa nggak jadi dokter lagi?" Raut kecewa tak mampu Anisa sembunyikan. Jika alasan itu bukan karena Sofia mungkin dengan senang hati Anisa menganggukkan kepala. Tapi sampai kapan? Waktu terus berlalu kenapa jiwa mati anaknya tak kunjung bangun bersama setiap detik yang terlewati. "Bilang sama Ayah." Anisa mendudukkan diri di tepi ranjang. Tangan lembut ibu dua anak itu menyentuh kaki berbulu sang putra, "Bunda masih ingat cita-cita Abang. Betapa gembiranya Abang dulu ketika pertama kali bekerja sebagai Dokter. Abang, Bunda rindu anak Bunda. Setelah kepergian Sofi, kenapa anak Bunda juga seolah pergi?" tak terasa air mata Anisa menetes. Sungguh, ia benar-benar kehilangan Arsa yang ceria. Jiwa anaknya mati, tak pernah kembali sama seperti calon menantu yang telah lama pergi. "Bang, ada hal yang tak bisa manusia rubah di dunia ini. Takdir! Sampai kapan, Bang? Kematian bukan milik kita. Allah lebih Sayang Sofi. Mungkin dengan begini, Sofi nggak akan merasa tersakiti. Mungkin dengan begini.." Anisa menghentikan ucapannya. Melanjutkan kalimat dalam hati sembari menatap penuh luka diri Arsa, 'Sofi akan memaafkan kamu dan tetap mencintai kamu tanpa perpisahan di dunia.' Arsa bangkit. Ia menyingkap kasar selimutnya. Sembari menangis ia mengadahkan tangan ke udara, "tangan ini Bunda. Tangan ini yang merenggut nyawa Sofi. Tangan ini yang membuat dia harus merasakan dinginnya tanah. Tangan ini.." tak mampu meneruskan kalimatnya, Arsa menunduk dengan air mata yang terus mengalir. Lengannya terkulai lemah di atas ranjang. "Arsa.. Arsa rindu Sofi.." lirih Arsa dengan isak bak anak remaja. Anisa tak tahan. Dengan cepat ia menghampiri Arsa, membawa tubuh bergetar sang putra ke dalam pelukkannya. "Iya.. Hari ini Arsa boleh libur. Bunda bilang Ayah Arsa sakit. Anak Bunda. Anak kesayangan Bunda." lirih Anisa. Arsa memeluk Sang Bunda erat. Ia sadar ketidak berdayaannya hidup tanpa Sofia membuat banyak orang tersakiti. Dan karena hal itu ia semakin tak mampu menghabiskan waktu di dunia. Ia hanya menyakiti keluarganya. Arsa sakit Bunda. Arsa sakit karena terlalu mencintai Sofi.. “Sekarang Abang Arsa istirahat ya, Bunda bilang ke Ayah dulu.” Anisa melepaskan pelukkan. Ia membelai pelipis sang putra, memberikan kecupan lembut sebelum berlalu meninggalkan Arsa dengan segala kehampaan. Setelah kepergian Anis, Arsa memilih meninggalkan ranjang. Ia meraih sekotak rokok dan korek yang ia letakkan di atas nakas, sebelum mendamaikan diri. Balkon kamar seolah tengah melambai untuk Arsa datangi. Membuka kotak persegi berisikan batangan rokok, Arsa menarik satu, membawa lintingan tembakau itu ke belahan bibirnya. Ah, sejak kapan ia merokok? Jawabannya adalah sejak kematian Sofia yang menimbulkan lara tak berkesudahan. Aroma tembakau menguar. Seolah menjadi obat penenang tersendiri bagi Arsa. Kehidupannya tak lagi sehat. Ia bahkan menenggak alkohol kala rasa sakit menghujam tak tertahankan. Kehilangan seseorang karena kematian, bisakah kalian baik-baik saja? Bisakah untuk tak terluka, bahkan menjalani hidup seolah semua baik-baik saja? Arsa tak bisa! "Arsa.." Arsa membalikkan tubuh dengan asap rokok yang masih keluar dari hidung. Ia bisa melihat sosok ayu berdiri menatap terluka padanya. Dira— Wanita Sang Abang. Kakak ipar terbaik bagi Arsa itu kini menitikan air mata. Tak ingin semakin melukai orang-orang tercinta, Arsa mematikan rokok ke atas asbak. "Kata Abang, Arsa nggak kerja. Mau nemenin Kakak ke Mall?" Arsa mengangguk pelan. Selama ia menjadi adik ipar, Arsa tak pernah menolak apapun yang Dira inginkan. Sejak balita dulu, sosok itulah teman bagi Arsa. Di saat Sang Abang terlalu sibuk dengan teman-temannya, Dira hadir menyejukan masa kecil Arsa. "Sana mandi! Kakak tunggu." Arsa segera berlalu meninggalkan Dira yang menatap horor kotak rokok Arsa. "Astaga.. Kalau Dipta tahu aku mau ngerokok lagi, bisa dihamilin nanti." buru-buru Dira berlari kecil meninggalkan kamar Arsa. Dia harus menyelematkan diri dari lambaian tembakau pengikat rasa candu di hidupnya dulu. Dira menemani Anisa membuatkan sarapan Arsa. Melihat tubuh kurus Arsa, seluruh keluarga Darmawan bekerja keras untuk memberi perhatian lebih. Kejadian naas dimana Arsa menabrakkan diri dulu cukup membuat mereka belajar, bahwa Arsa membutuhkan bantuan guna melanjutkan hidup. "Arsa nggak mau kerja di rumah sakit lagi Dir." gerakkan tangan Dira terhenti. Benarkah itu? Menjadi Dokter adalah impian Arsa sedari kecil. "Bunda kehilangan anak Bunda, Dira. Arsanya Bunda." Dira lekas meninggalkan kegiatan memotongnya. Ia beranjak menuju wastafle, mencuci tangan sebelum membawa tubuh bergetar Sang Ibu Mertua ke dalam pelukkan. "Bunda.. Biarkan Arsa melakukan apa yang dia suka. Terlalu berat berada di tempat yang selalu mengingat kan Arsa dengan Sofi. Selagi itu masih membuat Arsa memiliki keinginan untuk hidup, kita harus mendukungnya. Biar Dira yang ngomong sama Ayah." Anisa mengangguk. Ia melepaskan pelukkan, lalu menangkup ke dua pipi menantu yang selama ini telah memberinya tiga orang cucu. "Terimakasih sudah menjadi anak dan menantu yang baik untuk Bunda." Ke duanya kembali melanjutkan kegiatan. Membuatkan makanan untuk si kecil kesayangan mereka. Menunjukkan bahwa cinta untuk Arsa begitu banyak. "Makan Dek.. Bunda sama Kakak bikin pake sepenuh cinta biar kamu semangat lagi." tak banyak ucapan keluar dari bibir Arsa selain terimakasih. Laki-laki itu makan dalam diam. "Arsa mau kerja di Angkasa Jaya?" Wajah Arsa mengadah. Ia menatap Ardira Maesaty lekat. "Jadi kepala sekolah di sana mau? Biar Kakak yang bilang sama Ayah." lanjut Dira sembari memberikan senyum pada Arsa. Dira menggengam jemari Arsa. Meremas pelan seolah tengah menyalurkan kekuatan untuk adiknya yang rapuh. "Kalau nggak mau, jadi dosen di fakultas kedokteran Maesaty University mau?" "Kak.." "Kakak tahu kamu berat berada di rumah sakit. Tapi Arsa, dunia kedokteran adalah hidup kamu. Di sana nggak ada kenangan tentang Sofi. Kamu bisa bernafas tanpa rasa cekik." Arsa menunduk. Lagi-lagi air mata lelaki dewasa itu mengalir. Ardira, ya, wanita Abangnya ini. Diantara semua manusia hanya Dira yang mampu mengetahui perasaan Arsa. "Arsa sayang Kakak." "Me too Arsa. More than you know." balas Dira sembari melirik Dipta yang mengepalkan tangan ke udara. ‘Ah! Dasar tukang cemburu buta,’ batin Dira menilai tingkah sang suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD