Bab 6: Lebih dekat?

715 Kata
"Hei, cowok populer." Aku mengamit lengan Indra dengan percaya diri, saat ia baru mau naik ke atas motornya. Ha, ini baru permulaan. Aku bisa saja menjadi cewek yang agresif, agar dia menyukaiku. Ralat, aku akan melakukan apa saja, agar dia menyukaiku. Kenapa? Karena jika aku gagal, followersku akan menghilang. Aku tidak terima.             Pokoknya, aku harus mengalahkan Indra. Bahkan, aku berniat membuatnya jadi tergila-gila padaku. Yah, benar, bertekuk lutut. Pasti menyenangkan. Nanti aku akan memotretnya dan memposting foto Indra saat berlutut di depanku. Whoa, kalau bisa menjadi viral, aku pasti akan terkenal! Bisa-bisa aku diundang ke acara TV untuk diwawancarai. Astaga, aku harus siap mental untuk seterkenal itu. Saat ini aku rasa, aku belum siap.             "Apaan, sih? Lepas."             Oh, no. Tidak mempan? Hatinya pasti terbuat dari es batu.             Aku tidak menyerah. Aku harus pulang bersamanya. "Anterin gue pulang dulu. Baru deh nanti gue lepas."             "Hah? Oh, lo lagi usaha deketin gue, ya? Gue hampir lupa." Indra memutar bola mata, dengan helaan napas. "Yaudah, naik."             Apa? Dia mau mengantarku pulang? Yes, berhasil!             "Wah, ternyata lo emang baik banget. Lo mau nganterin gue pulang?"             "Iya. Tapi, setelah urusan gue di suatu tempat selesai."             Aku mengernyit curiga Dia tidak akan meninggalkanku di jalan, kan? "Urusan apa?"             "Jangan bawel. Ikut aja." Indra naik ke atas motornya. "Kenapa masih diem? Berubah pikiran?"             Aku menggeleng, ikut naik ke motornya. Terpaksa, ya. Jangan salah paham. Aku juga sebenarnya ogah, lebih baik baik angkot. Atau kopaja, mungkin.             "Untung aja, hari ini gue bawa helm dua. Lo sangat beruntung." Indra memberiku helm berwarna hitam. "Ada satu peraturan, sebelum kita berangkat."             "Hah? Apa?"             "Dilarang meluk-meluk gue. Kalo lo berani modus meluk gue, gue turunin lo di tengah jalan."             Aku melebarkan mataku, berusaha mungkin agar tidak mengambil pisau untuk membunuh Indra. Benar, kan? Dugaanku benar! Tapi, tunggu dulu. Siapa juga yang berniat modus memeluk dia? Dih, tingkat kepercayaan dirinya sangatlah tinggi. Terlalu tinggi, malah.             Dasar cowok kejam! *** Aku hampir jatuh tiga kali karena tidak pegangan apa pun saat naik motor bersama Indra.             Menyebalkan.             Pegang jaket aja, nggak boleh. Aku dikira modus. Hah, makan tuh modus! Pede banget! Aku jadi lebih kesal lagi saat motor Indra berhenti di sebuah SMP ternama. "Kita ngapain ke sini?"             "Mulung botol bekas,” jawabnya santai. Seperti di pantai.             "Hah? SERIUS?!" Mataku melotot sempurna.             "Nggak, lah. Gue disuruh nyokap buat ngasih seragam karate adek gue yang ketinggalan." Indra turun dari motor, terlihat mengeluarkan ponselnya.             Wah, ponselnya terlihat mahal! Itu kan ponsel yang harganya melebihi gaji ayahku selama sebulan. Berarti, Indra benar-benar kaya raya. Beruntungnya.             "Halo, Dee? Lo di mana? Gue udah di parkiran, bawa seragam karate lo yang ketinggalan. Hah? Oke, gue tunggu."             Aku melipat tanganku. Pura-pura melihat hal lain di sekitarku. Padahal, mataku tadi terus menatap ponsel Indra sampai mataku perih.             "Abang!" Ada anak kecil yang berlari memeluk Indra. Mungkin dia kelas satu SMP. Dia pendek sekali. Atau mungkin, Indra yang terlalu tinggi.             "Jangan peluk-peluk. Lo bukan anak kecil lagi." Indra tertawa, menjitak kepala ... oh, itu mungkin adiknya.             "Gue masih kecil, Bang. Belom setinggi Bang Indra, 'kan?" Anak itu menyengir. Lalu matanya beralih menatapku. Wah, dia ternyata manis sekali. Terlihat polos dan imut, tidak seperti Indra. Jauuuh! Ah, seandainya aku masih SMP juga, mungkin aku akan berusaha mendekatinya. "Kakak pasti gebetan Bang Indra yang nelepon waktu itu, ya? Wah! Kakak cantik! Kayaknya, aku follow Kakak deh di Instagram."             Hah? Apa dia bilang?             "Lo follow gue? Serius?" Aku memandang adiknya Indra dengan penasaran.             "Iya, kayaknya. Bang Indra juga sering aku kasih lihat foto Ka--" Indra langsung membekap mulut adiknya.             "Ngomong apa sih lo, Dee? Ngawur banget!"             Aku mengernyitkan dahiku. "Tadi dia mau ngomong apa, Ndra?"             Indra tertawa hambar. "NOTHING. Dia cuma asal ngomong. Jangan dipikirin."             Aku jadi curiga. Apa jangan-jangan Indra punya i********:?             "Ih, tangan Bang Indra bau!" Adiknya Indra mendengus setelah berhasil melepaskan diri dari cengkraman Indra.             "Eh, enak aja!"             Aku tanpa sadar tertawa, membuat Indra dan adiknya memandangku seperti orang gila. "Astaga, lo tambah ganteng deh kalo lagi marah-marah ke adik lo, Ndra."             "CIEEEE!" Adiknya Indra meledek abangnya dengan wajah super ngeselin. Aku aja jadi ikut kesal.             "Diem lo, Deeka! Sana masuk ke sekolah! Latihan karate yang bener!" Indra menjewer telinga Deeka dengan wajah merah padam. Ah, lucunya.             "Iya, Bang! Ampun! Lepasin! Nanti kalo telinga aku copot, gimana?!"             Astaga, adiknya ternyata juga lucu, tidak seperti abangnya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN