Semarang.
Intan baru saja sampai di bandara Semarang, siang ini bersama kedua anak kembar, pengasuh dan ibunya. Intan terpaksa mengajak ibunya turut serta, karena beliau tak sanggup berada jauh dengan ia dan kedua sang cucu, ungkapnya.
Ke luar dari Bandara, Intan memesan taxi online untuk membawa mereka ke sebuah tempat penginapan sementara sebelum ia mencari sebuah rumah kontrakan. Ia berencana mencari sebuah rumah kontrakan yang layak dengan harga miring.
Tak berselang lama, taxi online pun telah datang. “Apakah Saudari, Ibu Intan?” tanya sang supir dengan ramah.
“Iya, Pak,” sahut Intan dengan anggukkan kecil.
“Tujuan penginapan Hotel Ibis?” tanyanya lagi.
“Benar, Pak.” Intan kembali mengangguk kecil.
Supir itu pun kemudian mempersilahkan Intan dan yang lainnya untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu membawa mereka ke tempat tujuan yang tadi disebutkan olehnya.
“Terima kasih, Pak supir,” ucap Intan setelah membayar ongkos taxinya.
“Sama-sama, Buk,” ucap supir itu sambil menerima tariff ongkos dari tangan Intan dengan tersenyum ramah.
“Untuk sementara kita menginap di sini dulu ya, Mah, Sus,” terang Intan sambil menarik koper miliknya dan milik si kembar.
“Iya, Nak,” sahut Widya dengan anggukkan.
“Iya, Buk,” sahut suster Dina juga dengan anggukkan.
***
Hotel Ibis Semarang.
Sebelumnya Intan sudah memesan online satu buah kamar untuk mereka tempati dengan fasilitas lengkap, nyaman dan aman. Jadi, sesampainya di sana Intan hanya menunjukkan bukti pemesanannya saja kepada resepsionis yang sedang bertugas jaga.
“Ini, kartu dan nomor kamarnya sudah tertera di sini, Buk,” ucap resepsionis tersebut dengan ramah sambil menyodorkan ke arah Intan.
“Baik, terima kasih, Mbak,” balas Intan dengan anggukkan dan senyuman kecil sambil menerima kartu tersebut.
“Nak, kenapa tidak menyewa penginapan yang biasa atau murah saja?” tanya Widya dengan berbisik di telinga Intan.
“Ini juga murah kok, Mah. Intan, dapat diskon tiga puluh persen saat memesannya dua hari yang lalu,” ungkap Intan jujur sambil berbisik pula.
“Oh, begitu,” ucap Widya seolah mengerti dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Heem…,” gumam Intan dengan senyuman tipis.
Sementara suster Dina tetap asik mendorong stroller baby Dewa dan Dewi, tak mau tahu apa yang sedang dibisikkan oleh majikannya. Ia tidak suka mencampuri urusan majikan, yang ia lakukan hanyalah tugasnya menjaga kedua anak kembar yang lucu dan menggemaskan tersebut.
***
Di kamar.
Setelah memasuki kamar, Intan pun langsung membersihkan diri terlebih dahulu untuk segera memberikan ASI pada si kembar. Meskipun stok ASI di dalam kotak pendingin masih ada, Intan lebih suka memberikannya langsung di saat berada di dekat mereka.
Sementara Widya dan suster Dina sibuk merapihkan barang bawaan mereka terlebih dahulu, kemudian membersihkan diri dan berganti pakaian.
Hampir satu jam memberikan ASI pada si kembar secara bergantian, mereka pun tertidur lelap. Intan kembali merapihkan kancing bajunya, lalu menghubungi nomor room service yang tertera di menu nomor telpon saluran kabel di kamarnya.
“Mah, Sus, kalian mau pesan makan siang pakai apa? Sekalian minumannya juga,” tanya Intan sebelum menekan tombol nomor room service.
“Mama mau makan yang seger-seger ajah, Nak. Soto daging, kalau ada. Minumannya teh manis ajah lah,” sahut Widya sambil membayangkan segernya kuah daging di dalam mulutnya.
“Ada dong pastinya, Mah,” ucap Intan sambil tersenyum kecil.
“Kalau saya terserah Ibu saja,” sahut suster Dina dengan senyuman kecil.
“Nggak gitu ah, sus. Kamu sukanya makan apa, nanti tinggal dibuatin sama pelayannya,” ucap Intan dengan gelengan kepala.
Suster Dina pun nampak bingung, ketika mendapati majikannya yang mendesak ia untuk menyebutkan makanan kesukaannya. Pasalnya semua yang ia makan selama ini, semuanya hampir ia sukai. “Em…, apa ya, Buk? Saya bingung kalo disuruh milih mau makan apa,” ungkapnya polos sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Widya yang duduk di sampingnya pun lantas terkekeh pelan melihat tingkah lugu susternya tersebut. Ia pun ikut membantu menawarkan makanan pilihannya yang sama. “Soto Daging ajah, sama kayak saya, sus,” ucapnya sambil menepuk pelan bahu suster Dina.
“Eh, iya, Nek,” ucap suster Dina cengengesan.
“Kamu yakin, sus?” tanya Intan memastikan bahwa pesanannya sama dengan ibunya.
“Iya, Bu Intan.”
“Okay, kalau begitu.” Intan pun segera menghubungi room service untuk memesan makanan dan minuman untuk makan siang mereka sesuai yang disebutkan tadi.
Tak menunggu lama, menu yang dipesan pun telah sampai di kamarnya. Mereka segera menyantapnya habis tak bersisa, lalu tidur siang untuk beristirahat.
***
Intan berencana untuk mencari rumah kontrakan sore ini di tempat yang tidak terlalu jauh dari kantor kerjanya yang baru. Alamat kantornya juga tidak jauh dari tempat penginapannya saat ini, jadi ia tidak lama-lama meninggalkan ibu dan si kembar.
“Mah, Intan mau ke luar dulu ya. Intan, mau cari rumah kontrakan,” pamit Intan sambil mengecup punggung tangan ibunya.
“Sekarang? Emangnya nggak capek, Nak? Kenapa nggak besok ajah sih?” tanya Widya heran dengan putrinya yang tak mengerti kalau mereka itu baru saja sampai di Semarang.
“Nggak bisa dong, Mah. Besok kan udah hari pertama Intan masuk kantor yang baru, malah akan susah cari rumah kontrakan sepulang kerja. Lebih baik Intan cari sekarang juga, biar kita bisa langsung pindah ke rumah kontrakan secepatnya,” jelas Intan.
“Terserah kamu saja, Nak. Kalau menurut kamu itu lebih baik, Mama tidak bisa melarangnya,” ucap Widya tersenyum kecut, terpaksa mengikuti apa yang dilakukan oleh putrinya. Dilarang pun percuma, ia tahu putrinya sedikit keras kepala.
“Terima kasih, Mah,” ucap Intan meringis kecil. Ia sadar kalau ibunya pasti terpaksa mengikuti kemauannya, habis mau gimana lagi kalau waktunya sudah deadline.
***
Waktu terus merangkak naik, langit mulai gelap. Intan melirik arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul enam petang, akan tetapi ia belum juga mendapatkan rumah kontrakan yang cocok dan pas di kantongnya.
Suara azan magrib berkumandang, Intan pun segera mencari masjid untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Meskipun ia bukan seorang muslimah yang taat, akan tetapi ia tahu akan kewajiban sholatnya.
Setelah menjalankan tiga raka’at, Intan pun berdoa kepada sang Khalik agar diberi kemudahan dengan apa yang ia inginkan saat ini. Beranjak pergi dari masjid, Intan melanjutkan kembali langkahnya, akan tetapi perutnya berbunyi nyaring. ‘Krukkk….’
“Laper….,” bisiknya lirih sambil mengelus perutnya yang baru saja berbunyi.
Kedua netra Intan mencari penjual makanan di sekitarnya berdiri, barang kali ada makanan yang disukainya. Kebetulan ada penjual pecel lele tak jauh berada di sebrang jalannya, lantas dengan cepat ia pun menghampirinya.
Namun, tiba-tiba sebuah klakson mobil mengejutkannya hingga Intan pun sepontan menjerit dengan sangat keras sambil menutup wajahnya dengan tas tangannya. “AAAAAA……”
“HEI…., APAKAH KAMU SUDAH BOSAN HIDUP, HUH?!” teriak seorang pria yang baru saja ke luar dari dalam mobilnya dengan wajah garang.
Mendengar suara teriakan pria garang tersebut, Intan pun lantas menurunkan tas tangan yang menutupi wajahnya. Ia hendak memaki pria yang hampir menabraknya tersebut dengan kemarahan yang memuncak, rasanya ingin makan orang saking laparnya. “HEH…...,” ucapnya terhenti ketika melihat pria yang sedang berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang.
“K-kamu….!” Pria itu nampak terkejut dengan wajah gadis pembawa onar di pesta pernikahan rekan bisnisnya semalam.
Intan pun tak kalah terkejut dengan apa yang dirasakan oleh pria tersebut. Kenapa ia bisa bertemu lagi dengan pria dingin yang super menyebalkan itu, pikirnya.