Bagian 3

1037 Kata
"Mas, aku izin ke kafe, aku janji tidak akan pulang terlambat dan tidak akan minum-minuman itu lagi," jelas Kana. Dia berdiri tegak di depan meja kerja Evano, sembari meremas telapak tangannya akibat merasa ragu. Sudah seminggu di rumah, dan sekarang dia sedang mencoba peruntungannya. Namun, sebelum ada di sana sebenarnya dia sudah mencoba pamit lewat telepon, tapi Evano malah memerintah asisten pribadinya menjempun Kana. Repot-repot ke kantor perusahaan pria itu hanya sekedar untuk pamit. "Aku ingat saat di telepon kamu bilang mau keluar, karena bosan di rumah dan sekarang kamu sudah di luar. Jangan banyak alasan dan membuatku marah Kana," jelas pria itu dengan perlahan dan penuh penekanan. Dia mengatakan hal itu tanpa berpaling dari laptopnya. Meski begitu dia berhasil membuat Kana menghela nafas, dan mengerutkan dahi. "Mas, aku mohon ... aku benar-benar hanya ke kafe, aku ingin memeriksa laporan bulanan dan lainnya di sana," ujar Kana dengan nada memelas. Sebenarnya dia belum pernah seperti itu, karena Kana itu tipikal perempuan yang cukup berenergi, ceria dan berisik, bukan menye-menye seolah tidak punya kekuatan. Namun, di depan suaminya itu dia menjadi berbeda. Agak trauma juga menghadapi Evano yang tidak punya hati. "Aksa!" panggil Evano langsung menghubungi asistennya. Hal itu pun membuat Kana terkejun, namun tidak berani menyela. Hanya menarik nafas, membuangnya kasar, dan memikirkan alasan berikutnya. "Segera periksa laporan bulanan di kafe dan cek perkembangannya," jelas Evano, saat yang dipanggil menjawab teleponnya. Setelah berkata demikian telepon ditutup, Evano meletakkan teleponnya di atas meja kerjanya dan kali ini akhirnya menatap Kana dengan tatapan intimidasinya. "Sekarang kamu mau beralasan apalagi, Kana, atau jangan-jangan kamu sangat menginginkan kakimu itu tidak bisa berdiri dengan baik," ujar Evano seolah bisa membaca pikiran Kana. Perempuan itu hampir berkaca-kaca, terdiam, memperlihatkan keputusasaannya. Evano melihat hal itu, tapi bukannya iba dia malah tersenyum sambil menyeringai. Seakan penderitaan Kana adalah kebahagiaan untuk pria itu. "Kamu mau pulang atau menemaniku di sini?" lanjut Evano membuat Kana menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Mas tolong jangan seperti ini, aku janji benar-benar pulang tepat waktu dan tidak akan macam-mac---" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang masuk ke sana dan langsung mendekati Evano, sambi tersenyum senang menunjukkan betapa bahagianya dia. Anehnya Evano tidak marah, padahal jika Kana yang melakukan hal demikian dia pasti sudah sangat murka. "Kak Evano terima kasih untuk hadiah tasnya, lihatlah aku langsung memakainya sekarang. Kamu sangat tahu seleraku dan aku yakin ini pasti mahal," ucap perempuan itu. Kana tidak mengenalnya. Selain karena dia tidak dekat dengan suaminya sendiri, mereka juga baru menikah. Jadi, orang di sekitar pria itu tidak terlalu diketahui olehnya. Sementara itu, sebelum membalas ucapan perempuan di sebelahnya, Evano sempat melirik Kana dan Kana langsung memalingkan tatapannya seolah tidak mau bertemu pandang dengan suaminya. "Baguslah kamu suka," jawab Evano singkat. Lagi-lagi tatapan pria itu kembali menatap istrinya, lalu menghela nafas saat menemukan sesuatu yang sepertinya tidak dia harapkan. Sementara perempuan tadi juga segera mengerutkan dahi, tersadar kalau mereka tidak berdua di sana. "Dia siapa? Aku belum pernah melihat perempuan ini, apakah dia sepupumu, Kak?" tanya perempuan itu langsung menatap Kana dengan tatapan mengamati. Namun, bukannya menjawab pertanyaan perempuan itu, Evano justru berdiri dan menghampiri Kana. "Jika kamu masih mau pergi, lakukanlah, tapi ingat jangan melanggar aturanku!" ujar Evano tiba-tiba saja setuju. Kana melirik perempuan itu dan mengerutkan dahi. Berpikir mungkinkah suaminya itu ingin berdua dan tidak mau diganggu olehnya. Namun, Kana tidak mau memperpanjang pikirannya itu dan segera mengangguk sebelum Evano berubah pikiran. "Eh, kok pergi? Kemana perempuan itu dan apa hubungan kalian, Kak?" tanya perempun tersebut yang masih terdengar oleh Kana. Namun, sampai jarak Kana sudah terlalu jauh dan tidak bisa mendengar suara di dalam ruang kerja suaminya itu, dia masih tidak mendengar jawaban apapun. Membuatnya curiga kalau Evano tidak mau mengakui perikahan mereka, tapi sudahlah Kana pun tidak punya perasaan pada suaminya itu jadi untuk apa sakit hati. ***** "Keterlauan, kalau gini terus walaupun tampan aku juga lama-lama ilfil sama suami kamu. Seminggu dikurung dan sekarang selingkuh. Jangan diam saja, Kana. Lakukan sesuatu, aku tidak terima kamu mendapatkan perlakuan seperti itu!" ujar Kejora seperti sedang menyiram minyak pada kobaran api. "Aku juga maunya begitu, tapi sigila itu tidak selemah ayah dan ibuku yang pecundang. Gara-gara sedikit alkohol, aku hampir mati tenggelam dan menjadi tahanan rumah. Bayangkan jika aku salah bertindak? Bisa-bisa aku beneran mati muda!" seru Kana seraya berpikir dengan serius. Kejora mengangguk paham ikut merasakan perasaan Kana. Hidup sahabatnya itu sangat menyedihkan, meskipun setelahnya Kana justru tumbuh menjadi pribadi yang berenergi dan ceria. Kata orang yang paling banyak tertawa adalah yang paing banyak menangis dan itulah Kana. "Kamu pasti sangat takut dengan suamimu ya ... hm, aku tidak bisa membayangkan bagaimana malam pertama kalian," ceplos Kejora. "Bod*h, kamu kok ngelantur kejauhan. Kami tidak pernah malam pertama. Malam yang membuat kami menikah, aku masih perawan dan malam-malam selanjutnya pun sama," jelas Kana. Dia tidak berbohong, karena Evano memang tidak pernah menyentuhnya. Agar posisinya lebih aman, Kana juga sudah menciptakan kebohongan besar yang diharapkan dengan itu Evano akan jijik dan selamanya tidak akan menyentuhnya. Kana berbohong kalau dia tidak perawan dan Evano adalah laki-laki kesekian kalinya. "Benar juga, hampir saja lupa. Kasihan juga suamimu tidak kamu berikan jatah," balas Kejora. "Tapi lebih kasihan kamu, sih! Selain tempat tinggal dan makanan dia tidak memberimu apa-apa. Padahal pada selingkuhannya saja dia memberi tas mewah," lanjut Kejora. Kana mengangguk saja, dan ikut miris dengan nasibnya sendiri. Sesungguhnya dia tidak cemburu dengan perhatian suami pada perempuan lain, tapi sebagai seorang istri dia merasa terhina. Evano seperti mengejek dan mempermalukannya dengan tindakan itu. "Huft ... sudahah!" Kana menghela nafas. "Lupakan saja hal itu, lama-lama kalu terus dipikirkan bikin pusing. Lebih baik aku pikirkan, gimana caranya membalas Claudia. Perempuan siala*n itu sejak semalam sudah pergi ke luar negeri. Pas dia pulang nanti pokoknya aku harus kasih perhitungan supaya dia tahu rasa!" ungkap Kana berambisi. Namun, baru saja mengatakan itu, tiba-tiba asisten suaminya datang dan menghampiri mereka. Lantas memberikan beberapa paper bag yang entah apa isinya. Setelah melakukan tugasnya laki-laki itu pergi begitu saja. Kejora langsung kepo dan membukanya, lantas terkejut begitu melihat isinya. "Tas, pakaian dan satu set perhiasan, apa ini tidak salah? Suamimu memberikan ini, padahal kita baru membicarakannya ...." Kana juga sama kagetnya, dan dia langsung bingung. Mungkinkah Evano merasa bersalah dan hadiah itu adalah sebagai tanda penyesalannya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN