Gadis itu menghela napas pelan. Kemudian tatapannya menajam, seakan hendak membunuh sistem. Tak berapa lama cahaya kebiruan muncul dan sebuah busur panah muncul dari udara dan terjatuh di dekat kakinya. Dia segera mengambilnya dan bersembunyi di balik pohon.
Suara gemerisik langkah kaki terdengar kembali saling bersahutan. Suara-suara lainnya muncul. Sekitar lima orang pria bertubuh besar, berkulit kecokelatan dan berwajah sangar muncul. Masing-masing di tangan mereka memegang panah dan pedang.
“Ke mana wanita itu lari? Dia pasti penyihir yang diperintahkan untuk ditangkap. Ayo kita cari.”
“Kau ke sana!”
Dia bersembunyi di balik pohon, memicingkan matanya dan bersiap menarik busur panahnya. Anak panah diarahkan ke arah lima pria bertubuh besar itu dengan tepat. Ketika dia melepaskan anak panahnya, semuanya melesat dan dia dengan kesal ingin mencekik sistem saat ini juga.
Anak panah itu berterbangan dan membidik pepohonan. Para pria itu saling berpandangan kemudian berpencar.
“Dia di sekitar sini!”
“Ayo cari!”
“Aduh! Kenapa tidak kena? Heh, Sistem jelek, kenapa meleset?”
“Nona membidiknya tidak tepat sasaran. Kau memiliki kemampuan dalam memainkan pedang dan pisau. Jika kau upgrade ke level berikutnya, kau sudah bisa mengaktifkan sihirmu~ begitu, Nona sayang~”
Mendengar sistem memanggilnya Nona sayang dengan genit, hampir membuatnya muntah. “Bagaimana aku bisa aktifkan sihirku?”
“Di level selanjutnya, Nona sayang~”
“Berhenti memanggilku sayang, sistem jelek!”
“Oke, oke~”
Para pembunuh itu jelas mengejarnya saat ini, dan jika dia mati di dunia virtual ini maka dia pun akan mati di dunia nyata. Game ini jelas mempertaruhkan nyawa, tapi dia harus keluar dari sini hidup-hidup.
“Tapi, Nona bisa membayar lagi untuk mendapatkan mode mudah,” kata sistem.
“Bagaimana caranya?”
“Itu dia!” teriak salah satu pria.
Mata birunya membulat lebar, seperti hendak melompat dari rongga matanya. Dengan sekuat tenaga dia berlari dan melompat ke dahan pohon. Ketika berada di atas pohon, dia takjub pada dirinya sendiri karena memiliki kemampuan lain di dunia ini.
“Wah, aku bisa lompat ke pohon,” katanya.
“Jangan norak, Nona~”
“Diam kau, sistem jelek.”
Dia melompat kembali ke dahan pohon lainnya sambil bersembunyi. Beberapa pria itu masih mengejarnya.
“Aktifkan saja mode mudah, ayo cepat! Kucingku belum diberi makan, nanti dia ngambek.”
“Oke~”
Ding! Layar sistem kembali menampilkan jumlah poin yang akan dipangkas jika mengaktifkan mode mudah. Dengan dahi mengerut dia menatap layar dengan tak percaya. Nyaris saja dia memanahkan panahnya ke layar sistem jika saja dia orang hidup. Layar menunjukan 500 poin yang akan dipangkas. Dengan berat hati Heera menekan tombol ‘yes’ dan layar pun menampilkan tulisan ‘transaksi berhasil’.
Tiba-tiba akar-akar pohon bermunculan dari bawah tanah ke permukaan. Akar-akar itu begitu panjang dan seakan hidup. Mereka bergerak menangkap tubuh para pria tadi dan melilitnya. Mereka semua berdiri tak berkutik dengan akar-akar yang melilit tubuh mereka.
Dengan inisiatif kuat, dia segera menarik busur panahnya dan melesatkan lima anak panahnya sesuai bidikan. Semua anak panah itu berhasil menembus jantung lima pria besar itu. Tubuh mereka menegang, darah muncrat dari d**a mereka. Akar-akar pohon kembali melepaskan tubuh mereka, kemudian kembali ke dalam tanah.
“Heh, Sistem, kenapa mereka berdarah?”
“Tentu saja, kan mereka dipanah, Nona~”
“Jawaban tidak berguna,” katanya dengan kesal.
Tiba-tiba tubuhnya terjatuh dari dahan pohon, Heera membulatkan matanya dan hendak meraih dahan lainnya tapi tak berhasil. Tubuhnya terjatuh di tanah dan kegelapan tanpa ujung menyapanya. Dia memejamkan matanya dengan erat-erat.
Sesuatu yang basah dan lunak seperti menjilati wajahnya. Dia hapal bau ini, dadanya bahkan seperti ditekan dengan beban. Ketika membuka mata, dia menemukan kucing berwarna oren sedang duduk di dadanya sambil menjilati wajahnya.
Matanya bergerak lagi, menatap sekeliling di mana ada kamar yang cukup besar dengan meja panjang dan seperangkat alat komputer. Gorden jendelanya bahkan terbuka, dan langit sudah gelap. Dirinya kini sedang berbaring di lantai dengan kursi yang sudah terjatuh.
“Aaahh, pinggangku!” teriaknya sambil bangun. Kucing oren itu melompat dari dadanya dan mengeong di sekitarnya.
Dia bangun sambil menepuki pinggangnya, meraih kucing oren berbulu gembal itu kemudian menggendongnya dan membawanya keluar.
“Sha, ayo kita makan malam!” katanya, seraya berjalan keluar dari kamar.
Layar komputernya masih menyala dan tiba-tiba sebuah pesan muncul dengan latar kembang api virtual.
Selamat sudah melewati level satu. Sihir berhasil diaktifkan. Misi selanjutnya, mencari Putra Mahkota Yasabadra.
Keadaan di kamar itu sunyi, hanya semilir angin yang menerbangkan gorden di malam yang dingin ini.
Tiba-tiba layar komputer mati selama beberapa detik, dan muncul kembali. Sosok nyata di dalam layar, dengan jubah hitam bertudung yang menutupi kepala dan wajahnya. Ada seringai berbahaya di balik tudung itu, seakan mengancam.
Layar pun kembali mati.
*******
London, Inggris.
Tiga hari kemudian.
Heera duduk di depan meja makan dengan kantung mata yang jelas terlihat dan menghitam. Dia tidak tidur semalaman setelah kemarin dirinya berhasil mendaftar dan mengaktifkan game aneh itu. Dia tidak menyangka bahwa game itu benar-benar nyata. Dirinya bisa migrasi ke dunia virtual game, dan merasakan semuanya secara nyata. Dia bahkan mengambil karakter sebagai seorang penyihir wanita yang memiliki senjata sihir berupa busur panah.
Setelah dirinya berhasil menyelesaikan misi pertamanya, dia bisa kembali ke dunianya dengan selamat. Dia masih memiliki misi untuk mencari keberadaan Putra Mahkota Yasabadra. Bagaimana pun dia tak mau kembali ke permainan itu.
“Permainan apa yang menggunakan jiwa orang hidup? Aku tidak mau, tidak mau, tidak mau!” keluhnya, seraya menaruh kepalanya di meja.
Rasa dingin menyapa pipinya ketika kaleng minuman menempel di pipinya. Dengan malas dia menatap orang yang baru saja datang, seorang pria yang tidak terlalu tinggi dan berkulit pucat.
“Deadline-nya masih bulan depan, tapi kau seperti orang mau mati saja,” kata pria itu seraya duduk di depannya.
Suara obrolan dan langkah kaki terdengar di sekeliling mereka yang berada di kafetaria kantor. Heera datang ke kantor penerbitnya, untuk bertemu dengan editornya yang juga sahabatnya.
“Micel, bantu aku,” kata Heera dengan lesu, kepalanya masih di meja.
“Kenapa? Tak ada lagi uang untuk makan?”
“Masih sisa untuk beli makan beberapa hari.”
Micel menaikan sebelah alisnya. “Kalau habis minta saja pada orang tuamu. Kau kan dari keluarga kaya.”
“Tidak mau. Aku ingin mandiri,” jawab Heera dengan wajah cemberut.
“Lagipula kau baru saja mendapatkan pembayaran untuk bulan ini, ke mana semua uangnya?”
Heera nyaris menangis meratapi uangnya yang dia habiskan untuk mendaftar game aneh itu. Jika mengingat lagi tentang kemarin, dia ingin melemparkan komputernya dari lantai sepuluh kamarnya. Apa-apaan dengan permainan yang menggunakan jiwa, dan jika dia terbunuh di dunia itu maka dia pun akan mati di dunianya.
Heera masih meratap, menatap Micel dengan wajah penuh ratapan bagai anak kucing.
“Ey, kau seperti anak kucing yang dibuang di got,” ujar Micel.
Dengan wajah cemberut Heera menendang kaki Micel di bawah meja. “Dasar teman kejam. Ayo bantu aku.”
Micel tertawa pelan, seraya mengacak rambut pirang Heera hingga berantakan. “Oke, jadi apa?”
Heera kembali bersemangat, seakan jiwanya yang tertinggal di dunia itu kembali ke dunia nyata. “Bantu aku hapus sebuah aplikasi game dari komputerku!”
“Kau membeli game? Tidak biasa, kau kan lebih suka membaca novel.”
Heera menatap Micel dengan mata bulatnya yang berbinar-binar, seperti anak kucing yang minta dibelai. Melihat wajah imut dan juga menggemaskan Heera, Micel pun tak sanggup lagi. Dia menutupi wajah Heera dengan kertas yang ada di meja.
“Oke, oke. Ayo ke apartemenmu.”
Heera melompat dengan senang dan memeluk tubuh Micel. “Yey! Kau sahabat dan editorku yang terbaik!”
Micel hanya menggelengkan kepala, merasa sedikit malu karena menjadi pusat perhatian orang-orang atas kelakuan Heera. Mereka pun keluar dari kafetaria.
*****