Saat Hiroto menaiki tangga beton, dia mendapati banyak jimat kertas tertempel di tembok, dengan berbagai mantra, agar jika ada iblis yang lepas di bawah, mereka tak bisa ke atas.
Ketiga orang itu sampai di ujung puncak tangga, menapak lantai kayu markas Akibara Guild yang bertema rumah tradisional, berjalan di lorong yang bersisian dengan tembok kertas berwarna merah bata berhias lukisan bunga lonceng putih.
Ketika menuju tangga yang terdapat di belakang ruangan pribadi Axel, mereka bertiga bertemu dengan gadis bersurai hitam lurus sepundak dengan poni menutupi alis. Manik latte gadis itu membulat ngeri mendapati Hiroto. Refleks, dia menunduk hormat ke Axel dengan singkat lalu berlalu pergi.
Mereka sampai di lantai dua markas yang seperempat luasnya lebih kecil dari lantai bawah, seluruh ruangan yang ada di sini adalah ruangan milik Axel, mulai dari kamar mandi, kamar, bilik kecil, dan ruangan lain untuk dipakai saat salah seorang keluarga Akibara Axel datang berkunjung.
“Ini kamar mandinya. Nanti Kazan akan mengantarkan baju ganti, setelah itu baru kita bicara lagi di bilik sebelah sana,” kata Axel menunjuk pintu geser dengan kertas warna cream berpola garis segi enam yang tampak seperti sarang lebah.
“Tidak apa-apa kita tidak mengawasinya di dalam?” tanya Kazan, masih mewaspadai Hiroto.
“Aku rasa baik-baik saja,” balas Axel.
“Aku rasa?” tukas Kazan ke bosnya.
Axel menepuk punggung cowok bersurau amethyst itu. “Tenaaang, tenang, kalau ada aku semuanya terkendali, ya kaaan?”
Kazan jelas tak bisa mempercayainya karena kejadian semalam tidak akan ada kalau bosnya itu tidak melepas Hiroto.
“Aku akan berjaga di sini.” Kazan bergeser, berdiri di tembok di sebelah pintu masuk kamar mandi.
“Ya sudah. Aku akan bawakan baju gantinya,” kata Axel yang kemudian pergi ke ruangannya.
Sebelum Hiroto masuk, Kazan menegur. “Oi.”
Hiroto menoleh. “Jangan cari gara-gara dan mandi saja,” tekan Kazan dengan suara mengancam.
Cowok bersurai hitam itu masuk, menutup pintu, lalu menghela napas. Tengkuknya merinding. “Dia lebih seram dari Axel-sama.”
•••••
Siswa enam belas tahun itu menatap dirinya sendiri di cermin yang Axel sodorkan. Dia menarik kedua ujung bibir, masih tak percaya kalau gigi yang semula normal-normal saja kini semuanya berujung tajam, seperti gigi hiu. Bahkan telinganya juga agak runcing. Selebihnya tidak ada perubahan yang signifikan.
Axel terkekeh, “Mau kau lihat berapa kali pun itu benar-benar gigimu, Hiro-kun.”
“T-tapi-tapi—“
“Ya, itu aneh. Manusia tidak bisa mengubah bentuk giginya tiba-tiba, kecuali dengan alat. Begitu juga dengan telingamu. Wah, wah, Hiro-kun, sekarang keanehanmu meningkat,” lontar Axel yang bermaksud memuji tapi Hiroto mendengarnya sebagai ucapan sarkastik.
Kazan yang tadi keluar sebentar untuk membeli makanan, masuk ke bilik tempat Axel biasa bicara dengan pemburu yang ingin membahas hal-hal bersifat rahasia.
Bilik itu tidak luas, sekitar 2.5×2.5 meter. Berisi meja dengan empat bantal duduk. Tidak ada perabotan lain, tapi ada pintu geser yang mengarah ke beranda luar jika ingin melihat-lihat bangunan tinggi di sebelah markas.
“Ini,” kata Kazan menaruh tiga bentou yang dia beli dari restoran. Alisnya menukik ke bawah melihat baju yang dipakai Hiroto. “Itu ....”
“Bajumu dan jaket berlambang markas kita. Bagaimana? Dia terlihat seperti salah satu pemburu di sini, kan?” kata Axel.
Baju yang dimaksud adalah baju crop ketat hitam tanpa lengan yang biasa Kazan pakai dibalik jaket ungunya, dipadukan dengan jaket Anorak hitam berlambang bunga lonceng besar di punggung, berwarna perak mengilap yang panjangnya sampai selutut siswa itu. Sayang tidak ada celana yang pas untuk laki-laki bertubuh pendek itu di sini, jadi dia masih memakai celana tidurnya.
“Kau tidak malu memakai baju yang terbuka begini, ya?” kata Hiroto sambil merapatkan jaket karena bagian perutnya terpampang.
“Urusi urusanmu,” tukas Kazan, duduk di sebelah Axel.
“Makanlah, Hiroto-kun. Aku akan memberitahumu apa yang sudah kami amati tadi malam,” tutur Axel.
• 8 Mei, 11.46 Malam •
Setelah Chiyo dan Kazan runtuh di aspal, Hiroto langsung melompati tembok pagar rumahnya, lompat ke atap, dan mulai berlari ke bangunan tertinggi di sana, yaitu ruko lantai lima. Dia memanjat bangunan itu dengan meraih birai beranda dan melompatinya sampai ke atap datar bagunan.
“Hmm, Yokohama ...,” gumamnya sembari menutup mata merasakan energi negatif paling kuat dibumi, yaitu lubang yang menjadi jalan masuk iblis ke permukaan, gerbang iblis Yokohama.
Matanya terbuka langsung menoleh ke kiri. “Ah, di sana. Mari kulihat apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan dengan tubuh ini,” tuturnya dengan bahasa Jepang klasik.
Dengan sendal kayu tradisional, dia menundukkan badan, menekuk sebelah kaki, lalu energi yang ditumpuk meledak membuat lompatannya tinggi dan jauh sekaligus membuat retak atap bangunan.
Ketika mendarat di jalan pun lagi-lagi dia membuat kerusakan. Tak berhenti, setelah menapak, dia langsung berlari secepat mungkin mengetes kemampuan yang bisa dia lakukan di tubuh manusia.
Namun, belum sempat berlari lebih jauh, suatu nada tinggi dari alat musik terdengar dari arah kiri, kemudian udara dari arah sana membentuk panah transparan yang hampir mengenai Hiroto kalau siswa itu tidak meraih tiang lampu jalan dan melompat ke atasnya
Laki-laki dengan surai hitam yang disisir ke belakang itu menatap sinis siapa yang mengganggu perjalanannya. “Cih, pemburu-pemburu itu tidak ada habisnya ....”
Tepat di belakang bangunan dua lantai yang ada di hadapan, ada ruko empat lantai. Di atap ruko itu ada seorang pemburu.
Seorang pria dengan paras berumur tiga puluhan sedang duduk bersila dengan bulan purnama yang terlihat bersinar tepat di belakangnya. Dia memangku Koto—Alat musik petik dengan tiga belas senar, badannya berbentuk persegi panjang, terbuat dari kayu. Pria itu bersurai pirang pucat berantakan, poni depannya panjang menutupi mata. Fisiknya tidak begitu berotot dan lebih tinggi dari Hiroto.
Dia memakai singlet pria, celana panjang hitam biasa dan kimono hitam bercorak kupu-kupu warna orange-merah yang dibiarkan tak dikenakan dengan tali seperti jaket.
Hiroto berdiri, tetap seimbang dengan sendal kayunya yang menapak di kepala lampu jalan. Dia menatap tembok bangunan di belakangnya yang terkena serangan nada barusan. Temboknya retak seperti baru saja terkena lemparan bola meriam.
Siswa yang dirasuki itu tertawa singkat. “Berhenti mengganggu, makhluk fana!” bentaknya sambil melotot.
Hiroto melompat ke atap bangunan di depannya, meluncur ke arah pria pirang di atap bangunan lantai empat. Dia kembali mengubah tangannya menjadi cakar elang dan siap menerkam.
Pria berponi panjang itu kembali memetik senar koto dengan alat petik—disebut Tsume—yang dipasang di ibu jari, jari telunjuk dan tengah. Kali ini dua nada tinggi lalu dua nada rendah.
Bentuk serangannya sama seperti tadi, panah angin, berjumlah dua. Hiroto mencoba menangkis dengan mengibaskan udara ke samping ketika panah itu berada di jarak dekat, dia pikir panahnya bakal berbelok arah, tapi tidak. Panah angin itu mengenai tangannya yang menjadi cakar elang, membuat jari manis dan jari telunjuknya tertebas, sedangkan satu lagi menggores paha luar sebelah kiri.
Merasakan sakit, iblis yang merasuki tubuh anak SMA itu mendarat di tepi atap tempat si pemburu berada sambil meringis, lalu segera melompat ke belakang ketika pemburu yang menghadapinya kembali menyerang, tak memberi jeda.
Dia mendarat di atap lantai dua di depan ruko empat lantai. Dengan setengah berdiri, iblis itu menatap jemari tangan kanannya. “Kehilangan jari sampai sesakit ini? Mattaku (Dasar) ... aku lega sekaligus kesal mengetahui tubuh manusia begitu rapuh,” ocehnya.
Walaupun begitu, jemari yang tertebas mengeluarkan susunan tulang jemari baru, yang kemudian berbalut daging, otot, urat, darah, dan kulit. Dalam lima detik langsung kembali tumbuh seperti semula, tanpa bekas luka. “Ma, untung saja aku bukan manusia biasa.”
Pria berkimono hitam itu kembali memetik senar koto, lima senar dengan nada rendah. Hiroto langsung melompat, berpikir kalau serangan angin tadi kembali datang. “Akan kulenyapkan kau sekarang!” tekan iblis itu sambil melompat kembali ke atap bangunan lantai empat.
Sayangnya itu tidak terjadi. Tanpa Hiroto sadari, ada gambar lingkaran hitam dengan empat buah ofuda yang dipasang sesuai arah mata angin di atap yang hendak dia lewati. Lingkaran hitam itu menyala, bersinar kehijauan, mengeluarkan rantai, mengikat tangan, badan dan kakinya di udara, lalu segera menarik laki-laki itu sampai membentur atap.
Hiroto meringis selagi berusaha mengangkat kepalanya. “Lingkaran ini—“
“Axel-sama, target sudah ditangkap,” ucap pria itu sambil menekan tombol pada wireless earphone di telinga.
“Sebentar lagi aku sampai. Jangan lengah, ya, Yugi-kun,” balas Axel dari seberang.
“Hai’ (baik).”
“Nah, setelah kau tertangkap dan dibawa ke gudang kutukan, kau mengamuk, memukul segalanya di dalam sana. Aku sempat mewawancarai dia, tapi dia tak menjawab apa pun,” kata Axel sama, mengakhiri penuturannya soal kejadian semalam.
Hiroto mengerjap, nasi yang dia jepit dengan sumpit sudah jatuh sejak tadi ke meja dan dia masih berusaha mencerna perkataan Axel.
Pria dengan surai hitam panjang itu menepuk tangannya di depan wajah Hiroto. “Hai’, jangan melamun begitu.”
“Shitsurei shimashita (Aku sangat menyesali perbuatanku itu) ...,” katanya yang langsung murung.