•Shut The Door•

1561 Kata
Kembali ke rumah merah markas Akibara, Axel membawa masuk Hiroto ke ruangannya di lantai satu. Begitu pintu digeser, laki-laki bermanik hitam itu membelalak, menatap banyak orang yang duduk di sepanjang meja rendah yang beralaskan bantal. Hiroto menatap gelisah ke Axel, meminta penjelasan. “Oh, karena mulai sekarang kau bakal sering berada di sini, jadi kupikir alangkah baiknya kalau kau mengenal pemburu-pemburu Akibara,” jelas Axel, masih dengan nada suara yang bersahabat. Siswa itu tak berani melangkah masuk sendiri, jadi Axel menggandeng tangannya dan memaksanya tuk duduk di bantal sebelahnya. Mendapati banyak pasang mata memperhatikannya, Hiroto duduk sambil menunduk lagi. “Hey, menunduk terus nanti lehermu sakit,” tegur Axel. “Aku mau begini,” cicit laki-laki itu. “Tapi kau harus memperkenalkan diri.” Axel-sama ternyata orangnya jahil, rengut Hiroto. Matanya bergerak melirik pemburu yang duduk paling dekat dari barisan sisi kiri. Dia laki-laki bersurai pirang terang yang menutupi mata. “Doumo (Halo),” sapanya dengan suara terkesan seperti danau yang tenang. Hiroto memberi hormat singkat. “H-hajimemashite (Salam kenal) ....” “Dakara, kenalannya sekalian ke banyak orang, dong,” ujar Axel yang bawel. Siswa itu memberanikan diri mengangkat wajah, menghadap lurus ke depan, tapi kedua matanya tertutup. “E-etto ... Hajimemashite, minna-san (Salam kenal, semuanya). Aku Yuuma Hiroto. Salam kenal ....” Tak terdengar tanggapan atau respons apa pun. “Kenapa kalian diam?” tanya Axel. “Apa yang barusan bicara sisi manusianya atau sisi iblisnya?” tanya seorang pemburu pria dengan surai hitam lurus yang menatap Hiroto dengan mata malas. “Kami keberatan kalau Anda duduk begitu dekat dengannya, Axel-sama,” lontar pemburu wanita dengan surai biru gelap yang disanggul di bawah. Tentu saja mereka tidak menyambutku dengan hangat. Ada iblis dalam diriku, murung Hiroto yang menatap meja di depannya dengan sendu. “Yang ini dirinya yang asli, Yuuma Hiroto. Aku yakin itu,” jelas Axel. “Ayolah, sekarang dia hanya anak SMA biasa, masa kalian bersikap dingin begitu.” Axel menghela napas karena tidak ada yang merespons. “Baiklah, memang butuh waktu dan pengamatan lebih lama untuk masalah ini. Intinya, Hiroto-kun mulai sekarang akan berada di Akibara Guild, di bawah pengawasanku langsung. Suka tidak suka, kalian harus menerima keberadaannya dan merahasiakannya dari media.” “Bagaimana kalau dia sendiri yang membuat kekacauan dan menarik perhatian media?” tanya Kazan. Pria dengan surai panjang itu melirik jengkel ke Kazan. “Zaaan, jangan memperkeruh suasana,” tegur Axel dengan nada kebapakan. “Kami hanya bersikap waspada, Axel-sama. Karena memang begitulah seharusnya,” timpal laki-laki bersurai amethyst yang duduk di sisi kanan bosnya. “Aku mengerti itu. Apa ada yang keberatan?” Axel menyisir satu per satu pemburunya. “Bagus. Kazan, Yugi dan Chiyo tetap di sini. Sisanya silakan kembali ke tugas masing-masing.” Chiyo mengeluh dalam hati, bertanya-tanya kenapa dia tidak diperbolehkan pergi padahal gadia itu takut pada Hiroto. “Kalian bertiga akan mengawasi Hiroto dalam jarak dekat,” ujar Axel. Chi-chan membeku di tempat. Selesai sudah hidupku. “Saya keberatan,” kata Kazan. “Kau tidak punya hak untuk melawan. Ini pekerjaan, Zan. Lagi pula, kau juga harus bertanggung jawab.” “Bertanggung jawab?” ulang Hiroto bingung. “Di hari saat dia mengamatimu bersama Chiyo, harusnya Kazan tidak menyerangmu, kecuali beberapa kondisi. Ada masyarakat sekitar, Hiroto-kun menyerang rumah penduduk, Hiroto-kun menyerang pemburu, atau mengaplikasikan bahasa mati ke penduduk. Namun, semua hal itu tidak terjadi.” Kazan tampak gusar tapi tidak menepis ucapan Axel. “Chi-chan juga sudah memberitahu Kazan, tapi dia tidak mendengar. Dengan kata lain, itu penyelewengan tugas. Neee, Kazan, apa itu sikap seorang pemburu?” lanjut pria itu. Laki-laki bermanik violet itu menukik alis ke bawah. “Bukan,” balasnya singkat dengan nada rendah. “Tapi, Yugi-san juga—“ “Yugi-kun aku perintahkan menyerang begitu aku tau kau dan Chi-chan pingsan lalu Hiroto-kun kabur dari area pengawasan,” sela Axel. Gadis bermanik cokelat latte itu menunduk dalam. “Saya minta maaf, Axel-sama.” “Chi-chan sudah terus meminta maaf dari kemarin, tapi aku tidak mendengar satu maaf pun dari Zan. Hmmm, apa maksudnya ini, heummm?” ledek Axel yang menopang dagunya sambil menatap meledek ke Kazan. Hiroto melirik si kepala Akibara. Axel-sama memang hebat. Kazan yang besar kepala saja sampai tak bisa berkutik. Kazan semakin kesal, bahkan menggertakkan giginya sambil menatap Axel. “Oh iya, Hiroto-kun, ada hal penting lain yang nyaris kulupakan. Karena kau harus diawasi terus, aku rasa ... sekolahmu bakal terganggu. Aku bisa saja membiarkanmu sekolah dengan mendaftarkan Kazan sebagai teman sekelasmu, tapi bakal susah untuk merahasiakan hal tabu ini di tengah banyak murid. Apalagi kalau sampai ada yang menjual informasi soal kau ke media,” tuturnya. “Ah, benar juga.” Hiroto kembali ingat saat iblis dalam dirinya mengambil alih dan menghadapi Takayomi di atap. Tidak ada jaminan kalau hal seperti itu tidak terulang lagi. “Soal itu, silakan kau bicarakan dulu dengan Takahiro-san, baru kita putuskan hal lainnya.” “Aku tidak akan menetap di sini, kan?” tanyanya. “Aku ... tidak mau meninggalkan ayah sendirian.” “Bukankah ada Jiichan?” “Kakek dan Ayah tidak memiliki hubungan yang baik. Dan juga ....” Hiroto ragu mesti menceritakan soal Ibunya yang meninggal dan Kakaknya yang koma. Axel menepuk ringan punggung siswa itu sambil memberikan senyum. “Kalau kita bisa mencari jalan keluarnya secepat mungkin, kau tidak perlu terus-terusan berada di sini.” ••••• “Boleh, kok.” “Eh?” ulang Hiroto. Dia dan Ayahnya sedang berbincang di rumah sambil makan di penghujung sore. Ayahnya mengangguk. “Bukankah bakal bahaya kau bersekolah dalam kondisi sekarang? Lagi pula, Kazan-kun juga tidak bersekolah, jadi kau tidak perlu minder.” “Aku tidak mau disamakan dengannya,” tukas Hiroto seraya menyuap nasi. Setelah apa yang terjadi, tentu makan malam kali ini terasa berat dan kaku. “Loh, kenapa lauknya diliatin? Banyak makannya, Hiroto. Jaga kesehatanmu.” Hiroto tersenyum kaku. “Iya, Yah.” “Besok, setelah melapor ke sekolah, kita jenguk Jun dan bilang padanya soal ini.” “Untuk apa, sih, Ayah. Dia tidak bisa mendengar kita.” “Walaupun begitu, kita tetap mesti menemaninya, kan? Sampai kapan pun itu. Ayah yakin dia akan bangun,” balas Takahiro-san dengan suara sendu. Aku juga. Aku harap dia segera bangun. “Kau sendiri tidak keberatan? Nanti kau bakal jarang menemui Masao dan Eiji loh. Ah, dengan si cantik Hiyori-chan juga,” kata Ayahnya sambil tertawa meledek. Ujung runcing telinga Hiroto memerah. “Apa boleh buat, ya, kan? Maksudku, walau tidak bertemu di sekolah, kita bisa berkumpul dan main di luar.” “Berkumpul? Bukan kencan berdua dengan Hiyori-chan?” “Ayah!” “Ah, nanti kalau bertemu dengan mereka, kau harus meminta maaf.” “Kenapa?” “Mereka ikut membantu mencarimu tadi pagi ke segala tempat, lalu baru berhenti saat Ayah bilang kalau kau sudah pulang.” Hiroto membulatkan mata. Siaaaaal, Masao bakal mengomel panjang lebar! Dumalnya dalam hati “Masao juga menelepon ponselmu berkali-kali dari siang, tapi kau tidak membawanya saat kembali ke markas Akibara tadi.” Hiroto meringis ngeri. Aku bakal dihabisin sama Masao! Kakek baru saja pulang dan langsung duduk di bangku meja makan dengan makanan yang sudah ditata untuknya. Apa Kakek sudah tau soalku? Batin Hiroto ragu. “Hiroto, semalam sendalku yang kau bawa pergi itu ke mana?” oceh si Kakek. “Sendal? Aku tidak memakainya ....” “Benarkah? Berarti apa semalam itu hanya ilusi?” “Kenapa memangnya?” lontar remaja itu sambil menyumpit potongan katsu ayam ke mangkok nasi. “Semalam aku lihat kau memakainya, lalu kabur ke luar.” Hiroto membelalak, jangan bilang kalau Kakek sudah melihatku saat iblis itu mengambil alih? “Haah, padahal itu sendal kesayanganku. Kau harus membelikannya lagi untukku, Hiroto. Aku yakin kau yang menghilangkannya,” protes pria tua itu. Siswa itu menatap julid ke si Kakek. Harusnya tadi aku campur banyak wasabi ke nasinya. Handphone siswa itu yang berada di kamar kembali berdering. Hiroto bangkit dari kursi, masuk ke kamar, melihat nama Hiyori-chan di layar. Awalnya laki-laki itu ragu. “Ini Hiyori-chan, dia tidak akan mengomeliku.” Dia mengangkat panggilan. “Halo?” “Ah, Hiroto-kun? Sudah pulang?” tanya gadis teman se-SMP-nya itu. Hiroto tertawa awkward. “Umm, maaf ya, membuat kalian khawatir.” “Duh, dari mana saja emang kamu?” “Aku—“ “OEY! HIROTOOO!” Hiroto langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Padahal tidak di loudspeaker, tapi suara Masao begitu kencang. Bisa dibayangkan betapa kencangnya kalau di dengar langsung. Siswa itu mengusap telinganya yang berdenging, lalu berbicara dengan takut. “Y-ya?” “Kau ini! Dasar—Arrrg! Saking kesalnya aku jadi tidak tau mau bicara apa!” “Aku sangat minta maaf, Masao-san,” kata Hiroto dengan sopan. “Kutolak.” “Eeeh?” rajuk Hiroto. “Hiro?” Kali ini Eiji yang bicara. “Ou, Eiji.” “Kau baik-baik saja, kan?” “Umm, aku baik-baik saja, kok.” “Bagus kalau begitu. E-hey, tunggu, Masao—“ “Senin kau sekolah, kan? Aku harap penjelasanmu masuk akal, Hiro-san. Sampai jumpa besok,” balas Masao dengan nada menyeramkan lalu menutup telepon. Hiroto tersenyum tipis, menarik napas dalam-dalam. “Mari doakan yang terbaik untuk esok,” gumamnya pasrah. “Hmm?” Manik hitamnya menatap chat masuk dari nomor yang tidak dikenal. ‘Hiro-kun, Ini Axel jangan beritau siapa pun kecuali keluargamu soal masalah ini, ya.’ Hiroto membalas. ‘Baik, Axel-sama. Selamat malam.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN