[1] Hari Pernikahan
Balutan gaun berwarna putih selutut tampak menghiasi tubuh mungil seorang wanita cantik dengan rambut cokelat bergelombang yang digerai panjang. Anak rambutnya tampak tersapu hembusan angin dan turut menerpa kulit putih susunya.
Pagi ini, dia akan melangsungkan sebuah acara sakral dan intim bersama seorang pria yang selama 17 tahun terakhir selalu menemaninya. Nesringgita Lucelence atau yang kerap disapa sebagai Inggit, terus tersenyum dan tak bisa menahan rasa bahagianya.
Hari yang selalu ia tunggu akhirnya tiba. Hari dimana ia akan menjadi istri dari seorang pria keturunan Kanada – Indonesia bernama Bisma Dallas. Di hadapannya kini berdiri seorang pria yang akan membantunya untuk mengucapkan janji suci dalam ikatan pernikahan. Ucapan yang nantinya akan menyatukan dua insan untuk selamanya.
Inggit meraba perutnya yang masih datar, namun di dalam sana telah hadir sebuah kehidupan baru yang akan segera lahir ke dunia dalam waktu 7 bulan lagi. Tak ada kehadiran teman bahkan orang tua, hanya ada dirinya dan juga seorang pria bernama Jason yang bertugas untuk membantu Inggit dan Bisma untuk membantu mengucapkan janji pernikahan.
Bisma dan Inggit sama – sama setuju jika mereka akan melangsungkan pernikahan di bawah pohon Trembesi yang sudah berusia puluhan tahun. Di bawah pohon itu pula mereka pertama kali bertemu dan akhirnya berkenalan sampai kini melangsungkan pernikahan.
Meski sederhana dan terbilang tertutup, Bisma dan Inggit setuju jika mereka hanya akan melangsungkan pernikahan singkat di bawah pohon itu dengan bantuan Jason. Lagi pula, saat ini Inggit sudah berbadan dua dan sangat tidak mungkin baginya untuk berpesta di waktu yang cukup lama.
Matahari semakin meninggi, angin sejuk yang semula terasa sejuk, kini kian memanas. Pohon rindang sudah tak mampu lagi menahan hawa panas yang dipancarkan sang surya.
Jason melangkahkan kakinya mendekati Inggit yang sedang duduk di atas kursi putih tepat di bawah pohon rindang itu, “Apa Bisma masih lama? Kapan dia datang? Sudah 3 jam berlalu dan dia masih belum tampak batang hidungnya.” tanya Jason pada Inggit.
Inggit menolehkan pandangannya yang semula menatap hamparan rumput luas, kini beralih pada Jason yang berdiri di hadapannya lengkap dengan setelan jas berwarna putih.
“Sebentar, biar aku menghubunginya,” jawab Inggit.
“Tidak mungkin dia lupa bahwa hari ini kau dan dia menikah, kan?” tanya Jason lagi.
“Tentu saja tidak. Tadi malam dia masih datang ke rumahku dan bahkan terlihat sangat antusias akan melangsungkan pernikahan hari ini,” ujar Inggit menjelaskan apa yang terjadi tadi malam.
“Baguslah jika begitu. Jika dia memang tidak datang dalam 1 jam, maaf aku harus pergi. Karena aku ada urusan lain,” ujar Jason lalu membalikan badannya dan meninggalkan Inggit.
Inggit mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendek yang ia gunakan di balik gaun putihnya. Tangannya tergerak pada sebuah nomor dengan foto profil dirinya dan juga Bisma.
Sebuah nada sambungan terdengar di ponsel dalam genggaman Inggit saat ia menekan tombol panggilan ke nomor pria itu.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada…”
Terdengar suara sahutan seorang wanita saat nada panggilan tersebut berdering. Inggit menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat layarnya, dia memastikan jika nomor tersebut adalah benar milik Bisma.
“Kok mati? Hm, aneh,” gumam Inggit.
Ia lalu kembali menekan nomor Bisma dan menyambungkan panggilan, lalu kembali mendekatkan ponselnya ke daun telinganya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada…”
Namun yang terdengar justru suara operator wanita yang secara otomatis menyahuti sambungan panggilannya.
Inggit melihat ke layar ponselnya. Dia tak tahu harus menghubungi kemana lagi karena Inggit tak terlalu mengenal lingkup pertemanan Bisma dengan baik.
Jason yang melihat Inggit tampak kebingungan, kembali berjalan mendekati Inggit dan bertanya, “Bagaimana? Dia sudah dimana?” tanyanya.
Inggit menggelengkan kepalanya, “Tak ada jawaban.”
“Tak ada jawaban?” tanya Jason.
“Ponselnya tak aktif,” balas Inggit.
“Kalau begitu coba hubungi temannya,” titah Jason.
“Aku tak mengenal satupun teman Bisma. Bahkan aku tak tahu siapa saja teman – temannya.”
Jason memijat pelipisnya lalu membuang napasnya kasar, “Oke, kalau begitu. Jika satu jam lagi Bisma tidak datang, aku pergi.”
“Ta – tapi,” Inggit berusaha memegang lengan Jason, namun segera ditepis oleh pria itu.
“Aku juga sibuk dan ada urusan, Git. Bagaimana jika dia ternyata kabur dan meninggalkanmu. Terlebih saat ini kau sudah berbadan dua kan? Bahkan pernikahanmu ini terbilang sangat privasi,” ujar Jason dan membuat Inggit berpikir atas ucapan pria itu.
Inggit sebenarnya tak terlalu mengenal Jason, dan mungkin Jason pun tak mengenal Bisma dengan baik. Mereka hanya saling bertemu di panti asuhan, dan karena itulah Jason berhak membantu dua insan itu untuk menyatu dalam ikatan pernikahan.
“Maafkan aku,” lirih Inggit.
Jason kembali berjalan menuju tenda yang tak jauh dari pohon rindang itu. Sedangkan Inggit, kembali merenungkan ucapan Jason tadi.
“Bagaimana jika memang benar Bisma kabur dan tak berniat tanggung jawab atas bayinya?” gumam Inggit lalu meraba perut datarnya.
* * * * *
10 menit…
20 menit…
30 menit…
40 menit…
50 menit…
Inggit mulai gelisah saat ia melihat jam di layar ponselnya yang sudah berlalu sampai 50 menit. Tersisa waktu 10 menit untuk menunggu kedatangan Bisma. Namun hingga saat ini, ia masih belum melihat batang hidung pria itu.
Jason kembali melangkahkan kakinya mendekati sosok Inggit yang terus gelisah di atas kursi putih yang berada tepat di bawah pohon rindang.
“Sudah 50 menit, Inggit. Sepertinya Bisma tak akan datang,” ujar pria itu.
Inggit membuang napasnya. Dia kehabisan harapan. Mungkin memang benar, Bisma tak akan datang ke pernikahan mereka.
“Pulanglah, Jason,” pinta Inggit.
“Maafkan aku. Aku tak bisa menunggu waktu lebih lama lagi,” balas Jason.
Jason lalu mendekati Inggit lalu menepuk pundak wanita itu, berharap bisa memberikan semangat. Setelahnya, Jason berjalan pergi meninggalkan Inggit yang masih terpaku di kursi taman.
Pupus sudah harapan Inggit membina keluarga kecil bersama Bisma. 4 jam berlalu tanpa kehadiran pria itu, bahkan Bisma tak bisa dihubungi sama sekali. Berulang kali Inggit mencoba menghubungi Bisma, ponselnya selalu dalam keadaan mati.
Inggit menatap perut datarnya, “Apa aku harus membesarkanmu seorang diri?” gumamnya.
Inggit kembali teringat pada kehidupannya yang sulit. Dia bukan sosok wanita dengan keadaan finansial mencukupi. Dia hanya seorang gadis sebatang kara yang selama ini selalu hidup dengan biaya dari bantuan pendidikan yang ia terima.
Mungkin dia harus bersyukur karena memiliki kecerdasan di atas rata – rata. Namun, kini sepertinya tidak lagi. Sejak ia mengandung anak Bisma, Inggit memutuskan untuk mengajukan cuti. Dan karena mengajukan cuti juga, beasiswa bantuan pendidikan dan hidupnya yang selama ini ditanggung, otomatis terhenti.
Sekarang, Inggit harus memikirkan bagaimana caranya ia akan bertahan hidup dengan buah hatinya.
Inggit beranjak dari kursi yang selama 4 jam terakhir ia duduki. Ia menatap ke arah puncak puncak pohon itu. Kembali mengenang masa – masa indahnya bersama Bisma.
Pikirannya saling beradu. Di satu sisi ia berpikir pasti ada hambatan lain yang diterima Bisma, namun di sisi lain, pikirannya setuju dengan apa yang diucapkan oleh Jason.
Bagaimana jika kenyataannya Bisma benar – benar kabur? Terlebih saat ini Inggit berbadan dua. Bisma sendiri belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Bisma juga tak memiliki pendidikan yang cukup untuk mendapat pekerjaan yang baik.
Selama 3 tahun terakhir, pria itu hanya terus berkecimpung di dunia bisnis dengan harapan besar bisa menjadi sukses. Tapi, apakah jika Bisma sudah sukses akan tetap berada di sisi Inggit?
Banyak pepatah mengatakan, ketika seorang pria berada di puncak karir, mereka lebih memilih mengganti pasangan dan memilih wanita yang mungkin akan terlihat jauh lebih pantas disbanding statusnya.
Angin yang semula berhembus dengan sejuk, kini kian memanas. Dan bahkan lambat laun seiring berjalannya waktu, sinar matahari pun sudah tak terlihat lagi. Kini hanya ada cahaya bulan yang menerangi gelapnya malam.
Setelah 14 jam menunggu kedatangan Bisma yang tak kunjung datang, Inggit akhirnya menyerah pada harapannya. Dia melirik pada sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ia melepasnya dan kemudian berjongkok tepat di hadapan pohon itu.
Tangannya tergerak merobek ujung gaun putihnya dan ia gunakan untuk membungkus cincin yang ia lepas. Lalu ia menggali tanah yang berada tepat di kaki pohon itu lalu memasukan cincinnya ke dalam sana.
“Aku kecewa padamu, Bis,” gumam Inggit seraya mengubur cincin pemberian pria itu ke dalam tanah,
Tanpa terasa, air mata mengalir mengenai pipi nya. Hatinya terasa sakit dan sesak. Namun logikanya terus berseteru seolah menepis kejadian yang menimpanya hari ini.
Inggit berdiri dari posisi jongkoknya lalu berjalan pergi meninggalkan pohon itu. Air matanya teruis mengalir tanpa henti. Hatinya masih berharap jika Bisma akan datang meski ia harus menunggu lama. Namun, kenyataan pahit menimpanya.
Kini, Inggit membulatkan tekadnya. Dia menguatkan hatinya, “Apapun yang terjadi, entah pria itu akan datang atau tidak, yang jelas dia sudah mengecewakanku dan anaknya sendiri. Persetan dengan hubungan yang kujalin belasan tahun. Waktu puluhan tahun pun tak akan bisa menjadi pertanda sudah mengenal seseorang dengan baik,” gumam Inggit.
Bahkan, hingga kepergian Inggit dari taman itu, tempat itu masih sepi. Tak ada satu pun pria yang hadir di sana. Tak ada informasi apapun yang sampai ke telinga Inggit. Hingga Inggit menyimpulkan, pria itu telah meninggalkannya.
* * * * *
Terima kasih sudah membaca cerita Cinta Satu Malam bagian pertama!
Sekali lagi, saya tegaskan kepada para pembaca diharapkan bijak dalam memilih konteks bacaan.