"Aku tidak mendorong perempuan itu, sungguh! Aku juga tidak cemburu soal tas yang kamu berikan padanya. Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, aku tidak akan ikut campur, karena aku tidak peduli," jelas Kana.
Perasaannya masih memanas walaupun mereka sudah keluar dari acara pesta dan saat ini sudah dalam perjalanan pulang. Dia sebenarnya masih enggan berbicara dengan Evano, tapi Kana merasa harus meluruskan sesuatu.
"Aneh juga kelakuan perempuan itu, tapi dia beneran menjatuhkan dirinya sendiri dan berdrama sampai memancing keributan seperti tadi," lanjut Kana hati-hati sambil mengamati raut wajah Evano.
Sayangnya wajah pria itu malah terus datar, dan membuat Kana tidak bisa membacanya. Dia jadi bingung harus melanjutkan ucapannya atau tidak.
"Besok minta maaflah pada Wulan," ucap Evano tanpa terduga.
Kana terkejut dan mengerutkan dahinya. Dia tidak terima karena dia tidak merasa melakukan kesalahan. Lantas menggelengkan kepalanya.
"Aku baru saja menjelaskan semuanya, apa kamu tidak percaya?" balas Kana, tapi Evano tidak memberi jawaban apapun. "Baiklah, tapi setidaknya periksa CCTV!" tegas Kana.
Tiba-tiba wajah Evano mendekat, sangat dekat sampai Kana merasakan tiupan napas dari pria itu. Lantas sebuah cengkraman langsung menyergap lengan Kana dan membuatnya meringis.
"Kau pikir aku peduli?!" ujar Evano dingin. "Kau harus minta maaf, Kana. Terlepas kau yang salah atau Wulan!"
"Tidak mau!" bantah Kana. "Aku tidak akan minta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahanku. Tidak!!"
"KANA!!!"
"Brengs*k!"
Keduanya saling meneriaki, tapi Evano segera menguasai keadaan saat mencengkram rahang Kana, dan membuat gadis itu kesulitan bicara.
"Kau semakin sulit dikendalikan!!" geram Evano.
Setelah mengatakan itu, dia menghempaskan wajah Kana hingga menghadap ke arah lain. Sementara itu, Kana juga geram dan mengepalkan tangan. Sayangnya dia cukup sadar Evano bukan tandingannya sehingga dia segera berusaha menahan diri.
Akan tetapi, tindakannya itu sepertinya sia-sia, sebab setelahnya Evano malah melakukan sesuatu yang membuat Kana menyesal.
"Hentikan mobilnya!' perintah Evano yang segera dituruti oleh sopirnya.
"Kamu turun sekarang, renungkan kesalahanmu sambil jalan kaki ke rumah!" tegas Evano tanpa perasaan.
Kana terkejut, tapi sebelum bereaksi apapun, Evano sudah membuka sabuk pengamannya dan memaksa Kana turun dari mobil. Barulah setelah itu, mobil kembali bergerak dan menjauh dari sana. Meninggalkan Kana sendirian di jalanan yang sudah sangat sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat karena waktu sudah melewati tengah malam dan bahkan mendekati pagi.
"Maaf Tuan, saya tidak bermaksud lancang, akan tetapi nyonya Kana adalah perempun. Apa tidak apa-apa dia ditinggal begitu saja?" ujar sopirnya mengingatkan.
Namun, Evano yang masih dalam kemarahan, tak terlalu memikirkannya. "Biarkan saja, lagipula dia juga suka pulang terlambat. Dia sudah biasa berkeliaran di malam hari!"
Mobil terus melaju tanpa berhenti sama sekali, benar-benar meninggalkan Kana seorang diri di sana. Dia sudah kedingan dan memeluk dirinya sendiri. Namun, masalah lain seger menghampiri Kana.
"Hai, adik cantik, mau kemana?"
"Kamu terlihat kedinginan, Mau abang hangatkan?"
"Ayolah, kita bersenang-senang malam ini!"
Gadis itu mengela nafas, dan meremas telapak tangannya yang sudah dingin, tertiup oleh angin malam yang menusuk tulang. Tatapannya segera waspada menatap empat sosok laki-laki yang sepertinya berniat jahat padanya.
"Bersenang-senang?" ulang Kana sambil mengerutkan dahi.
Salah satu dari laki-laki itu segera menganggukkan kepalanya. "Ya, kamu akan menghangatkanmu juga."
Kemudian salah satu yang lainnya mulai kurang ajar dan mencoba menyentuh tubuh Kana. Namun, bukannya menghindar, Kana dengan berani menahan di sana.
"Ayo, abang-abang. Dedek cantik ini ingin tahu rasanya!" jawab Kana langsung terlihat senang, tapi sedetik kemudian terlihat murung. "Kalian tahu tidak ada yang mau mendekat padaku, tapi sekarang kalian mau. Aku sangat senang sekali," ujar Kana seraya menurunkan leher gaunnya, sampai memperlihatkan bahunya, tapi tentu saja Kana bukan bermaksud menggoda para lelaki itu.
"Ada apa dengan kulitmu, kenapa ada bentol-bentol merah seperti itu?!" salah satu dari lelaki itu langsung curiga.
Seseorang yang masih menyentuh Kana dilengannya tadi, dan masih menahan tangannya di sana, segera menariknya dan menjauh. Dua lainnya pun bereaksi hal yang hampir sama.
"Kamu penyakitan?" tanya lelaki yang satunya.
Kana menggeleng. "Bukan Bang, ini cuma HIV, nanti juga sembuh."
Bersamaan dengan hal itu para laki-laki itu langsung saling menatap, sebelum tiba-tiba kabur.
"Eh, abang ... abang ... mau kemana? Ayo, kita senang-senang!" teriak Kana yang membuat langkah para laki-laki itu semakin kencang.
Barulah setelah itu, Kana bisa mendesah lega meski tidak sepenuhnya. Dia aman sekarang, tapi dia tak segera tenang, karena bukan tak mungkin akan bertemu orang-orang seperti itu lagi. Oleh karena itu, Kana pun memutuskan berhenti dan mencari tempat persembunyian. Setidaknya sampai pagi, barulah dia melanjutkan perjalanan agar lebih aman.
*****
Sementara itu Evano baru saja sampai di rumah, dan sopirnya baru mengembalikan kunci mobil padanya, tapi tak hanya benda itu.
"Ini tas Nyonya, Tuan," jelas sopir itu.
Evano mengangguk dan sopirnya pun pamit pergi, tapi Evano masih di sana. Membuka tas Kana untuk memeriksa isinya, lalu menemukan ponsel serta dompet di sana.
"Sial!!" geram Evano.
Bukannya masuk ke rumah, pria itu justru kembali ke garasi dan mengeluarkan mobilnya. Dia mengemudikan mobinya sendiri dan memutuskan mencari Kana. Sepertinya pria itu tersadarkan saat melihat ponselnya Kana.
Perempuan itu tidak membawa apa-apa di luar sana, barulah Evano sadar betapa berbahayanya malam bagi perempuan. Apalagi dia juga teringat akan alergi istrinya. Alergi dingin yang menyebabkan kemerahan, gatal, dan bahkan bentol-bentol. Pria itu segera mengerutkan dahi dan mengebut.
Kemudian berhenti di tempat yang sama, Evano keluar dari mobil dan mengedarkan tatapannya, seraya menajamkan pendengarannya.
"Kana!"
"Kana ...."
"Di mana Kamu?!" teriak Evano segera mencari istrinya.
Sampai kemudian dia mendengar suara teriakan. Evano mendekat dan menghampiri sumber suara, tapi sayang itu bukan Kana, melainkan orang yang baru saja mengalami kecelakaan, akibat mengantuk saat berkendara. Walaupun begitu, Evano tetap membantunya.
"Terima kasih, ya, Mas ... saya tidak tahu lagi harus bagaimana jika Mas tidak ada," ucap orang itu.
"Saya antarkan ke rumah sakit?" tawar Evano.
Sebenarnya dia tidak ingin pergi dari sana, karena mengkhawatirkan Kana, tapi dia juga kasihan melihat orang yang baru kecelakaan itu.
"Tidak usah, Mas. Cukup, Mas temani saya sebentar di sini, keluarga saya tidak jauh dari sini, kok, dan sudah mau kemari," jelas orang itu, setelah sebelumnya sudah menghubungi keluarganya.
"Baiklah, kalau begitu kita ke sana. Di sana ada mobil saya," jelas Evano.
Orang itu pun setuju. Dia berjalan ke arah yang Evano tunjukkan, sementara Evano membantunya mengiring kendaraan roda dua orang itu. Mereka berbincang dan dari sana Evano tahu kenapa orang itu bisa masih di luar dan berkendara lewat tengah malam. Ternyata dia habis lembur kerja dan mau pulang.
Namun, selain itu Evano jadi tambah khawatir soal Kana. Karena orang itu juga memberitahu soal kasus yang pernah terjadi di jalan itu. Kasus pemerkos*n, copet dan lain-lain. Diketahui ternyata tempat tersebut rawan dan merupakan daerah preman.
*****