Bagian 08

1164 Kata
"Lihat sendiri, nih!" Kana mendesah kasar. Gadis itu mengangkat pergelangan tangannya yang tengah diingkari rantai, sambil sesekali menggoyangnya menunjukkan ke arah camera kalau itu asli dan bukan efek foto. "Huahaha!" tawa Kejora langsung meledak di seberang sana, di dalam layar ponsel Kana yang saat ini terhubung panggilan video. "Yaampun, maaf Kan, tapi kok bisa bukannya kamu lagi sakit?" tanya Kejora saat dia sudah puas menertawakan Kana. "Bisalah! Suamiku itu kan sinting gak punya hati, dia pikir aku peliharaan kali. Takut kabur," jelas Kana seraya mendesah kasar. "Lama-lama aku mati muda jika begini terus, tapi ah sudahlah." "Terus bagaimana dengan saudara tersayangmu. Claudia bodylotion itu, mau kita apakan dia? Mumpung keberadaan masih terlacak sekarang ...." Kana terdiam memikirkan rencananya. Harusnya sekarang dia bisa memberikan perhitungan, tapi apa daya, gara-gara mie instan, dia dibawa ke kantor dan sekarang di rantai suaminya itu. Sedangkan Evano memang sudah tak di ruangan itu, sebab pergi rapat dan tega meninggalkannya sendiri. "Kamu tahan dulu. Enak saja kalian mau langsung eksekusi perempuan itu tanpa aku. Minta Khanza terus memantau keberadaan Claudia dan jangan sampai lepas." "Baiklah, Nyonya Danuartha. Perintahmu siap dilaksanakan!" jawab Kejora meledek Kana dengan panggiannya itu. Seraya sedikit bercanda dengan mengankat tangan dan menghormat ke arah Kana. Setelahnya panggilan ditutup, tapi di saat yang sama pintu ruang kerja Evano terbuka, namun bukan empunya yang berada di sana. Melainkan sosok lain dan membuat Kana membuang nafas kasar. "Kakak, aku membawakan makan siang untukmu." "Dia tidak ada di sini!" Keduanya langsung bertemu pandang, dan langsung menatap dengan aura permusuhan. Namun, Wulan langsung menyadari keadaan tangan Kana yang tengah di rantai di sana. Kana pun mengikuti arah pandangan Wulan yang turun ke arah tangan Kana sendiri. "Kenapa? Kau bingung, ya? Soal rantai ini ...." Tiba-tiba Kana terpikirkan hal yang jahil dan dia bermaksud mengerjai Wulan. 'Hm, sepertinya asik juga membuat wanita sia*an ini tidak bisa tidur!' batin Kana diikuti dengan senyum liciknya dan seulas seringai tipis. "Ngapain dirantai gitu, kamu dihukum kak Evano?" Kana langsung menggelengkan kepala. "Ternyata kamu naif juga! Sudah dewasa masa tidak bisa menangkap maksud rantai ini bisa melilit di pergelangan tanganku--" Kana terdiam sesaat untuk melihat reaksi Wulan, dan segera tersenyum puas, saat menyadari perubahan wajah Wulan yang jadi pucat. "Kami habis main kuda-kudalah!" Kana menutup mulutnya, memaksimalkan aktingnya sambil tersipu malu. "Ups, harusnya aku nggak boleh beberkan hal ini, tapi apa boleh buat, aku tidak mau kamu jadi penasaran. Ah, iya. Kakak kesayanganmu itu sungguh kuat dan juga hot, aku sampai kewalahan menghadapinya," lanjut Kana sembari menyeka keringatnya. Namun, sebenarnya dia tidak bisa berkeringat secara tiba-tiba. Hanya saja itu efek obat penurun panas yang dia makan sebelum ikut suaminya ke kantor. Hal tersebut bisa terjadi, karena artinya obat itu sudah bekerja dengan baik. Keringat menandakan demam Kana sudah turun dan kondisinya sudah lumayan membaik. Namun, Wulan terlanjur terpengaruh dan sekarang salah paham. Dia segera meletakkan kotak makanan yang dibawanya untuk dimakan dengan Evano. Meletakkannya secara kasar di atas meja kerja pria itu, lalu pergi begitu saja. "Dasar bod*h, gitu aja percaya, tapi baguslah. Siap-siap aja nanti malam pasti kepikiran dan tidak bisa tidur. Huhu ... hahaha!" ceplos Kana seperginya Wulan. ***** "Hp terus!" cibir Evano. Dia baru saja seesai rapat dan kembali ke sana. Segera merebut ponsel Kana dan menyitanya. "Kenapa, tidak suka?! ujarnya memperingatkan Kana yang langsung menatapnya dengan tatapan protes, sekaligus tidak berdaya untuk membatah. "Aku cuma bosan, Mas. Lagian aku cuma sendirian di sini. Besok kalau sudah sembuh aku boleh keluar, kan, Mas?" Kana memelas dan merubah raut wajahnya. "Janji, aku bakalan minta izin sama kamu, mencatat kemana saja dan melakukan apa saja. Aku nggak akan macam-macam kok, Mas ...." Evano mendesah kasar, merogoh kunci di saku jasnya untuk membuka rantai yang meingkari sebelah pergelangan tangan Kana. "Habis main Hp, kamu sudah langsung merencanakan keluyuran," cibir Evano membuat Kana membeo. "Terus ngapain lagi kalau bukan ngelakuin itu?" Evano tak menjawab, tapi sedikit menarik Kana supaya berdiri. " Ayo, apa kamu tidak mau pulang?" Kana pun menurut saja, tapi kemudian baru beberapa langkah, Evano menyadari kotak makanan yang sudah kosong di atas meja. Kemudian melirik tajam Kana. 'Jangan bilang dia mau marah, karena aku makan makanan yang dibawakan pacar gelapnya. Sial! Mau dihukum apalagi aku setelah ini?' Kana membatin merutuki dirinya sendiri. "Apa Wulan ke sini tadi siang?" Pertanyaan itu segera membuat Kana menoleh ke arah lain, dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kalian ribut lagi, Kana?" Suara Evano semakin berat, membuat Kana semakin takul. Sial. Haruskah, dia jujur sudah mengerjai wanita itu, tapi Kana tentu saja malu, sebab hal tersebut berhung dengan Evano. Mau ditaruh di mana wajahnya nanti, jika sampai Evano tahu yang dia katakan pada Wulan si ratu drama itu. "Jawab, Kana!" Glekk! "Aku--aku tidak mengatakan apapun. Serius, Mas! Dia cuma kemari dan mengantarkan makan untuk kamu dan aku makan aja. Sayang daripada mubazir. Yah, walaupun rasanya awutan mirip masakan anak TK," jelas Kana tak sepenuhnya bohong. Namun, Evano tak juga menjawab, membuatnya sempat manahan nafas. Barulah Kana bernafas setelah, Evano mengangguk meski wajah suaminya itu masih sama, masih terlihat tidak mengenakkan. "Aku--aku akan menggantinya, aku masakin kamu nanti, Mas," ujar Kana. Namun, tidak ada jawaban setelah itu. Evano justru menariknya keluar dari ruangan itu dan membawanya pulang. 'Nasib-nasib! Punya suami, tapi hatinya milik yang lain,' batin Kana. ***** Kana mengintip Evano di ruang kerja pria itu yang ada di rumah. Pria itu tampak sibuk, dan membuat Kana tersenyum senang. Buru-buru tanpa sepengetahuan, Evano dia pun keluar rumah. Namun, Kana bukan mau keluyuran. "Lama bangat sih, Mbak! Saya hampir setengah jam menunggu disini!" gerutu seseorang di sana sambil protes. "Sabar dong, Mas. Yaudah mana sini pesanan saya?" ujar Kana. Orang itupun memberikannya dengan wajah yang kesal, sementara Kana tersenyum senang. "Nih, bayarannya. Ambil saja kembaliannya sebagai ganti rugi buat waktunya yang terbuang," jelas Kana membuat jasa pengantar makanan tersebut akhirnya kembali cerah. Namun, baru saja Kana berbalik. Sesuatu yang sudah dihindari dan diwaspadainnya, tiba-tiba sudah menjulang tinggi dihadapannya. Brugh! "Abis ngapain kamu?" Degh! Kana mundur, sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja bertabrakan dengan da*a bidang suaminya. 'Aduh, perasaan tadi dia sibuk, kenapa sudah di sini saja?' batin Kana. "Kamu punya mulut bukan, jawab Kana?! Apa yang kau lakukan di uar pagar?!" Evano membentaknya, lalu karena sudah sangat kesal pria itu merampas tas plastik yang digenggam Kana. 'Aduh, baru juga mau makan enak. Lagian salah obatnya juga, gara-gara itu aku jadi doyan makan!' batin Kana. "Mas, akk---" "Ckckck, cuma sayuran." Evano langsung menatap ke arah pagar, mencoba mengigat apa yang ada dibaliknya. Dia ingat di depan pagar rumahnya itu tidak ada kelontong atau toko apapun. Kana segera membaca raut wajah suaminya, merebut kantong plastiknya, sebelum Evano merasakan hawa panas dan mengetahui sesuatu di bawah sayuran yang Evano maksud. "Aku pesan online, soalnya lagi pengen makan sayuran," jawab Kana berbohong dan Evano tentu saja tak langsung percaya. "Mungkin efek dari vitamin yang Mas kasih selain obat penurun panas," lanjut Kana seraya menelan ludahnya kasar. 'Huft! Untung saja aku sudah waspada dan dia percaya!' batin Kana yang langsung lega. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN