“Itu bukan salahmu, Hiro-kun. Aku tau itu. Jadi, demi kebaikanmu dan banyak orang, apa kau mau bekerja sama dengan kami?” tawar Axel. “Kita akan cari jalan keluarnya bersama.”
Hiroto mengangguk cepat. “Tentu saja, Axel-sama. Apa pun itu, yang bisa membantu agar aku bisa kembali ke keseharianku.”
Axel menarik ujung bibir, matanya mengecil seiringan dengan senyum yang mengembang. “Nah, agar tidak membuang-buang waktu, aku akan bicara ke orang tuamu secara langsung.”
“Eh?” lontar Kazan dan Hiroto bersamaan.
“Begini, mereka perlu tau keadaan anaknya. Dia sudah menghilang dari malam, pasti mereka risau,” katanya ke Kazan.
“Tapi Anda tidak boleh sampai terlihat oleh banyak orang. Anda sendiri yang bilang kalau ingin merahasiakan diri,” sela anak didiknya yang bersurai amethyst itu.
Axel mengacungkan jempol. “Tenang, aku kan terlihat seperti om-om pada umumnya!”
“Dari mana asumsi itu keluar,” protes Kazan sambil menatap sinis.
Hiroto mencengkeram kain jaket ketika memikirkan bagaimana anggapan ayahnya nanti kalau tau soal kondisinya.
Melihat itu, Axel mengulurkan tangannya, menyentuh puncak kepala Hiroto. Laki-laki bermanik hitam itu menengadah. “Memang sulit untuk memberitahu mereka soal ini, tapi mereka orang tuamu,” kata Axel.
“Apa hanya itu caranya? Haruskah memberitahu semua ini, Axel-sama?” tanya siswa itu dengan lirih.
“Aku bakal lihat dulu situasi dan kondisinya, baru akan kuputuskan untuk bicara apa.”
Singkat cerita, ketiga orang itu pergi ke kediaman Hiroto di hari Minggu pagi. Axel sama sekali tidak berganti pakaian, atau menyamar dengan kostum. Dia hanya memakai topeng burung hantu Tyto alba putih yang sedang terpejam.
Hiroto yang duduk di belakang tak berani menghadap depan karena topeng itu cukup seram baginya.
“Ano, saya rasa topeng itu bakal menarik perhatian banyak orang,” sarkas Kazan.
“Aaa, apa lebih baik aku memakai topeng rubah saja?”
“Bukan itu masalahnya,” tekan laki-laki bermanik violet itu.
“Justru, harusnya Zan yang pakai topeng. Kau kan paling menarik perhatian,” lontar Axel sambil membuka topengnya. “Ah, tapi percuma. Semua orang sudah hafal gaya rambut dan seragammu.”
Hiroto mengingat banyak siswi yang melihat Kazan kemarin sore. “Benar juga, “ balasnya spontan.
“Hah?” ujar Kazan dengan gusar.
Sesampainya di sana, mereka langsung mengetuk pintu rumah Hiroto. Pintu terbuka, “Haiii’—GOWAAAAH!” jerit Takahiro-san—Ayah Hiroto—begitu melihat topeng burung hantu putih tepat di balik pintu.
Seketika Axel tertawa meledek, menunjuk Kazan yang memakai topeng. Hiroto memalingkan wajah, menutup mulut dengan pundak bergetar menahan tawa.
“Hiroto?” panggil Ayahnya.
Hiroto mendekat, belum mengatakan apa-apa, Takahiro-san sudah mendekapnya erat. “Dasar bocah nakal! Dari mana saja kau? Semalaman hilang, dengan piyama—tu-tunggu, celanamu banyak sobekan dan ... darah?”
“Ayah, kita bicarakan ini di dalam, oke?”
Kazan membuka topeng itu saat mereka masuk, langsung memberinya ke Axel yang sudah berhenti dari tawa. Begitu teh sudah dihidangkan di ruang tamu yang pas-pasan, mereka mulai berbicara.
“Kazan-kun, ternyata,” ujar ramah Takahiro-san. Pria empat puluhan itu bergeming sejenak. “Apa Hiroto diincar iblis lagi?”
“Dia tidak diincar. Tapi ....” Kazan melirik ke atasannya.
“Maaf sebelumnya, tapi anda ...,” tanya Takahiro-san.
“Ah, tolong maafkan ketidaksopanan saya. Saya wakil kepala Akibara Guild. Karena satu dan dua perihal, saya tidak bisa memberi tahu nama saya, jadi panggil saja saya dengan nama Roku. Hajimemashite.” Axel memberi hormat singkat.
“Hajimemashite, Roku-san. Watashi Yuuma Takahiro desu.” Takahiro-san juga berbuat demikian.
“Sebelumnya aku berharap Anda jangan panik dulu, Takahiro-san. Putra Anda sedang tertimpa masalah yang rumit.”
“M-masalah?” Mata Takahiro-san kembali menoleh ke putranya. “Apa yang terjadi?”
“Ada iblis yang menjalin kontak dengan Hiroto beberapa hari lalu, dan sekarang iblis itu entah kenapa ada di dalam tubuhnya.” tambah Axel.
Ayahnya Hiroto bergeming, matanya masih menatap kosong ke Axel. Siswa yang melihat Ayahnya begitu seketika merasa perih.
“Benarkah itu, Hiro?” tanya Ayahnya.
Manik laki-laki bersurai hitam itu goyah. Sambil menggigit bibir, dia mengangguk. “Maaf, Ayah. Aku semakin menyusahkanmu.”
“Sebenarnya iblis dalam diri Hiroto sudah memberontak kemarin siang di sekolahnya, tapi baru semalam dia benar-benar menampakkan diri pada pemburu kami,” susul Axel.
Takahiro-san menaruh tangan ke atas tangan anaknya yang terkepal di pangkuan. “Hiroto, apa itu benar?”
Putranya masih menunduk, tak berani mengangkat kepala menatap ke sang Ayah. “Maaf, maaf Ayah. Aku—“
Hiroto mengira Ayahnya bakal menangis kecewa, tapi pria itu memeluknya erat, lalu berkata dengan mantap, “Bukan salahmu, Hiroto. Mungkin ini yang sudah tersurat dan harus terjadi.”
Sudah tak bisa ditahan lagi air mata laki-laki itu. Dia sudah berniat tuk tegar, tapi melihat Ayahnya mendengar kondisinya saat ini begitu menyayat dan pilu.
Tepukan ringan di punggung Hiroto terasa seperti penyemangat. “Aku tidak marah padamu, Hiroto,” lanjutnya.
“Tapi membuatmu kesusahan ...,” lirih Hiroto.
“Itu tidak benar. Kau putraku, aku tak pernah merasa terbebani.”
Kazan memalingkan wajah, tak mau melihat keharuan itu karena alasan tersembunyi.
“Kami akan berusaha melakukan apa pun untuk menyelamatkan Hiroto, Takahiro-san. Maka dari itu, kami meminta persetujuanmu untuk membawanya ke Markas Akibara,” kata Axel.
Pria itu menarik senyum, menjauhkan pelukan, mengusap helaian rambut putranya. “Saya serahkan keputusan itu pada Hiroto sendiri karena saya paham kalau dia tidak suka dipaksakan.”
‘Ooh, inikah yang dinamakan interaksi antara anak dan ‘orang tua’?’
Suara dalam kepala yang melintas itu langsung membuat Hiroto tegang. Dia refleks menepis tangan Ayahnya karena takut tubuhnya mulai diambil alih lagi dan menyakiti pria itu.
“Hiro?” ujar Ayahnya bingung.
Axel memperhatikan raut was-was laki-laki itu. Manik hijau pudarnya menoleh ke Kazan, melihatnya seketika bergerak pelan tuk menyiapkan jimat yang tergulung di lengan.
“Kau baik-baik saja?” lanjut Takahiro-san.
“Aku ... aku mau. Aku ingin segalanya segera kembali normal, Ayah,” ujar Hiroto, mencoba tak memikirkan suara seseorang yang bergaung tadi.
Ayahnya tersenyum. “Ayah juga, Hiro.”
Axel ikut menarik senyum tipis. “Kalau begitu, aku akan membawa Hiroto sebentar tuk membicarakan lagi soal ini. Nanti, Kazan-kun akan mengantarnya pulang,” ujar pria berusia tiga puluhan itu sambil bangkit dari duduk.
Takahiro-san ikut bangkit. “Silakan, Roku-san.”
Begitu mereka kembali ke mobil, Axel membuka suara. “Apa tadi dia hendak muncul lagi?”
Hiroto mengangguk pelan, kembali menunduk.
“Sulit ditebak, ya. Aku akan meminta salah seorang pemburu untuk berpatroli di sini semisal iblis itu hendak mencari gara-gara dengan keluargamu.”
“Terima kasih banyak, Axel-sama.” Hiroto menatap pria bersurai hitam panjang itu. “Kalau bukan Anda yang bilang ....”
“Melihat Ayahmu secara langsung entah kenapa membuatku terluka juga, membayangkan putranya terkena musibah seaneh ini.” Axel menoleh, menatap siswa itu dari pundaknya. “Lagi pula, aku juga seorang Ayah,” katanya yang kemudian menatap ke Kazan.
Kazan tak menyadari tatapan itu karena sibuk menscroll layar ponsel. Hiroto yang melihat itu mengulas senyum.
“Aku dan pemburu lain akan berusaha mencari cara agar masalah ini tidak berlarut-larut, Hiroto-kun. Aku akan terus menghubungi Ayahmu jika ada perkembangan bagus agar dia tidak terlalu khawatir.”
Hiroto merasa sangat bersyukur. “Mohon bantuannya, Axel-sama.”
“Mumpung masih di daerah sini, aku ingin mampir ke toko Jii-chan sebentar,” kata Axel yang memasang sabuk pengaman. “Setelah itu, kita kembali ke markas dan membicarakan banyak hal.”
Mobil kembali melaju, supir membawa mereka ke area yang tak jauh dari rumah Hiroto, berhenti di toko senjata yang sangat siswa itu kenal.
Axel melepas sabuk pengaman, turun dari mobil bersama Kazan. “Loh, Hiro-kun tidak mau turun?” tanya pria bersurai panjang itu.
Hiroto menggeleng cepat. “Ini toko milik Kakekku dan aku tak mau melihatnya sekarang.”
Axel bergeming. “Eeeeh? Bohong! Seriuuus?”
“Kau cucu Takama-sensei?” ujar Kazan yang juga kaget.
“Umm, k-kenapa?” balas Hiroto selagi melirik waspada ke pintu toko dengan bangunan rumah kayu tradisional bertembok merah.
“Tidak mirip,” balas Kazan dan Axel bersamaan.
“Memang. Aku juga malas dibilang mirip dengan Kakek menyebalkan itu. Ngomong-ngomong, kenapa Axel-sama ke sini? Setauku pemburu tidak memakai senjata.”
“Bagaimana kalau kita masuk dan meminta penjelasan pada Kakekmu saja?”
“Enggak! Aku membencinya,” tegas Hiroto.
“Ya, tidak heran, sih. Jiichan itu orangnya keras soalnya. Ya sudah, Hiro-kun dan Zan tunggu di sini, ya.”
“Tapi aku juga ingin bertemu sensei—“
“Dan membiarkan Hiroto sendiri tanpa pengawasan di sini?” potong Axel. Kazan menatap jengkel ke Hiroto.
Kepala Akibara itu menepuk pelan puncak kepala Kazan. “Lain kali, oke?”
“Cih.”
Axel masuk ke toko sambil memanggil Kakek Hiroto. “Hey, kau dekat dengan Kakekku?” tanya laki-laki bersurai hitam tersisir ke belakang itu, bicara dari celah pintu mobil yang agak terbuka.
“Dari pada itu, Aku heran kenapa kau—cucu dari Sensei—sepayah ini. Sudah diserang iblis, dirasuki juga.”
Hiroto memicing. “Hah?”
Kazan menghela napas. “Lupakan. Aku malas meladenimu.”
Kalau begitu, kenapa kau tidak bilang saja ke Kakek menjengkelkan itu mengadopsimu sebagai cucu dan menggantikanku? Aku bakal sangat senang, batin siswa itu.