Seorang penulis pemula. Senang menulis sejak masih sma. Suka sekali membaca novel terutama serial harlequeen yang sangat menarik. Selama belajar menulis, bergabung dalam grup menulis. Belajar menulis benar-benar dimulai dari nol karena memang latar belakang pendidikan yang bukan dari jurusan bahasa. Namun kecintaan yang besar untuk bisa membagikan cerita kepada dunia, membuat saya akhirnya belajar dan bisa menulis meski baru memiliki beberapa karya tulis.
Gadis bersahaja menuruni setapak licin di tengah jalan kampung. Usianya masih lima belas tahun. Rambut keritingnya terlihat rapi disanggul agak tinggi. Bibir sumbingnya terlihat jelas. Jerawat -jerawat kecil tersebar merata di wajahnya yang lebar. Dari arah depan terdengar langkah kaki yang berat. Jeni begitu ia biasa disapa-bersidekap.
"Uh…oh…" suara keluhan Jeni. Ia segera tahu siapa yang datang dari depan. Jeni setengah berlari keluar dari dari setapak agak menjauh ke rerumputan tinggi di samping kanan. Diam di sana, menahan napas.
'Tuhan! Semoga dia tak tahu,' batinnya cemas. Gadis itu menunggu tak bergerak. Ia terus berdoa semoga dedaunan di sekitarnya pun turut hening.
Langkah-langkah besar, berat dan tidak teratur kian mendekat. Ryu mendekat. Sosok lelaki tiga puluh tahun yang agak terbelakang itu sudah dekat. Pakaiannya kumal dan kusam. Di pundaknya ada plastik berisi sampah yang ditemukan di sepanjang jalan. Bagi Ryu, isi plastik itu adalah harta berharga. Ia memungutnya dengan penuh cinta, memperhatikannya lama di bawah sinar mentari. Seakan hendak mengukur kualitas penemuannya itu. Mulai dari botol bekas sampai pada helaian kain bekas. Semuanya terlihat indah di bawah mentari.
Tiba-tiba Ryu tengadah. Berhenti sejenak membaui sekitar. Jeni pucat, di sela-sela rerumputan, kedua matanya nyalang memperhatikan takut-takut. Peluh menetes di sela-sela jerawat. Gatal tak tertahankan. Namun, ia tak bergerak sekarang. Terutama sekarang. Ryu tersenyum bahagia. Dipenuhinya udara dalam rongga dadanya yang membusung. Jeni menduga ia ketahuan. Maka, ketika sepasang mata Ryu melotot ke arahnya, gadis itu segera mengambil langkah seribu.
" Mamaaaaaa…." Teriakan Jeni membahana ke seantero kampung. Jeni berlari ketakutan diikuti Ryu yang mengejarnya kegirangan.
Rasa takut segera berbau dalam tawa riuh sekelompok orang. Jeni mendengkus dalam hati. Ia tidak menyukai kenyataan pahit itu. Ketakutannya terhadap Ryu dijadikan bahan tertawaan oleh seluruh penghuni kampung.
Di mata Ryu, Jeni adalah gadis tercantik di kampung tersebut. Ia berbeda. Terlihat berbeda di mata Ryu. Sama seperti seluruh harta berharga yang dikumpulkannya-yang teronggok di samping rumahnya. Jeni terlihat cemerlang dengan warna kuning terang rambutnya, bibirnya yang berbeda bentuknya dan teriakan ketakutan Jeni. Semuanya memikatnya. Bagi seorang Ryu, segalanya terlihat sempurna di dunianya yang juga sempurna- hanya baginya.
Jeni melaju- seakan terbang menuju rumahnya yang terletak di ujung kampung. Rasanya kakinya sungguh tak tahan untuk segera tiba di tangga pertama yang diyakininya akan menyelamatkannya dari monster menakutkan itu. Sudah sejak lama ia dan Ryu memiliki keterikatan nyata seperti ini. Ikatan yang aneh. Ryu selalu mengejarnya. Tak ada gadis atau pun makhluk lain yang dikejar lelaki terbelakang itu-hanya dirinya.
Jeni teringat kenangan suatu senja di kala umurnya masih delapan tahun. Sepulang sekolah ia dihadang Ryu yang menarik tangannya dengan gerakan cepat dan mendaratkan ciuman di pipinya. Kengerian itu terus terbayang setiap kali melihat lelaki terbelakang itu.
Di sekolah, Jeni merasa bahwa ia selalu diganggu sedangkan di kampung ia harus bisa menahan gurauan penghuni kampung mengenai Ryu. Ia membenci dunianya tiap kali melihat lelaki terbelakang itu.
"Mamaaaaaa…" Teriakan Jeni disambut ayah dan ibunya dengan senyum. Mereka sudah paham benar kelakuan anaknya. Ryu pasti sudah mengikutinya dari belakang.
"Ae koka?" Mama Jeni menghadang lelaki terbelakang itu di depan pintu. Napas Jeni terengah-engah. Ayahnya memberinya minum. "Terima kasih, Bapa-dia kejar saya lagi!" lapor Jeni. Ayahnya hanya mengelus rambut keriting Jeni sebagai balasan.
Ryu mengangguk kegirangan mendengar tawaran dari Mama Jeni. Kopi adalah yang ditawarkan Mama Jeni padanya. Ia sangat menyukai minuman yang satu itu- yang disebutnya air lumpur.
Jeni meminum air putih sambil mengintip lelaki terbelakang itu dari balik kain pintu kamarnya. Ia sedikit lega sekarang. Ryu terlihat sudah lupa pada Jeni. Matanya berbinar menikmati segelas kopi yang dihidangkan Mama Jeni. Ternyata penyelamatnya adalah segelas air lumpur- mata Jeni menyipit sambil mengingat-ingat.
TERJEBAK
Perempuan setengah baya itu bergerak mengintip dari balik dinding bambu dapur rumahnya. Ia merasa agak aneh. Akhir-akhir ini ia sering melihat saudara jauhnya-Ben-mendekati rumah tetangga mereka untuk sekadar silaturahim.
'Ada-ada saja si Ben! Apa yang dia cari di sana? Jelas-jelas rumah itu sudah kosong sejak sebulan yang lalu.' Pikiran perempuan setengah baya itu terus menggeliat seiring tatapan matanya yang kian intens.
"Tidak baik mengintip-intip seperti itu!" Teguran sang suami mengejutkannya. "Ah, aku bukan hanya asal mengintip. Lihat, si Ben kembali mengunjungi rumah kosong itu lagi!" Bisiknya sambil menunjuk ke arah rumah ynaag berjarak lima ratus meter dari kediaman mereka.
Rumah bambu bercat hijau ynaag teleah ditinggalkan oleh pemiliknya sejak sebulan yang lalu tersebut terlihat lengang.
"Coba kau susul dia ke sana!" Suaminya bergeming. Ia malah maauk ke kamar tidur. "Aku ingin istirahat. Capek tadi habis menyiang di kebun."
Perempuan itu menarik napas berat dan mengembuskannya kembali kuat-kuat. "Aku akan ke sana sebentar, coba mengecek anak itu!" Perempuan itu segera menuruni tangga dapur menuju rumah tetangga.
Matanya terbelalak melihat keadaan ruang tamu. Di sana ada Ben dan beberapa pemuda yang tak dikenalnya. "Cepat pulang!Buat apa kumpul di sini? Kalian siapa?" Perempuan itu terus bicara sambil mengusir kumpulan pemuda tersebut. Ben segera menahannya, sedangkan pemuda lainnya segera bubar entah ke mana. Pergerakan mereka sangat cepat. Mata perempuan itu tak sanggup menangkap pergerakan mereka dengan jelas.
"Mereka siapa?" Tuntut perempuan itu pada Ben. " Mereka temanku, kami ada urusan ynag tidak ada kaitannya dengan kakak sama sekali!" Penjelasan itu malah membuat perempuan tersebut naik pitam. Diceramahinya Ben setengah jam lamanya. Isinya kurang lebih tentang jerih lelahnya mengurus Ben selama ini sejak ia ditinggal mati kedua orang tuanya.
Kata-kata perempuan itu menyadarkan Ben. "Nanti malam kami ada urusan. Kami hanya duduk omong tentang rencana itu, " terang Ben perlahan. Berharap bahwa Sang kakak tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut.
Perempuan itu menyipitkan matanya sejenak. Kecurigaannya perlahan mendekati kebenaran. Ben adalah mata-mata kelompok penyamun yang datang untuk menculik di desa mereka. Dari cerita yang beredar, kelompok tersebut memiliki ilmu kanuragan. Mereka mampu bergerak dengan cepat dan kebal terhadap senjata tajam. Dalam setiap aksi, mereka hanya membutuhkan seorang mata-mata yang berasal dari desa tersebut untuk memuluskan rencananya.
"Sebelum pergi, mari ke rumah. Makan malamlah di rumah, yah! Kakak tunggu. Ingat kamu harus datang, kalau tidak, kau tidak perlu menginjakkan kakimu ke rumah kakak lagi!"
Ben terlihat merenung. Ia ingin menolak tapi tak mampu setelah melihat keseriusan dalam tatapan mata saudarinya. Akhirnya dengan berat hati, ia duduk makan bersama kakak perempuannya dan suaminya di dapur mereka. Perempuan itu terlihat puas setelah melihat Ben makan dengan lahap.
Sejam kemudian terjadi huru-hara. Ada kelompok penyamun yang datang menyerang desa mereka. Namun, aksi mereka gagal karena mata-mata yang seharusnya jadi penunjuk jalan bagi mereka malah tertangkap. Ilmu kanuragan yangvtelh mereka titiskan padanya tak lagi mempan. Rupanya ia telah melanggar pantangan untuk tidak makan sebelum menjalankan aksi.
Perempuan setengah baya itu datang pula. Ia masuk dalam kerumunan dan tak lagi heran ketika mendapati Ben di sana. Dialah mata-mata yang telhaa dijebaknya.
"Aku melakukan ini untuk menyelamatkanmu dan penduduk desa," bisik perempuan itu pada Ben yang tertunduk lesu.