Bab 11: Pengakuan

789 Kata
Aku kira, Indra akan mengajakku ke kamarnya. Ternyata, dia mengajakku ke sebuah ruang santai. Ada TV besar dan sofa. Oh! Ini pasti ruang untuk menonton film!             Whoa, luas ruangan ini bahkan mengalahkan luas seisi rumahku. Keren.             "Duduk," ujar Indra tajam.             Aku duduk menuruti perintahnya. "So?"             "Lukas suka sama lo, Bego." Indra berujar begitu sambil bermain ponsel. Sepertinya ia sedang berbalas pesan dengan seseorang.             "Lukas suka sama gue? Jangan ngaco, Ndra. Dia itu BFF gue." Aku tertawa. "Best Friendzone Forever, maksud lo?" Indra akhirnya duduk di sebelahku. Ia menghela napas sesaat sebelum lanjut berujar, "Lukas yang ngaku ke gue, sebelum rapat OSIS kemarin."             "Ngaku gimana?"             "Dia nyuruh gue untuk membalas perasaan lo. Karena katanya, lo keliatan suka banget sama gue. Tapi, gue bisa lihat kesedihan di wajahnya. Dia kayak nggak rela."             "Hah? Iyalah dia nggak rela. Dia takut kalo gue lebih sibuk sama pacar daripada dia--"             "Cukup, Key. Kita nggak ada harapan. Taruhan berakhir."             Aku mengenyit. "Jadi, gue kalah? Oke, gue akan hapus media social gue sesuai perjanjian."             "Nggak usah." Indra tersenyum kecil. "Kayaknya, kecanduan lo sama hape itu udah mulai berkurang. Biasanya, lo selalu megang hape ke manapun. Lo selalu jalan sambil nunduk, dan nggak pernah sadar sama keberadaan gue."             "A-apa?"             Indra menghela napas. "Keyra, gue suka sama lo sejak kelas sepuluh, Idiot."             "What?!" Mulut dan mataku terbuka lebar. Apa aku tidak salah dengar?             "Nggak usah sok syok begitu." Indra mendengus, lalu mengusap wajahnya. "Gue kira, lo udah curiga."             "Jadi, foto-foto gue di hape lo itu ... lo yang nyimpen? Kok bisa?"             "Bisa, lah. Gue minta Deeka screenshoot foto-foto lo di i********:, terus dikirimin ke gue." Indra membuang pandangannya ke arah lain.             "Ih, licik." Aku mencubit pinggangnya dengan gemas. "Gue kira, lo benci gue setengah mati!"             "Gue cuma nggak suka kalo lihat lo main hape mulu. Dulu, lo nggak pernah mau ngeliat gue. Akhirnya, gue sampai mohon-mohon ke Nino buat ... bantuin gue biar bisa kenalan sama lo."             Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Astaga, tawaku rasanya mau meledak. "Astaga, lo segitu sukanya ya sama gue? Aduh, gue terharu!"             "Jangan ketawa!" Indra melototiku, tapi tiba-tiba ia memandangku geli. "Ah, citra gue jadi nggak keren lagi deh di mata lo."             "Kalo suka, kenapa lo sok cool dan galak sama gue? Bikin bete, tau!" Aku meninju lengannya.             "Sengaja. Biar misterius gitu." Indra tertawa. Astaga, akhirnya aku bisa melihatnya tertawa.             "Nyebelin!" Aku mencubit kedua pipi Indra dengan gemas. "Apa susahnya sih buat ngaku?"             "Aduh, aduh." Indra menahan tanganku, lalu mata kami bertemu. "Lo cantik banget, sih. Gue selalu gerogi ngomong sama lo."             Aku harap, wajahku tidak merah seperti tomat!             "Kenapa lo bisa suka sama gue? Jangan bilang, karena gue cantik." Aku bertanya cukup tegas.             Indra tersenyum. "Karena lo cantik." "Bukannya lo bilang kalau lo nggak mandang fisik?” tanyaku dengan mata menyipit.              Indra tersenyum lagi. "Pas MOS, gue lihat lo tertawa sama temen-temen lo. Entah kenapa, gue merasa terpesona karena hal itu. Terus, gue berusaha nyari-nyari informasi tentang lo. Semuanya."             "That's it?" Aku mengernyit, tak percaya. "Alasan lo cuma karena lihat gue tertawa?"             "Yap. Apa itu nggak masuk akal?" Indra menyengir. "Keyra, nggak semua hal itu harus masuk akal."             "Oke. Lo suka sama gue dan gue juga suka sama lo. Kenapa kita nggak jadian aja?"             Indra melebarkan matanya, menatapku tak percaya. "Lo kok frontal banget? Lo mau bikin gue jantungan, ya?!"             Aku tertawa, lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. "Gue serius. Ayo, jadian!"             "Nggak bisa."             "Why?"             "Lukas suka sama lo."             "Tapi, gue cuma menganggap Lukas itu sahabat. Nggak lebih, Ndra..."             "Masa?" Indra tersenyum tipis. "Tapi, kita tetap nggak bisa pacaran. Gue 'kan nanti mau kuliah di luar kota."             "Terus? Kita 'kan bisa LDR."             "Lo emangnya percaya, gue nggak akan selingkuh di sana?"             Deg.             Aku memang tidak bisa mudah percaya pada orang lain.              Bagaimana Indra bisa tau?             "Kalo gitu, gue akan nunggu lo kembali. Baru deh nanti kita pacaran. Gimana?"             Indra menghela napas. "Kalo lo mau jadian sama Lukas, gue nggak akan marah."             "Nggak mau. Dia tuh udah kayak sodara gue sendiri, Ndra!"             "Oh."             "Please, kenapa lo malah nyuruh gue sama Lukas? Gue 'kan sukanya sama lo." Aku menggembungkan pipiku.             "Lo mau nunggu sampai kita lulus kuliah? Lo gila?" Indra tertawa. "Itu lama banget. Lo emangnya tahan jadi jomblo selama itu?"             "Iya, dong! Gue akan tahan!"             "Janji?" Indra menunjukkan jari kelingkingnya.             "Janji!" Aku mengaitkan kelingkingku dengannya sambil tersenyum lebar.             "Kalo lo bohong, gue akan beneran membenci lo setengah mati."             Wah, ancamannya benar-benar menakutkan. Tapi, aku tidak takut. Aku yakin, aku bisa setia menunggunya kembali. Demi Indra, aku rasa, aku bisa melakukan apa saja. Ah, aku harus berterima kasih pada Andra, karena sudah membohongiku tadi. Kalau dia tidak berkata Indra sakit dan aku tidak datang, mungkin … aku tidak akan tahu perasaan Indra yang sebenarnya. Yep, terima kasih Andra ganteng! Semoga kamu makin ganteng, ya! 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN