Sejak hari di mana Indra mengakui perasaannya, dan kami mengikat janji ... sekarang, aku jadi semakin akrab dengan Indra.
Orang-orang sampai harus mengucek mata mereka, saking tidak percaya kalau aku dan Indra bisa tertawa bersama. Bahkan, banyak yang mencibir diam-diam dan berkata tidak menyangka tipe cewek idaman Indra ternyata seperti Keyra. Ya, sepertiku. Mereka benar-benar terkejut. Tapi, memangnya, aku seburuk itu? Kenapa mereka begitu terkejut?
Atau, mungkin mereka tidak menyangka Indra menyukai cewek yang cantik dan unik. Mereka kira, Indra suka cewek penyuka buku yang juga pendiam. Namun, aku juga sebenarnya snagat terkejut saat Indra mengakui perasaannya. Kenapa? Kenapa dia bisa menyukaiku? Lalu, kenapa dia malah menjadi orang super menyebalkan jika di depanku? Sungguh aneh.
Namun, sifatnya yang kasar perlahan hilang. Dia tiba-tiba jadi semanis popcorn caramel. Sangat manis! Hingga, aku masih berusaha membiasakan diri.
"Lo cantik kalo dikuncir gini." Indra menyentuh ujung rambutku yang aku kuncir satu.
"Masa?" Aku terkekeh. Aku masih tidak terbiasa mendengar pujian dari mulut Indra.
"Iya, wajah lo jadi keliatan lebih jelas." Indra terkekeh.
"Oh, jadi sebelumnya tuh ngeblur, ya?"
"Nggak, sih. Cuma bikin gereget aja. Rambut lo panjang, tapi selalu diurai. Rasanya, gue pengin banget kepangin rambut lo."
Aku tertawa. "Emangnya bisa?"
"Nggak, sih." Indra menggaruk kepalanya. "Cuma suka aja kalo lihat cewek rambutnya dikepang."
Aku langsung melepas kunciranku.
"Ngapain, Key?" tanya Indra bingung.
Aku menyentuh tangan Indra, lalu mengarahkannya ke rambutku. "Kepangin, dong."
Wajah Indra seketika terlihat tegang. "Gue tadi bercanda. Gue nggak bisa!"
"Yaudah, sebisa lo aja." Aku menyengir lebar. Dan sepertinya, Indra akhirnya pasrah.
Indra mengajakku duduk di pinggir lapangan, tepat di bawah pohon ceri. Indra dengan teliti mengepang rambutku. Hah, ternyata tadi dia sedang merendah.
Dia saat ini jago sekali mengepang rambutku! Apa ini adalah bakat lain Indra selain jago marah-marah, ya?
"Ndra, kenapa lo mau kuliah di luar kota?" tanyaku saat ia masih sibuk mengepang rambutku. Dia sangat serius.
Sekarang jam istirahat, anak-anak pasti sedang ramai di kantin.
"Hmm, gue sebenernya mau kuliah di Surabaya biar bisa tinggal sama nenek gue."
"Why? Lo kangen ya sama nenek lo?" Ah, Indra ternyata manis sekali.
"Nenek gue lagi sakit. Dan gue mau nemenin nenek gue. Ada perawatnya sih, tapi pasti nenek lebih seneng kalo dirawat sama cucunya sendiri, 'kan?"
"Ow, manisnya." Aku tersenyum. "Emangnya nenek lo sakit apa?"
"Ataxia."
"Astaga, itu penyakit yang belum ada obatnya, 'kan?" Aku jadi merasa cemas.
"Ya, gue tau. Makanya gue mau manfaatin waktu sama nenek. Takut nanti menyesal."
Tepat saat Indra berkata begitu, kepangan rambutku sudah jadi. Aku berbalik badan, dan menggenggam tangannya sambil tersenyum. "Salam ya, buat nenek lo. Gue ... gue bingung mau bilang apa. Gue nggak pernah--"
"Makasih. Senyum lo udah cukup membantu, Key." Indra mencium tanganku, dan menatapku dengan teduh.
Ah, hatiku semakin meleleh.
***
Hari-hariku terus berwarna pelangi, berkat Indra. Walau tanpa status, tapi aku merasa sangat spesial setiap bersamanya. Tentu saja ada beberapa orang yang tidak suka melihat kedekatan kami, tapi aku tidak peduli. Untuk apa kita peduli dengan orang yang hanya bisa membenci? Masih banyak hal yang bisa kita lakukan, bukan?
Lagipula, Indra sering menenangkanku setiap aku kesal sehabis diomongin oleh cewek-cewek centil di sekolah. Jadi, aku baik-baik saja. Mentalku kuat!
Tidak terasa, akhirnya hari ini tiba. Hari ini adalah hari di mana Indra akan berangkat ke Surabaya.
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Eh, maksudku, sampai jumpa.
Aku datang pagi-pagi sekali ke rumah Indra. Kali ini, satpam rumahnya dengan baik hati langsung membukakan pagar untukku.
"Ngaku, deh. Mbak ini pacarnya Den Indra, ya?" tanya Pak Satpam dengan senyum jail.
"Masih calon. Kita mau pacaran kalau udah lulus kuliah aja, Pak," jawabku sok keren.
"Lah, kenapa begitu?"
"Biar kita berdua bisa fokus kuliah, Pak. Lagian, jarak kita 'kan nanti jauh."
"Aturan, pacaran aja. Daripada nanti, Mbak jadi ditembak cowok-cowok, loh. Karena Mbak jomblo."
Aku tertawa. "Selama ini saya jomblo, nggak ada tuh yang berani nembak."
"Dunia kuliah itu beda, Mbak."
"Hmm. Aduh, kenapa saya jadi ngobrol sama Bapak? Saya 'kan harus ketemu Indra!" Aku hampir saja melupakan maksudku datang ke sini.
"Oh, Mbak mau ketemu Den Indra? Mbak telat tiga puluh menit. Den Indra udah berangkat ke stasiun kereta."
APA?!
***
Akhirnya aku pulang dengan taksi dengan perasaan kecewa. Aku langsung menghubungi Indra dan ingin memarahinya habis-habisan.
"Hallo, Key?"
"Indra! Kok lo udah berangkat?!"
"Maaf, Key. Gue nggak tau kalo lo mau ngasih pelukan perpisahan..."
Wajahku rasanya mulai panas. "Siapa coba yang mau meluk lo?! Gue cuma mau ngucapin 'hati-hati di jalan', kok."
"Oke, iya gue akan hati-hati."
"Pas sampai Surabaya, langsung telepon gue, ya."
"Iya, kalo inget."
"Ndra, kata satpam rumah lo, kita harusnya pacaran aja. Gapapa jarak jauh! Yang penting, ada status."
"Kenapa gitu?"
"Katanya, biar gue nggak ditembak cowok lain."
Terdengar suara tawa Indra yang merdu. "Itu kata Pak Satpam, atau kata isi hati lo?"
"Ih, serius! Gimana kalo kita pacaran aja?"
"Gimana, ya? Gue bingung."
"Ya udah, gue kasih dua pilihan." Aku berujar tegas. "Kalo lo mau jadi pacar gue, nanti saat sampai Surabaya, lo harus langsung hubungin gue. Kalo lo merasa kita jangan pacaran dulu, lo nggak usah hubungin gue lagi."
"Yah, ngambek. Oke-oke, nanti gue pasti hubungin lo kalo udah sampai Surabaya."
"Nah, gitu dong!"
"See ya again."