"Ughhh!"
Kana melenguh terbangun kaget dari tidurnya. Bola matanya melotot, memutar dan melihat sekitarnya. Lalu dengan nafas yang tersenggal, Kana mengedarkan pandangannya pada sekitar. Mencari sesuatu dan merasa senang saat tak melihatnya.
"Hatchii!"
Kana mengusap hidungnya yang gatal, diikuti dengan nyeri pusing, tapi anehnya gadis itu malah mendesah lega.
"Selamat-selamat ... set*an itu belum pulang. Huft, hampir saja mimpiku jadi kenyataan!"
Kana bangkit dan mulai merapikan ruang keluarga tempatnya sekarang berada. Kemudian membawa mangkuk mie instannya ke tempat cucian piring. Mencuci dan menyimpannya kembali.
Namun, tepat dia berbalik sosok yang pikirkan dan membuatnya mimpi buruk sampai bangun dalam keadaan ngos-ngosan, tiba-tiba sudah menjulang tinggi diambang pintu.
"Apa yang kau lakukan di sini, Kana? Bukannya beristirahat kamu habis melakukan aktivitas yang berat, hahhh?!"
Langkah pria itu mendekat, dengan dahi yang mengerut dia mengamati Kana dengan seksama, kemudian menyadari apa yang barusan terjadi. Bungkus mie instan lupa Kana buang, dan mangkuk yang baru saja ditaruh memperkuat dugaan Evano.
"Ak---"
"Kamu baru saja demam, flunya juga belum sepenuhnya hilang, dan aku baru saja meninggalkanmu sebentar, tapi ini yang kau lakukan?! Keterlauan!! Berani-beraninya membantahku? Kau mau mati, Kana?!"
Evano memotong kalimatnya dan langsung menyerang Kana dengan omelannya, membuat gadis itu perlahan mundur, tapi sejak awal dia sudah mentok di sana, sehingga mudah saja Evano mengusainya.
"Kalau aku tidak pulang, kau pasti sudah bunuh diri!" lanjut Evano.
"Aku--Ak---"
"Diam!" Bentak Evano yaang dilanjutkan dengan memanggil ART-nya dan segera memerintahkan mereka. "Buang semua mie instan dari rumah ini dan aku tidak mau melihat produk serupa di rumah ini!" lanjut Evano dengan serius.
"Baik, Tuan," jawab ART itu dengan patuh.
Sebelum diperintah dua kali, ART tersebut bahkan langsung melaksanakan perintah Evano. Sementara Kana menatap dengan kecewa. Ingin mencegatnya sampai dia menggerakkan tangan untuk mencegah, tapi mulutnya membisu terlalu pecundang untuk menghentikan.
'Yahhh ... kenapa harus berakhir seperti ini? Bagaimana nanti jika turun hujan dan aku sedang ingin makan mie instan ...' Gadis itu merenung, menyesali tindakan beberapa saat lalu, karena hal itu berakibat patal dan membuatnya kehilangan salah satu kesenangannya.
Beberapa saat masih seperti itu, terus memperhatikan kegiatan asisten rumah tangganya dengan perasaan yang bercampur aduk, sampai kemudian dia merasakan tarikan dipergerakan tangannya dan itu memaksa Kana keluar dari lamunannya.
"Sepertinya kamu memang sangat suka dikurung di kamar!" ujar Evano dengan nada peringatan.
Kana langsung tersentak kaget dan reflek menggelengkan kepala. "Apa?! Nggak, Mas ... kamu nggak bisa melakukan hal kayak gitu. Aku hanya makan mie instan. Ayolah jangan bercand---"
Kana tidak bisa melanjutkan ucapannya, lantaran Evano tiba-tiba berhenti dan hal tersebut bahkan mau tak mau membuat Kana menabrak dad* bidang suaminya itu.
Dughhh!
"Ugh!"
'Keras sekali,' batin Kana berkomentar sembari menatap dad* yang baru saja membuatnya mengusap dahinya.
"Kalau begitu kau juga harus bersikap dewasa mulai sekarang Kana!" Evano menatapnya tajam, dan seperti biasa tatapan itu juga sangat mengintimidasi Kana.
'Memangnya kapan aku kekanakan?' batin Kana tak terima.
"Bersikap seenaknya, pergi pulang semaumu, bergaul dengan orang-orang tidak waras dan bahkan mabuk-mabukan, apa kau pikir itu sikap orang dewasa, Kana?!" sarkas Evano seolah bisa membaca isi pikiran Kana.
Kana menggeleng, tapi dengan polosnya dia juga menjawab Evano dengan jawaban yang membuat suaminya itu mengeram kesal. "Tapi tidak ada anak-anak yang minum alkohol, Mas ...."
Evano sontak mengepalkan tangan dan memelototi Kana. Namun, dia juga tidak hilang akal. "Oh, jadi kamu menganggap dirimu bocah? Bagus sekali Kana!"
Kana langsung menggeleng dan sesekali mendesah kasar. Menyesal sudah melawan Evano, sebab harusnya dia diam saja tadi. Membantah atau mencoba melawan kehendak Evano itu sama saja dengan bunuh diri.
"Mulai sekarang kau tidak akan kemana-mana tanpaku, Kana!"
"Apa?!" Kana tampak syok dan tak percaya.
"Anak-anak tidak bisa berkeliaran tanpa pengawasan orang dewasa," jawab Evano sambil menyeret Kana kembali.
Beberapa saat kemudian mereka sudah di toilet. Kana sedikit menundukkan kepalanya dan posisi Evano tepat dibelakangnya. Sedikit mencengkram leher Kana dari belakang.
"Huek-huek!"
Kana tengah berjuang mengeluarkan isi perutnya, dan hal tersebut tentu saja karena paksaan dari Evano. Pria itu tanpa perasaan memaksa Kana muntah, supaya mie instan yang masuk ke dalam perut Kana keluar.
"Bagus, jangan sampai ada yang tersisa. Aku tidak mau repot karena penyakitmu bertambah. Masih demam kau berani makan mie instan. Bodo*!"
Kana kesal, tapi selain pasrah, dia tidak berani melawan. Kepalanya yang masih pusing, kini bertambah, dan dia benar-benar lemas setelah memuntahkan isi perutnya.
Evano segera menyeka bibir Kana, entah kenapa pria itu sama sekali tidak jijik. Kana menyadari hal itu, tapi kemudian dia tidak terlalu memikirkannya. Lagipula menurutnya wajar juga Evano melakukannya. Dia yang memaksa Kana muntah, jadi sudah seharusnya juga pria itu membereskan sisanya.
"Sudah, sekarang kamu berbaring sebentar. Lihatlah wajahmu sekarang, pucat, dan itu akibat makan mie instan saat demam," ujar Evano, setelah menggendong Kana ke kamar dan membaringkan istrinya di kasur.
"Hmm!" dehem Kana dengan kesal.
Dia langsung menarik selimut dan bermaksud berbalik membelakangi Evano supaya tidak melihat wajahnya, tapi pria itu mencegatnya.
"Jangan tidur! Aku bilang berbaring, Kana ... Hanya berbaring!"
'Apalagi salahku, perasaan aku tidak pernah benar di matanya,' batin Kana sedikit frustasi.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, tidak usah protes. Apa yang kulakukan semata-mata demi kebaikanmu!"
'Salah lagi ... huft!'
"Sebentar lagi dokter akan kemari untuk memeriksamu, habis itu kita makan siang, kamu minum obat dan ikut aku ke kantor!"
Kana langsung mengerutkan dahi mendengar kalimat terakhir Evano. 'Ikut ke kantor.' Gadis itu pun berusaha memahami ucapan suaminya, tapi di saat yang sama Evano tiba-tiba menyusun bantal.
"Daripada berbaring, sepertinya kamu lebih baik duduk supaya tidak ketiduran," ujar Evano langsung memaksa Kana duduk. Ternyata bantal yang disusunnya segera digunakan sebagai sandaran Kana.
"Tapi aku tidak mau ke kantor, Mas." Kana memberanikan diri, meski tatapannya justru menunduk saat mengatakannya. Gadis itu pun gugup saat mencoba melirik dan malah bertemu tatapan dengan Evano. Dia menjadi takut dan gelisah.
"A--ku ... aku, maksud--ku ... aku masih sakit, Mas sendiri yang bilang aku masih demam," lanjut Kana langsung meralat kalimatnya.
"Aku tidak akan membunuhmu di sana. Kamu bisa beristirahat di sana dengan nyaman dan aku pasti memastikannya!"
Kana meneguk udahnya kasar. Dia yakin rencana itu pasti tidak baik dan menyulitkannya. Lantas mendesah kasar dan melakukan usaha teraakhirnya supaya suaminya itu segera mengurungkan niatnya.
"Ta--pi, Ma---"
"Jangan membantah!" potong Evano dengan serius dan penuh peringatan.
*****