•Scare The Hell Out Of Me•

1486 Kata
“Zaaan, ayolah, dia bukan hewan,” balas bosnya dengan nada bercanda. “Tolong anggap serius masalah ini!” tekan Kazan. “Memang. Aku melepasnya agar bisa mengamatinya lagi dari jarak yang tidak dia hiraukan.” Axel menyesap teh hijau dari gelas tradisional Jepang yang terbuat dari tanah liat. “Sepertinya orang itu mulai mewaspadai keberadaan kita jadi pengamatan jarak dekat tidak bagus.” “Orang itu maksudnya kepribadiannya yang lain?” Pria dengan surai panjang itu menghela napas bingung. “Aaaaa, gimana, ya? Itu jelas bukan kepribadian lain, tapi tidak mungkin dia masih hidup kalau kerasukan ....” “Soal kerasukan, beberapa hari lalu aku menyelamatkannya dari Iblis. Untungnya dia hanya ditarik ke dalam lubang dan dahinya terluka karena terbentur batu. Sepertinya iblis tidak sempat menyantapnya saat itu,” jelas Kazan. “Kalau begitu kenapa eksistensinya terasa sangat ganjil? Kau merasakannya juga, Kan, Zan?” lontar Axel. Laki-laki bermanik violet itu mengangguk. “Rasanya sama seperti berada di dekat iblis kuat.” “Aku sudah menugaskan Chi-chan untuk mengawasi Hiroto. Nanti kau dan dia akan bergantian selagi tidak ada kasus.” Kazan tak setuju mendengarnya. “Dia tidak becus. Biar aku saja.” “Kazan-kun, bukankah aku sudah bilang, semua orang memiliki keistimewaan masing-masing. Chi-chan tidak begitu menguasai semua teknik pemburu, tapi dia masih dalam usia perkembangan. Tidak semua orang seberuntung dirimu,” tegur kepala Akibara dengan nada kebapakan. Beruntung, kata itu sangat tidak cocok untuk Kazan. Laki-laki itu menatap gusar bosnya. “Di mana dia sekarang?” “Sedang dalam perjalanan ke area sekitar rumah Hiroto-kun.” Setelah memberi hormat, Kazan pergi. Axel menghempas napas berat. “Aku menyakitinya lagi dengan ucapanku,” gumamnya. Di waktu yang bersamaan, Chi-chan menatap lamat-lamat foto Yuuma Hiroto di sebuah atap apartemen lantai dua. Foto hasil potret Kazan setelah memergoki siswa itu memakai teknik bahasa mati ke siswa lain. Dikirim oleh Axel-sama. Manik cokelat lattenya mengerjap berkali-kali. “Uwah, siapa dia?” tuturnya bingung. ••••• Malam sudah terlalu larut. Suara hewan nokturnal beberapa kali terdengar, untungnya tidak seramai di pedesaan sampai membuat orang susah tidur. Makhluk nokturnal lain juga aktif walau tidak mengeluarkan suara—iblis. Mata Hiroto kembali terbuka. Dia langsung bangun, turun dari tempat tidur. Maniknya menatap pantulan diri di cermin, melihat laki-laki yang tidak begitu tinggi, tidak kekar, tidak juga terlihat kuat dari sana. Iblis yang mengambil alih lagi mendecak tak puas. “Kenapa dia kurus sekali? Terlihat lemah dan tidak berdaya.” Kemudian dia bergidik tak peduli. “Aku akan membentuk badannya mati-matian.” Masih dengan piama lengan pendek, celana panjang motif gelap kotak-kotak abu-abu, Iblis dalam tubuh siswa itu membuka pintu. Seluruh ruangan sudah gelap, Ayah dari pemilik badan juga terlelap. Tak ada yang— “Oh, Hiroto. Kenapa? Bangun tidur karena haus?” tanya si Kakek yang terbangun karena suara pintu kamar Hiroto. Si iblis menatap sebentar, tak peduli, kembali melanjutkan langkah ke luar rumah. “Oi, sudah malam. Jangan keluar rumah!” Hiroto berbalik, kemudian memicing. “Tidur.” Si Kakek runtuh. Iblis kembali melanjutkan langkah. Dia melihat jejeran sendal dan sepatu  rak plastik setinggi lutut di sebelah pintu, meraih sendal kayu tradisional milik si Kakek yang ukurannya sedikit kekecilan dan melangkah ke luar rumah. Dia menghirup aroma udara malam yang sejuk, kembali menarik senyum. “Andai permukaan selalu malam, aku bakal makin mencintai tempat ini.” Manik gelapnya menyisir area taman Tsurumaki yang ada tepat di depan, mendapati beberapa iblis yang berdiri menatap ke arahnya. Dua di antaranya berjalan dengan cara masing-masing dan mendekat. Hiroto agak mengangkat dagu dan menatap iblis-iblis cecunguk itu. “Berani sekali kalian memandangku seperti santapan.” Laki-laki bersurai hitam itu menaklukkan mereka segera. “Diam.” Mereka semua membeku di tempat. Iblis dalam diri Hiroto mengangguk puas. “Yoi (oke), Aku lebih kuat, tapi kenapa Shigo dia bisa menaklukkanku? Jangan bilang kalau teknik bahasa mati miliknya lebih mutlak?” Dia mendengus sarkas mengingat Axel tadi siang. “Manusia lebih unggul dariku, begitu?” Tiba-tiba ofuda panjang datang menggulung laki-laki itu dengan cepat dari pundak sampai pinggang. Tak lama, suara instrumen suling terdengar, tapi nadanya masih kaku jadi tidak efektif. Itu perbuatan Hiroto dan Chiyo yang sudah mengamati dari tadi di atap rumah Hiroto. Mereka langsung memanfaatkan kesempatan. Iblis Hiroto tersenyum lebar memamerkan gigi. “Ini sudah ketiga kalinya aku dibuat macam gulungan perkamen dan aku sudah MUAK!” “Berikan sulingnya!” perintah Hiroto ke Chiyo. “I-ini!” Tangan kirinya menahan kedua ofuda, sedangkan tangan kanannya memegang seruling dan agak menggigit alat musik itu agar jemarinya bisa leluasa berpindah menutupi lubang udara, menghasilkan nada yang bisa mengekang pergerakan iblis. Namun, mereka tak tau. Hiroto bukan iblis, walau dia memilikinya di dalam. Jadi, nada pengekang tidak bisa bekerja, jimat pengikat menjadi tali biasa, tidak benar-benar mengunci Hiroto. Siswa itu berlari mendekat ke Hiroto dengan cepat, lalu menubrukkan kepalanya ke kepala laki-laki bersurai Amethyst dengan kencang. Kazan terjungkal ke belakang, ikatannya melonggar, mempersilakan Hiroto untuk lepas. Sebelum Kazan berhasil bangkit, Hiroto mengirim tendangan dari samping, mengenai sisi kiri kepala dan membuat cowok itu terlempar, tersungkur ke dinginnya aspal. Chiyo menatap ngeri Hiroto, dia mengeluarkan pisau bertarung sebagai alat pertahanan diri terakhir. Laki-laki dengan surai hitam yang disisir ke belakang itu mendekat, memajukan kepala, menatap gadis bermanik latte itu lekat. “Kau manis, tapi aku tak bisa meluangkan waktu sekarang. Jadi, maaf, ya,” katanya dengan ramah dan manis, lalu mengatakan kalimat shigo, “tidur.” ••••• Hiroto membuka matanya, mengaduh merasakan sakit nyaris di seluruh tubuh, terutama di lengan. Baru hendak bangkit, dia menatap bingung dirinya yang berada di sebuah ruangan kosong sebesar ruang kelasnya. Tidur di lantai tanpa alas atau selimut, bahkan piama tidurnya sangat berdebu dan ada yang robek. Ruangan itu tak dicat, menunjukkan warna abu-abu beton. Ada tiga lampu yang dipasang membentuk segitiga di atas, tapi salah satunya pecah entah karena apa. Tembok dan langit-langitnya remuk, rusak dan retak, dihias beberapa bercak darah. Dia langsung bangun, meringis sakit pada punggung tangan. Diliriknya luka di kulit tempat jari dan pergelangan tangannya terhubung—tulang metakarpal. Lukanya seperti dia baru saja memukul tembok dan langit-langit ruangan itu berkali-kali. Saat dia berdiri, laki-laki itu merasa nyeri di bagian kaki dan punggung. “Jangan bilang kalau itu terjadi lagi?” gumamnya takut. Mendadak tembok di belakangnya bergetar, terbelah menjadi dua dan terbuka seperti pintu. Akibara Axel melenggang masuk, hari ini dia masih memakai pakaian tradisional namun dengan celana longgar hitam dan pakaian atas yang mirip perisai badan para samurai jaman dulu. Rambut hitam berujung abu-abunya juga diikat. “Hai lagi, Hiroto-kun,” sapanya dengan suara ramah, berdiri sejauh dua meter dari Hiroto. Hiroto menunduk hormat singkat, “Konnichiwa (Halo),  Axel-sama.” “Kau tidak memanggilku Akibara-san lagi?” Laki-laki itu gugup. “Aku rasa tidak baik memanggilmu begitu ....” “Tidak apa. Khusus untuk Hiroto-kun, kau boleh memanggilku senyamanmu.” Manik hitam siswa itu menyiratkan perasaan tak nyaman, tapi dia mengangguk. “Apa kau sadar kenapa kau ada di sini?” “Tidak, tapi ini pasti sama seperti kemarin. Kesadaranku direnggut lagi, oleh ... seseorang,” katanya yang bingung menjelaskannya. Axel tersenyum tipis. “Kau ingat kejadian sebelumnya?” Hiroto menggeleng pelan, dia tidak ingat tapi dia merasa sudah melakukan hal yang lebih buruk dari pada apa yang sudah terjadi sebelumnya. “Apa yang sudah kulakukan?” “Ceritanya panjang. Berhubung kau sudah tenang, lebih baik kita keluar dari sini. Kau harus membersihkan diri dan merawat luka itu lebih dulu.” Hiroto dan kepala Akibara keluar dari ruangan beton itu. “Oh iya, kita ada di gudang kutukan Akibara yang ada di bawah tanah,” kata pria dengan surai panjang itu. “Gudang kutukan?” “Di dalam pintu-pintu yang kita lewati sekarang ini, ada banyak sekali guci bersegel, berisi banyak iblis yang kami kurung dari awal berdirinya Akibara Guild. Iblis tak bisa lenyap seutuhnya, kau sudah mempelajari itu di sekolah, kan?” Hiroto mengangguk selagi langkah mereka berdua bergaung di lorong bawah tanah itu. “Iblis dari dua ratus tahun yang lalu juga?” tanya Hiroto penasaran. “Hmmm, mereka sebagian besar sudah direlokasi ke Yokohama karena saat itu belum ada segel kuat yang bisa menahannya,” tuturnya dengan nada akrab. Mendadak Axel meraih kedua tangan siswa itu, melihat lukanya yang mulai pulih. “Ini—“ “Axel-sama.” Suara langkah kaki yang cepat terdengar meramaikan lorong, disusul sosok Kazan yang sampai di ujung tangga dan langsung menghampiri mereka. “Zan, lihat, lukanya sudah hendak sembuh!” kata Axel sambil meraih lengan Hiroto dan menunjukkan luka di punggung tangannya yang sudah berhenti mengeluarkan darah. Kazan semakin terlihat dengki pada Hiroto. “Kalau dia sampai bisa beregenerasi begitu, saya rasa kita harus mengeksekusinya segera, Axel-sama.” Siswa bersurai hitam itu melotot. “Eksekusi—“ “Hussusuuut! Kau melukai hatinya, Zan. Jangan begitu,” lontar Axel sambil menaruh telunjuk di bibir Kazan. “Tak perlu memikirkan itu, Hiro-kun, bahasa anak ini memang agak unik.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN