5 tahun yang lalu...

1538 Words
Larasati Priyanta, seorang wanita berumur 30 tahun yang masih single, berparas menawan dengan tinggi 160cm, memiliki profesi sebagai seorang notaris yang berkantor di Kota Biru dan otomatis wilayah kerjanya hanya pada kota tersebut.   Lima tahun yang lalu..   “Plaaakkkkk” “Bruuukkkk”   Sebuah tamparan di pipi dan pukulan keras di lengan diterima oleh Laras dari lelakinya hanya lantaran dia mengabaikannya dan lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya. Lelaki yang tak lain adalah Sena, kekasih Laras yang sudah dipacarinya selama 3 tahun, lelaki yang sebenarnya seorang penyayang dan perhatian namun setahun belakangan ini berubah menjadi begitu arogan dan sangat egois. Laras yang masih mengerjakan beberapa pekerjaan kantornya di rumah, kini tercekat tak mampu berkata lagi. Masih beruntung baginya dapat mengamankan laptop miliknya ketika Sena mulai mengamuk di hadapannya dengan melempar semua barang yang ada di dalam kamar Laras.   “Hentikan”, teriak Laras pada Sena namun Sena justru semakin menggila, kini Laras tengah berada di genggamannya dan diseret paksa oleh Sena ke teras depan sehingga Laras berhasil menjadi tontonan tetangganya termasuk salah satunya, Rima. Laras terduduk setelah dihempaskan dengan kasar kemudian ditinggalkan begitu saja oleh Sena yang sudah menaiki motornya dan pergi meninggalkan rumah Laras.    “Laras, apa yang terjadi? Kenapa Sena sampai mengamuk begini?”, tanya Rima tetangga Laras yang melihat saat Laras diseret keluar oleh Sena dan ketika berada di rumah Laras, Rima melihat kekacauan di dalamnya. Rima kemudian memapah Laras yang kesulitan berjalan untuk masuk ke dalam rumah dan mendudukannya di sofa. Rima adalah sepupu Sena namun ia pun bisa melihat perubahan sikap pada Sena yang belakangan memang sering terdengar berteriak dan membentak ketika bicara dengan Laras, namun karena melihat Laras yang baik-baik saja, ia pun mengurungkan diri untuk bertanya kepada Laras mengenai perubahan sikap Sena.   “Aku akan pindah dari sini dan aku akan memutuskan Sena”, ucap Laras dengan lemah. Rima tidak terkejut sama sekali karena melihat apa yang dialami oleh Laras saat ini, memang sangat wajar jika Laras memutuskan hal seperti itu. Dengan sisa-sisa tenaganya, Laras mengeluarkan beberapa plastik hitam besar yang biasanya dia gunakan untuk memuat sampah kini beralih menjadi wadah dari isi rumah yang akan dibawa bersamanya. Rima yang masih berada disana juga ikut membantu Laras untuk menyiapkan barang-barangnya tanpa banyak bertanya.   “Halo.. maaf jika aku mengganggu. Aku butuh bantuan tapi aku belum bisa bercerita mengenai alasannya sekarang. Aku butuh tempat tinggal sekarang juga, bisakah kamu membantuku untuk mendapatkannya?”, tanya Laras pada seseorang yang sedang dihubunginya melalui ponselnya.   “Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan menghubungi seseorang. Setelahnya aku akan menghubungimu kembali. Aku tidak tau apa masalahmu tapi aku yakin kamu akan kuat dan aku pastikan bahwa aku akan selalu ada untukmu”, ucap Teddy menjawab panggilan dari Laras.   Teddy merupakan teman kuliah Laras dan kini mereka sama-sama sedang menjalani magang untuk mendapatkan gelar profesi mereka sebagai notaris. Hubungan Teddy dan Laras memang sangat akrab bahkan banyak orang mengira bahwa mereka memang berpacaran, meski itulah yang diharapkan Teddy namun tidak demikian dengan Laras karena ia telah mencintai Sena sehingga kini menganggap Teddy hanya sebatas teman yang sangat akrab dan tidak lebih.   “Drrrttttt.. drrrrttttt...” sebuah pesan masuk ke ponsel Laras dan ternyata itu dari Teddy, dia sudah mengirimkan sebuah alamat dimana Laras akan tinggal selama sebulan ke depan karena Teddy sudah mengurus hingga pembayarannya, dan Teddy juga sudah menyiapkan sebuah kendaraan yang akan membantu Laras untuk mengangkut barang-barangnya.   Seminggu kemudian.. Laras kembali bekerja setelah seluruh bekas luka di tubuhnya hasil dari kekerasan Sena tampak memudar meskipun tidak dengan luka hatinya. Kakinya melangkah mantap memasuki kantor notaris Nuri Sianta, tempat ia dan Teddy saat ini magang. Laras memasuki sebuah ruangan yang berisi beberapa meja dengan masing-masing kursi, ruangan khusus para pegawai magang di kantor ini. Laras meletakkan tasnya di sebuah lemari berkunci dibawah meja kerjanya. Sudah ada beberapa orang disana yang juga sudah disapanya sejak Laras masuk ke ruangan tersebut, Laras mengalihkan pandangannya kearah meja Teddy yang masih kosong. “Dia memang tidak suka datang lebih awal”, batin Laras mengenai Teddy yang meskipun Laras tau, ketika itu menyangkut pekerjaan, Teddy tidak akan pernah terlambat menyelesaikannya bahkan Teddy akan menyelesaikannya jauh sebelum deadline nya.   “Wah, senang melihatmu lagi. Oia, kamu harus ke BPN hari ini untuk urusan Pak Bima dan karena Ibu Nuri ada pertemuan di pusat, jadi seminggu ke depan, kita yang akan handle kerjaan Ibu”, cerocos Teddy yang tidak memberiku kesempatan bicara namun kini sudah berdiri lagi di depanku dan menarik tanganku untuk bergegas ke BPN. Aku mampir pada meja resepsionis untuk menginformasikan mengenai kegiatanku dan Teddy hari ini dan minta mereka untuk menghubungiku atau Teddy jika ada yang mencari kami atau mencari Ibu sementara Teddy sedang menyiapkan mobilnya untuk keluar dari halaman parkir kantor.   Sejak menjadi notaris muda di kantor Ibu Nuri, aku dan Teddy merupakan orang kepercayaan beliau, banyak klien besarnya diserahkan sepenuhnya kepada kami untuk mengurusnya. Itu tidak membuat kami besar kepala apalagi berniat untuk mengkhianati kepercayaan Ibu Nuri justru kami merasa beban tersebut sangat besar untuk kami, namun seperti itulah cara Ibu Nuri untuk mendidik kami agar kami ke depannya memiliki lebih banyak ilmu dan pengalaman jika kelak sudah membuka kantor sendiri.   Selama perjalanan menuju kantor BPN, aku membuka email kantor dan Teddy sibuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan pekerjaan di kantor dan apa saja rencana kerja kantor untuk seminggu ke depan. Aku membaca email dengan teliti kemudian membalas satu persatu email tersebut sambil mendengarkan penjelasan Teddy yang begitu antusias. Tidak satupun ucapannya yang menyinggung mengenai masalah pribadiku. Aku sedikit tenang, setidaknya mood kerjaku tidak rusak dan kami pun sudah fokus untuk menyelesaikan pekerjaan kami masing-masing. Ya meskipun kami dari kantor yang sama, terkadang urusan kami di BPN akan berbeda, seperti hari ini, kami telah menginjakan kaki di kantor BPN Kota Biru, aku menuju sebuah meja resepsionis karena kedatanganku hanya akan mengambil sebuah surat pernyataan mengenai kebenaran dokumen dari Pak Bima, salah satu klien tetap di kantor, yang hanya aku yang boleh mengambilnya karena begitulah instruksi yang diberikan oleh Pak Bima dan Ibu Nuri, sedangkan Teddy menyelesaikan beberapa administrasi pada sebuah loket yang berada sisi lain ruangan BPN ini.   Aku sudah duduk kembali di sofa lobby kantor BPN sambil menunggu Teddy yang masih sibuk untuk menyelesaikan administrasinya. Aku melanjutkan membuka email kantor dan memastikan semua email sudah dibalas, kemudian aku beralih pada aplikasi pesan dan membuka orolan grup yang anggotanya adalah seisi kantor Ibu Nuri termasuk OB dan sopir kantor juga. Ada ratusan pesan disana yang belum sempat aku baca selama seminggu terakhir, itu membuat mataku mulai perih hingga aku membacanya hanya sepintas saja dan memilih tanda chat terakhir, namun sebelum sempat aku klik, mataku tertahan karena mendapati ada namaku disana.   “Ibu Laras mengajukan cuti mendadak untuk seminggu ke depan, jika ada pekerjaan yang berkaitan dengannya, silakan koordinasikan dengan Pak Teddy”, begitu lah isi pesan yang dikirim langsung oleh si empunya kantor, siapa lagi kalau bukan Ibu Nuri. Aku sedikit kaget membacanya, karena aku hanya mengatakan mengenai cutiku pada Teddy dan kemudian mematikan ponselku selama seminggu itu. “Pasti Teddy yang menghadap langsung pada Ibu Nuri”, pikirku.   “Hei, ayo balik, aku sudah beres nih”, ajakan Teddy membuatku menutup chat grup tersebut dan memasukkan ponselku ke dalam tas. Kami kembali masuk ke dalam mobil sampai Teddy membuka suara, “Aku lapar, tadi lupa sarapan, kita makan dulu Ras”, ajak Teddy. “Boleh, aku juga belum makan dari pagi”, jawabku. Suasana hening tercipta di mobil, baik aku maupun Teddy tidak ada yang membuka pertanyaan kita akan makan apa dan dimana sampai tiba-tiba kami sudah ada di sebuah warung makan hidangan laut yang begitu sederhana namun letaknya yang sangat tidak sederhana karena berada di tepian pantai cantik yang mampu membius siapa saja untuk tenggelam dalam pesona pantai tersebut.   “Makan disini aja ya”, ucap Teddy sembari keluar dari mobil tanpa menunggu persetujuan dariku. Akupun keluar dari mobil dan mengikuti langkah Teddy. Setelah menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Teddy menyerahkan kunci itu padaku, dan akupun menyimpan kunci tersebut dalam tasku. Tempat makan ini memang sangat sering kami kunjungi karena kami memang sama-sama penyuka hidangan laut dan harga disini juga tergolong murah. Jangan salah, meskipun murah, namun rasanya berani diadu dengan rasa masakan di restoran mewah.   Kami memesan menu yang sama dan tidak membutuhkan waktu yang lama akhirnya pesanan kami datang. Kami pun makan dengan tenang dan menghabiskannya dengan cepat. Setelah habis, aku beranjak untuk membayar namun tertahan saat Teddy menyerahkan dompetnya padaku. Memang aku yang akan membayar namun uang itu harus berasal dari Teddy, begitulah kebiasaan kami, meskipun kadang uang itu berasal dari dompetku namun uang itu juga berasal dari bonus-bonus yang kami terima dan Teddy memintaku untuk menyimpankan untuknya.   Setelah selesai membayar, aku menyusul Teddy yang kini sedang menikmati rokoknya tak jauh dari mobilnya diparkir. Aku mengeluarkan kunci mobil dan menyerahkan pada Teddy. Aku sempat menghubungi kantor untuk menanyakan mengenai keadaan kantor, Lani yang merupakan sekretaris Ibu Nuri mengatakan bahwa semua baik-baik saja dan tidak ada klien yang datang atau menghubungi untuk mencari kami atau Ibu Nuri. Setelah aku dan Teddy sudah berada di mobil, Teddy kemudian menghubungi Lani secara langsung dan mengatakan bahwa kami tidak akan kembali ke kantor karena masih ada beberapa pekerjaan dan mungkin selesainya akan bersamaan dengan jam pulang kantor, jadi kami akan langsung pulang setelahnya. Aku agak bingung dengan penjelasan Teddy karena di agenda hari ini, kami sudah tidak ada janji apapun jadi seharusnya kami bisa kembali ke kantor.   “Kita pulang?”, tanyaku hati-hati. “Iya, kamu istirahatlah. Aku ada sedikit pekerjaan di rumah dan aku akan menjemputmu untuk makan malam. Nanti aku jemput jam 7 ya”, ucapan Teddy yang datar membuatku hanya ber-ok ria menjawabnya. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD