1.

729 Words
Seorang wanita kira-kira setinggi 160cm berlari tergesa dari arah berlawanan, dan menabrakku. Dapat kudengar napasnya yang memburu, dapat kulihat gestur takutnya ketika berulang kali melihat ke belakang, dan dapat kucium bau keringat bercampur amis darah juga tanah lumpur dari badan gemetarnya. Aku terduduk di lantai gang yang dingin, masih mencerna situasi yang terjadi di depan mata, namun tiba-tiba wanita itu melemparkan buku tebal ke pangkuan. Samar, aku mendengarnya berbisik, “Sembunyikan.” Aku bingung dan mencoba bertanya, tapi belum sempat membuka suara, dia sudah berlari lagi ke luar gang. Baru saja hendak bangkit, aku kembali terduduk sembari menutup mulut ketika sesosok tinggi besar dengan masker mengadang wanita itu dari samping. Sosok tersebut menghunuskan pisau ke si wanita dengan mulus tanpa halangan. Benar-benar pisau!Jantungku berdetak cepat seiring keringat dingin yang membasahi baju. Ingin berlari, tapi rasanya otak dan tubuhku tidak sejalan. Aku yang terlalu terkejut dengan situasi ini, berakhir diam di tempat. Mengabaikan lantai gang yang kotor, aku membekap mulut dengan tangan kanan, sementara kiri memeluk buku tebal si wanita, dan berusaha tidak bersuara, sekalipun harus menahan napas. Wanita itu meringis sambil memegang perut, kemudian orang bermasker menendangnya hingga terjatuh. Tanpa perlawanan berarti, wanita yang tidak kukenal tersebut mendapat dua tusukan lagi di tempat yang sama, kemudian tersungkur. Seakan belum puas, sang penyerang menginjak tangannya pula, menendang wajah bahkan menjambak dan membisikkan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Dia seperti mencari sesuatu ketika merogoh dan memeriksa gaun selutut si wanita. Saat tidak menemukan yang dicari, dia meletakkan tangan di leher wanita malang tersebut—mungkin memastikan telah tewas atau tidak. Setelah beberapa detik, diawasinya daerah sekitar, termasuk area gang sempit tempatku terduduk lemah. Dia lama menatap kegelapan di sekeliling, memaksaku menguatkan bekapan mulut, dan mengeratkan pelukan pada buku tebal si wanita. Usahaku untuk bersembunyi gagal, saat ponsel  berbunyi. Entah siapa yang menghubungiku saat ini, dia membuat nyawaku dalam bahaya. Buru-buru aku bangkit sambil merogoh ponsel di kantong rok, bertepatan dengan si pembunuh yang berlari ke arahku. Dengan segenap tenaga, aku berlari menelusuri gang yang sempit, gelap, dan berliku. Di belakang, derap langkah pemburu terdengar semakin jelas dan dekat. Aku berhasil mengambil ponsel dari saku, mendapati fakta bahwa Reno yang menghubungiku. Karena terlalu panik, aku yang masih berlari sambil berusaha menjawab panggilan dari Reno, malah tersandung dan menjatuhkan dua benda di tangan. Secepatnya aku bangun dan memungut buku tebal milik si wanita. Sayangnya, aku tidak sempat mengambil ponsel yang terlempar cukup jauh, karena mendengar langkah si pembunuh mendekat. Aku sempat melirik ponsel yang masih berkedip beberapa kali sebelum keluar gang. Lampu jalan menyambut dan aku bisa berteriak 'tolong' sekuatnya. Aku terus berlari menuju jalan besar tanpa menoleh sedetik pun ke belakang. Pikiranku dipenuhi imajinasi, andai dia berhasil menangkapku maka aku akan bernasib sama seperti wanita itu. Berurai keringat, aku menguatkan tekad untuk terus berlari. Sedikit lagi, aku akan tiba di persimpangan. Hanya tinggal beberapa meter lagi menuju Jalan Lily, belok kanan, lalu menyeberang jalan menuju perumahan. Setelah di sana aku akan aman. Sial. Kakiku rasanya mau patah, jantung seperti akan keluar dari badan, dan pandangan mulai meremang. Aku sangat takut dan ingin segera sampai ke Jalan Lily. Masa bodoh dengan sepatu yang beberapa kali menginjak kerikil. Masa bodoh dengan bayang-bayang lampu jalan dan pertokoan yang tutup seolah mengejek nasib sialku. Masa bodoh dengan harapan konyolku bahwa akan ada pemilik toko tiba-tiba membuka tokonya lebih awal pada dini hari. Masa bodoh! Takut-takut, aku menoleh sekilas ke belakang. Dia masih mengejar. Aku merasa ingin pingsan ketika tangan itu seperti hendak menjangkauku. Jarak kami semakin mengecil. Saat berpaling lagi ke depan, jalan berlubang malah membuatku tersandung. Buku tebal si wanita terlempar beberapa senti ke depan. Aku segera bangkit, mengabaikan lutut yang perih. Langkahku berakhir di sini. Ada tangan besar singgah di pundakku, terasa hawa panas dari napas memburunya mengusik tengkuk. Aku tidak bisa menahan air mata mengalir di pipi, apalagi menghentikan gemetar tubuhku ketika tangannya semakin mencengkeram bahu. Dalam keadaan meremang, kutatap buku si wanita bertuliskan ‘Kamus Inggris-Indonesia’ yang dicetak tebal di sampulnya, dengan tulisan YI di pojok kanan atas dan dua cap jempol tepat di bawah inisial itu. Tiba-tiba aku teringat Mama di rumah. Tidak seharusnya aku berbohong kepadanya tadi. Aku bilang akan belajar kelompok, padahal bermain. Andai saja pulang tepat waktu. Andai tidak berlagak sok keren dengan pulang sendiri di tengah malam. Andai tidak memilih jalan ini. Tapi nasib berkata lain dan sebuah kepastian melintasi pikiranku. Mulai malam ini, hidupku akan berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD