Bab 4: Radio

946 Kata
Kalian harus tahu, kalau aku juga pedendam seperti Nino. Sikap Indra kemarin terus membuat hatiku terasa panas dan emosi. Aku harus memberinya pelajaran.             "Indra! Berani-beraninya lo matiin telepon dari gue!" Aku mencegatnya saat melihatnya di dekat gerbang sekolah. Well, dia hari ini tidak naik mobil. Aku tadi melihatnya turun dari angkot.             Indra terlihat malas memandangku. "Lagian, lo malah bahas hal yang nggak penting."             "Ih, itu penting!"             "Bagi lo doang. Bagi gue, nggak."             Aku berjalan di sebelah Indra, saat kami memasuki gerbang masuk sekolah. "Huu, sombong. Kok lo bisa jadi penyiar radio? Padahal, lo irit ngomong."             "Gue irit ngomong cuma sama orang asing."             Sialan. "Jadi, gue orang asing?"             "Yep."             "Kalo kita udah kenal deket, lo akan ngomong panjang lebar sama gue, gitu?"             Indra berdecih. "Tergantung."             "Kok tergantung?"             "Kalo lo masih sering nunduk mandang gadget, gue nggak akan mau ngobrol sama lo.      Mendingan, gue ngobrol sama tembok."             Aku mendengus tidak percaya. “Tapi, sayangnya tembok nggak secantik gue, tuh.”             Indra melirikku sambil menaikkan satu alisnya. “Lo belom pernah lihat tembok rumah gue, kan?”             “Hah? Jadi, maksud lo, tembok rumah lo lebih cantik dari gue? Begitu?”             “Lo yang bilang gitu.” Indra pun berjalan lebih cepat dariku, seakan ingin mendahuluiku. Oh, tidak boleh begitu, Anak muda.             “Apa terlahir kaya bikin lo jadi sesombong itu?” Pertanyaanku berhasil membuatnya berhenti. Dia berbalik badan, lalu tersenyum miring.             “Ya, kenapa? Nggak suka?”             Luar biasa. Dia tidak berusaha membela diri. Tidak seru.             “Banget. Gue nggak suka sama orang sombong.”             “Baguslah, gue juga nggak suka sama orang yang nggak bisa lepas dari gadget.”             “Fine, then.” Aku pun berjalan dan menabrak bahunya. ** Aku tidak bisa lepas dari gadget.             Siapa Indra? Berani-beraninya dia mengaturku! Memang apa salahnya kalau sering main handphone? Memangnya dosa?             Aku berjalan dengan kesal memasuki kelas, mengabaikan sapaan dari Lukas. Aku duduk dengan wajah tertekuk kusut. Mood-ku sungguh hancur pagi ini karena seorang Indra.             "Kenapa, sih? PMS, ya?" tanya Lukas sedikit takut. Dia memang sering sekali aku marahi jika aku sedang PMS.             "NGGAK. Itu, Si Indra ngeselin. Sok ganteng, sok dingin, sok ngatur, sok--"             "Indra baik banget, Key. Lo aja yang belom kenal dia."             Oh, bagus. Lukas membela Indra. Tapi, kenapa?             "Lo deket sama Indra, Luk?"             "Nggak, sih. Tapi, gue sering dengerin siaran radio dia. Sumpah, lo harus denger."             "Emang dia bahas apaan? Kok lo kayak menganggap dia baik banget?"             Lukas tersenyum kecil. "Penasaran, ya? Coba aja lo dengerin sendiri nanti malem jam delapan."             "Hah? Ogah.”             “Katanya, lo penasaran? Dia nggaks seburuk yang lo bilang gitu, kok.”             “Masa? Aduh, denger suaranya aja gue males.”             “Merdu lho, kalau di radio.” Lukas tertawa menggodaku. “Yakin nggak mau denger?”             “Yakin, seribu persen!”             “Oke, selow. Gue nggak maksa.” Lukas malah tambah tertawa puas. Dasar aneh.             Bel masuk akhirnya berbunyi. Pelajaran pertama adalah Kimia, ah aku benci Kimia. Kira-kira, Indra jago Kimia nggak, ya? Astaga! Kenapa aku jadi memikirkannya?! ** Sesuai saran Lukas, aku malam ini terpaksa mendengarkan siaran radio Indra. Tapi, aku yakin, pasti akan sangat membosankan. Ha-ha.             "Hello, Guys. Kali ini, gue akan membacakan curhatan dari ... Hamba Allah di Bekasi."             Aku cukup terkejut saat Indra terdengar begitu ramah. Ini mustahil. Tidak mungkin!             "Kak In, aku cewek. Dan aku belum bisa move on sama cinta pertama aku. Sekarang kita jauh banget. Dia di Karawang, aku di Bekasi. Terakhir kali komunikasi itu lebaran tahun lalu. Aku kangen banget sama dia, tapi aku gengsi buat ngehubungin dia duluan. Menurut Kakak, aku harus gimana?"             Aku sedikit geli mendengar Indra menirukan suara perempuan Si Hamba Allah dari Bekasi itu. Lucu sekali.             "Oke, sebenernya gue nggak terlalu berpengalaman soal beginian. Tapi, menurut gue, nggak ada salahnya untuk menghubungi Si Dia duluan. Lo cewek, terus kenapa? Kenapa kalian cuma nunggu, di saat kalian sebenernya punya hak dan kemampuan untuk menghubungi DIA duluan? Jangan gengsi. Jaman sekarang, gengsi itu nggak keren."             Aku tersenyum mendengar suara Indra. Aku jadi ingin sekali melihat ekspresi wajahnya sekarang. Aku tidak pernah melihat ekspresi wajahnya selain datar dan kesal. Huh, sedihnya. Aku sangat ingin melihatnya tersenyum, entah mengapa. Aku juga mulai penasaran bagaimana ekspresinya saat tertawa. Pasti lebih tampan dan manis.             Aku menggeleng cepat, berushaa menyingkirkan pemikiran yang menggelikan itu. Tidak, pasti jelek. Mau senyum ataupun cemberut, pasti wajahnya tidak akan berubah. Cih.             "Yang mau curhat juga, bisa hubungi 02176589900. Langsung gue angkat nih sekarang."             Aku buru-buru mengambil ponsel, dan menghubungi nomor yang Indra sebutkan.             "Wow, cepat sekali. Sudah ada penelepon pertama."             Aku tersenyum lebar, ya ampun aku memang beruntung. "Hallo, Indra."             "Ha-hallo. Dengan siapa, di mana?" Wah, sepertinya dia langsung mengenali suaraku.             "Keyra, di hatimu." Aku tersenyum jail.             "Mbak Keyra, mau curhat apa?" Indra sepertinya ingin pura-pura tidak mengenalku. Fine! Let's do this.             "Jadi gini, Kak. Ada cowok di sekolah aku yang nyebelin banget. Jutek, dingin, dan keliatannya anti sosial banget. Dia di handphone-nya masa cuma ada game? Aneh banget, 'kan? Terus, aku bingung karena dia ternyata kayak punya sisi lain yang ramah banget. Kira-kira, kenapa dia bisa begitu, ya?"             “Mbak kayaknya hobi banget ngoceh, ya? Lucu banget."             Lucu, hah?             "Mbak Keyra lebih baik mikirin hal lain yang lebih penting. Jangan mikirin cowok itu mulu. Soalnya, kalo Mbak sampai suka sama cowok itu, bisa bahaya. HAHA."             Sialan. Dia malah mengejekku. "Oh, gitu. Bahaya kenapa? Kalo gue suka sama cowok itu, emangnya kenapa? Salah?"             "Salah banget. Karena cowok itu, kayaknya nggak suka sama Mbak Keyra. Soalnya Mbak ini terlalu banyak ngoceh. Bukan tipe dia banget."             "Heh! Sembarangan! Lo mau ngajakin gue berantem, hah? Jangan sok ganteng! Gue nggak akan suka sama lo! Inget itu baik-baik! Dasar cowok aneh!"             Aku mematikan sambungan dengan kesal. Mataku semakin melotot saat mendengar Indra tertawa di siarannya.             "Aduh, Mbak Keyra kayaknya lagi PMS. Kita lanjut aja ya ke penelepon berikutnya..."             Sial. Aku mematikan radio lalu menjulurkan lidah ke radioku itu. Anggap saja itu Indra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN