Bab 1

1742 Words
Bab 1 'Hal yang paling menyakitkan adalah, saat orang yang paling kita sayang dan kita cintai pergi untuk selama-lamanya dalam hidup kita, dan kita sendiri sama sekali tidak bisa melupakannya sedetik saja. Larut dalam rasa rindu yang tak berkehabisan, rindu akan kehadirannya dan rindu akan semua hal yang dimilikinya' Terlihat seorang pria dengan kameja putih dan sweater abunya tengah duduk di sisi ranjang. Di tangannya terdapat sebuah bingkai foto, matanya yang berbinar terus saja memandangi wajah cantik yang tengah tersenyum dalam bingkai foto tersebut. Hatinya terasa begitu hampa, hampa tanpa ada lagi seorang kekasih yang selalu menemaninya dalam suka maupun duka. Tanpa ada lagi tangan yang akan memegangnya ketika merasa hancur, tak akan ada yang menyentuh bahunya kala merasa lelah. Wanita itu telah pergi membawa raganya, tapi hati mungkin tetap akan tersimpan kokoh dalam hati Arsya Arya Denopati pula. Pria yang masih begitu setia pada istri yang telah tiada. Seperti tak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosoknya lagi. Wanita yang begitu berharga itu hanya akan dia dapatkan satu kali, begitulah pemikirannya. Arsya membawa benda mati itu ke dalam pelukannya. Dia sangat merindukan istrinya yang kini sudah terkubur dalam gumpalan tanah merah, tak akan pernah kembali lagi. Kedua matanya terpejam hingga buliran air bening kembai jatuh, tak dapat lagi menahan genangan di kelopak matanya. Kenangan menyakitkan kembali lagi terekam dalam memorinya. Arsya memeluk Riana, istrinya yang baru saja menghembuskan napas terakhirnya di atas ranjang rumah sakit. Pria itu memeluk erat sang istri yang telah tiada ditemani dengan tangisannya yang pecah. "Rianaaa, bangun Rianaa, banguun ... Rianaaaa," isaknya memanggil. Dia menciumi puncak rambut istrinya yang tak bernyawa itu dengan segenap cintanya. Wajahnya pucat dan rambutnya yang hampir terkikis habis. Mengapa Tuhan begitu kejam padanya? Membawa kekasih hatinya yang sudah menjadi Ibu untuk anaknya pergi dengan cara seperti ini. Cara yang begitu menyedihkan kejam. Melawan penyakit mematikan sekuat tenaga dan pada akhirnya penyakit itu malah merenggut nyawanya dengan tak memberikan waktu lama. Dia istri yang sangat baik dan sempurna, sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. Isakan tangis Arsya masih terdengar menggema di dalam ruangan itu. Ia tak sanggup mengatakan hal ini pada anak laki-laki semata wayangnya nanti, sama sekali tak ada kekuatan untuk memberi tahunya. Anak itu harus menjadi anak piatu di waktu yang begitu dini, masih begitu kecil dan masih sangat membutuhkan kasih sayang dan didikan seorang Ibu. Sekarang, Arsya harus bisa menjaga anaknya yang baru berusia enam tahun, itupun baru kemarin dia berulang tahun. Ini adalah kewajibannya sebagai seorang Ayah sekaligus seorang Ibu juga. Meski akan sulit, karena di sisi lain ia juga harus bisa mengurus perusahaannya. Untung, Arsya masih mempunyai seorang Ibu yang memang mereka tinggal dalam satu atap rumah. Rumahnya cukup luas dan mewah bak sebuah istana. Ini adalah buah hasil atas kesuksesan perusahaan keluarganya. Arsya juga terbilang pria yang masih cukup muda, masih banyak kesempatannya untuk menikah lagi. Yah memang, rasa cintanya pada kekasih hati pertama selalu menghalanginnya untuk memberikan sosok Ibu baru kepada anaknya. Tapi jika putranya ingin mendapatkan Ibu, Arsya tak akan menolak. Dia akan menuruti setiap keinginan buah hatinya, karena hanya dialah satu-satunya yang Arsya punya, peninggalan istrinya yang harus Arsya bahagiakan, jangan sampai membuatnya sedih apalagi menangis. Bahkan dia berani melawan keinginannya untuk tetap setia dan mengenyampingkan kebahagiaannya sendiri. Tok tok tok Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Arsya yang menyadarinya langsung menghapus jejak air matanya yang sangat memalukan jika harus terlihat oleh orang lain, apalagi putranya. Dia bangkit dari duduknya lalu menyimpan bingkai foto istrinya di atas nakas. Arsya berjalan menuju pintu meraih kenop pintu untuk membukanya. "Selamat siang Tuan," pelayan itu membungkukkan setengah badannya. "Ada telfon untuk tuan," lanjutnya memberikan telfon rumah itu pada Arsya. "Yahh," Arsya menerima telfon tersebut dengan wajah yang masih terlihat sedikit memerah. Pelayan itu pun pergi dari hadapan Arsya, membiarkannya menelfon. Arsya mengangkat telfon dan menyimpannya di dekat telinganya, "Ya hallo?" "........." Suara di sana terdengar samar-samar, Arsya hanya mendengarnya dengan teliti. Laki-laki itu terdiam, seperti sudah beberapa kali mendapatkan berita seperti ini. Kabar yang selalu datang berulang-ulang kali. Ini tidak membuatnya kaget atau bertanya-tanya. Sekarang ekspresinya semakin tak menentu. Setitik pun tak ada keteduhan yang tersimpan di sana. "Ya, saya secepatnya datang," ujar Arsya menutup sambungan telfonnya. Dia berjalan untuk menyimpan benda itu dan bergegas pergi ke suatu tempat, untuk menyelesaikan masalahnya di sana. Tak membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di tempat dimana anaknya menempuh pengajaran layak. Tempat itu begitu ramai, banyak anak-anak yang berlalu lalang dan berlarian di halaman sekolah dengan pakaian putih merahnya. Di sinilah tempat mereka menuntut ilmu dasar dan mencari banyak teman. Mereka bisa bersosialisasi dan bermain dengan sangat riang dan sesuka hatinya. Meski kadang, sebagian dari mereka selalu bermalas-malasan dalam mengikuti pelajaran di kelas. Karena mereka lebih suka bermain di luar. Setiap anak pasti mempunyai karakternya masing-masing. Dan para gurupun bisa memaklumi hal itu. Arsya tiba di ruangan kepala sekolah. Putranya yang berada di dalam langsung menengok ke belakang, begitupun guru yang juga ada di sana. Suasana di sana tampak hening dan menegang. Arsya juga melihat seorang murid yang pastinya teman dari anaknya, Gio. Dia bersama dengan Ibunya yang kini memancarkan kemarahan dan kekesalannya lewat pancaran matanya. Di ambang pintu, Arsya menghembuskan napas berat. Dia tahu apa yang telah terjadi. *** Terik matahari di kota Jakarta terasa begitu menyengat dan membuat kulit panas. Ditambah dengan asap-asap kenadaraan yang semakin menambah kotoran di udara. Beginilah Jakarta, kota paling besar dan paling banyak penduduknya. Selalu macet di jalan raya. Banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi. Gadis ini tengah menendang-nendang batu kerikil di sisi jalan. Wajahnya yang muram dan ekspresinya yang begitu kalut, bagai telah mendapatkan angin topan yang sangat dahsyat. Di tangannya ada beberapa map dan kertas-kertas. Belum lagi suasana di sekitarnya yang ricuh karena suara-suara kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Gadis itu semakin dibuat kacau, tak tahan lagi tinggal lama-lama di kota menyebalkan ini. Drtttt...drtttt... Ponsel di saku celananya bergetar hingga membuat gadis itu sedikit terlonjak. Dia langsung merogoh saku celanaya dan menarik ponsel dari sana. Langkahnya terhenti beberapa saat. "Iya Ayah?" "........." Kakinya kembali melangkah menyusuri trotoar. Telinganya bekerja mendengarkan ucapan Ayahnya yang berada di tempat jauh. "Gimana aku bisa cari kerja kalau semua orang di sini itu pada galak dan sombong?! Orang kota itu pada rewel Ayah, cuma cari orang yang pendidikannya tinggi. Lah aku? Cuma lulusan SMA Ayaah, emang apa yang bisa aku lakuin?" wajahnya memelas. "........" Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "........" "Ayah kasih nama aku Clara, C L A R A," ejanya dengan nada menekan. "Kaya orang kota, tapi kenapa hidup aku miris gini Ayah?" Terdengar kekehan cukup keras dari telfon yang kini berada dekat di telinga Clara hingga membuat gadis itu tercenung dan mengerut. Detik berikutnya, ia menyadari bahwa ternyata Ayahnya sedang mentertawakannya di sana. Clara menjadi sangat jengkel. Dia memajukan bibir bagian bawahnya dan meniupi ujung rambutnya. "Oke kalau gitu BAY Ayah!" sentak Clara mematikan sambungan telfonnya. Dia memijit tombol merah kencang-kencang. Dengan perasaan yang masih tak bersahabat, dia duduk di halte bus sambil mengeluarkan napasnya yang sangat kelelahan. Ia menyandarkan kepalanya di dinging samping halte, dia merenung sambil berkhayal. Andai saja saat tiba di Jakarta dia bisa menjadi seorang Aktris, pasti tak akan semerana ini. Dari dulu, dia selalu hidup berkecukupan, tak bisa bermewah-mewahan. Dia juga hanya mempunyai seorang Ayah, Ibunya lebih dulu meninggalkannya setelah melahirkan dirinya. Clara belum pernah melihat wajah Ibunya, pasti mereka mirip, kan? Jika tidak sebagai aktris, Clara bermimpi ingin menjadi seorang Dokter. Dari kecil, cita-citanya adalah untuk bisa mengobati orang-orang yang sakit, tapi apa yang bisa diperbuatnya? Takdir tak pernah berpihak padanya. Clara menggerutu tak jelas, marah-marah tanpa menghiraukan di mana ia berada. Tak peduli bahwa orang-orang menganggapnya gila. Tapi tiba-tiba pandangan Clara berhenti di sebuah titik. Atensinya menangkap siluet wanita paruh baya yang berdiri di sisi jalan di sebrang sana. Dia terlihat sangat kesulitan dan bingung menyebrangi jalan raya, wajahnya yang keriput dan dan tubuhnya yang kecil membuat Clara merasa iba. Gadis itu lantas turun dari halte dan menyebrangi jalan dengan sangat hati-hati menggunakan gerakan tangannya, memang sulit karena kendaraan bermotor dan bermobil melaju dengan kecepatan tinggi, dengan jumlah yang banyak pula. Clara tiba di sisi nenek tersebut. "Nenek mau nyebrang?" tanya Clara dengan suara tinggi karena takut jika nenek ini tak akan mendengar. "Iya, nak." Clara segera meraih tangan nenek, "Ayo saya bantu, nek." Nenek itu mengangguk penuh arti, Clara mulai kembali menyebrangi jalan lagi dengan menuntun nenek yang mungkin kini sudah merasa lega. Zaman sekarang susah sekali unruk menemukan anak muda yang baik, mereka selalu sibuk dengan kesenangannya. Ini adalah sebuah keberuntungannya Mereka sudah tiba di tepi jalan. Lalu Clara membawa nenek ke halte tempatnya duduk tadi. Keduanya duduk di sana. "Makasih, nak, kamu udah nyempetin bantu nenek," ujar wanita tua itu. "Sama-sama, nek. Udah kewajiban kita ngebantu orang yang butuh bantuan, apalagi orang tua kaya nenek," balas Clara dengan nada santun. "Nenek do'ain, kamu bisa cepet-cepet di kasih jodoh yang baik juga." "Ahhhh," Clara mengangkat tangan dan menggoyang-goyangkannya. "Nenek gak usah berlebihan. Saya ikhlas bantu Nenek, lagian, siapa yang mau sama saya. Saya itu pengangguran," Clara cengengesan sendiri. Jodoh? Kapan? Selama ini pun dia belum pernah berhubungan dengan seorang pria. "Saya juga bukan orang Jakarta, jadi mana ada yang mau sama saya." "Apa mereka cuma liat di mana kamu tinggal dan liat tentang keadaan kamu? Nenek tau, kamu pasti anak yang baik, jadi jangan takut." Gadis itu terdiam. "Ini ucapan Nenek sekaligus do'a." Clara hanya tersenyum, ia tak mau menganggap serius ucapan nenek tua di sebelahnya ini. "Oh, ya. Nenek mau kemana? Mau saya anter?" Clara langsung mengganti topik pembicaraan. "Gak usah, nak. Nenek mau naik bus. Kamu bantu nenek nyebrang aja nenek udah seneng." Clara kembali tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Tak menunggu beberapa lama lagi, sebuah bus tiba di depan mereka. "Busnya udah dateng, nenek duluan ya," dia bangkit dari duduknya dan berjalan pelan menuju bus. Clara masih duduk dan memandang kepergian nenek tua itu sampai dia benar-benar masuk dan bus pun melaju meninggalkan pemberhentiannya tadi. Jika benar dia akan mendapatkan jodoh di kota ini, mungkin itu akan menjadi kebahagiaan yang menakjubkan untuk Clara. Impiannya adalah, mencintai pria yang juga mencintainya. Itulah keinginan kecilnya tentang cinta. Jujur, selama ini dia tak pernah berpacaran dan menjalin hubungan cinta. Yahh semoga ya, ada yang mau dengan dirinya yang sederhana dan tak mempunyai kemampuan apa-apa. Terdengar menggelikan jika sekarang dia akan bertemu dengan jodohnya yang mempunyai kepribadian baik. Ada-ada saja nenek yang barusan dijumpainya. Sudah seperti Ibu Ratu yang diutus untuk memberitahu tentang jodoh pada si jomblo. Clara mulai berpikiran ngaco, sadar, ia sedang tidak hidup dalam cerita dongeng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD