Axel yang menerima pesan itu terkekeh. “Selamat malam, yaaa?”
“Kenapa?” tanya wanita bersurai hitam bergelombang dengan setelan jas dan celana panjang. Dia duduk di sebelah kanan Axel sambil membaca lembaran kertas yang dijepit di papan.
“Tidak. Apa itu data yang aku minta?” tanya Axel yang beralih ke lembar dokumen.
Wanita itu menggeser papan jepit ke arah Axel. “Ya, semua informasi terkait Yuuma Hiroto. Tidak banyak.”
“Ohooo, hebatnya, Kepala Inspektur Sakurai.”
“Kau tidak boleh membawanya. Baca dan selesaikan di sini.”
“Eeeh, pelit.”
“Dokumen informasi penduduk harusnya tak boleh ditunjukkan ke siapa pun. Baik itu kau, Akibara,” tekan Sakurai. “Tapi, karena kau bilang dia salah satu ancaman negara, aku jadi nekat mencetaknya. Haaah, sekarang beri tau aku, kenapa anak SMA tanpa catatan kriminal ini bisa jadi ancaman negara?”
Mereka saling menatap. Sakurai menunggu jawaban pria berusia tiga puluhan itu.
“Untuk sekarang aku belum bisa bilang,” ucap Axel sembari membaca lembaran kedua.
“Apa?” gusar Sakurai.
“Beluuum! Nanti, saat aku sudah yakin, aku akan langsung melaporkannya ....” Axel terdiam membaca penjelasan soal keluarga Hiroto. “Ibunya sudah wafat. Kakaknya kecelakaan dan masih di rumah sakit sampai sekarang? Mattaku, Hiro-kun, kenapa kau tidak bilang padaku soal ini.”
Di tengah malam, iblis di dalam Hiroto kembali bangun. Dia duduk di tepi kasur, lalu mendecak. “Rencanaku tidak ada yang berjalan.”
Dia menatap ke sebelah kanan, tempat cermin yang terpasang di pintu lemari menampakkan pantulan dirinya.
“Semakin memahami manusia, semakin jelas kalau tujuanku bakal sulit digapai. Untuk sementara, aku akan beralih dari melenyapkan Akibara ke tujuan lain.”
Hiroto berdiri mendekati jendela, menarik tirai, lalu membukanya, berniat ingin kabur lagi. Tiba-tiba, Yugi langsung menyembulkan kepala dari atas tepi atap, menampakkan manik orange cerah yang selama ini bersembunyi di balik rambut depannya. Mereka saling bertukar tatap dalam keheningan malam.
Hiroto menarik napas dalam-dalam. “Aku berharap tidak bertemu denganmu, bocah tengik.”
“Sore wa zannen desu ne (sayang sekali, ya),” balas Yugi dengan nada mengejek.
Suara suling terdengar merdu dan indah di tengah malam, tapi iblis itu jelas tidak menikmatinya. “Itu tidak mempan padaku. Harusnya kalian sudah tau,” katanya, mulai mengubah tangan, hendak menyerang.
Nyanyian suling berhenti. Lalu suara wanita yang terkesan berwibawa terdengar. “Kalau begitu ....”
Kali ini nyanyian sulingnya bertempo lebih lambat. Tubuh Hiroto melemas. “Apa ... ini?” gumamnya sebelum jatuh tidak sadarkan diri.
Yugi mengangkat kepala, menoleh ke belakangnya. “Dia belum menyerang, Magine-san.”
Ada wanita bersurai biru gelap disanggul yang berusia lebih muda darinya di sana, duduk di tempat tertinggi di atap, dengan langit malam berawan yang menutupi bulan di belakang. Dia menjauhkan suling dari bibir, matanya menatap tenang, tak menunjukkan perubahan emosi. “Tapi dia hendak kabur, jadi sama saja.”
“Kau juga takut padanya?”
“Memangnya kau tidak, Yugi-san?”
“Masaka (No way).” Yugi menyisir rambut depannya ke belakang, memperlihatkan tatapan penuh percaya diri sambil tersenyum. “Aku justru sangat ingin menghabisi iblisnya Hiroto.”
Di dalam raga, Hiroto membuka mata begitu mendengar suara seruling. “Indah sekali,” gumamnya merasa nyaman mendengar lantunan itu.
Saat dia berbalik, dia melihat cahaya yang terhalang sebuah kursi berpunggung tinggi membelakanginya. Hiroto hendak menghampiri kursi itu, terhenti saat dia melihat tangan yang berada di lengan kursi jatuh ke samping dengan lunglai.
“Siapa?”
Bangun di pagi hari, Hiroto lega tidak mendapati dirinya terluka atau berada di dalam gudang kutukan Akibara Guild. Walau mimpi aneh semalam cukup mengganggunya, dia tidak terlalu memikirkannya.
Ayahnya bilang lebih baik hari ini Hiroto menikmati hari terakhir sekolahnya, baru nanti menjelang jam pulang sekolah, dia dan Ayahnya ke ruang guru, disusul Roku-san—Axel.
Namun, kalau Hiroto ke sekolah, ketiga sahabatnya bakal menanyai soal kemarin malam. Axel sudah bilang kalau itu rahasia, jadi dia bingung mesti melanggar peringatan Axel atau menutupi apa yang terjadi dari sahabatnya.
“Ayah, aku tidak jadi ke sekolah,” ucap putranya yang belum juga menyantap sarapan.
“Eh? Kenapa?”
“Aku tak bisa mengatakan soal Akibara ke mereka, Axel-sama melarangku.”
Ayahnya terdiam. “Kalau begitu, apa boleh buat. Berarti jam sembilan nanti, kita langsung ke sekolah. Beritahu Roku-san soal itu. Soal kakek, biar Ayah yang akan mengatakannya saat waktunya pas.”
Laki-laki itu terdiam, mulai menyumpit nasi dan telur gulung dengan pikiran kelabu. Aku merasa tidak enak pada mereka.
Mendekat jam sembilan, suara ketukan pintu terdengar. Hiroto langsung bangkit, membukanya, mendapati seseorang memakai topeng kucing yang terpejam sambil tersenyum berdiri di depan.
“Pagi, Hiro-kun~” sapa Axel ramah.
“Selamat pagi, Axe—Roku-san.”
“Sudah siap ke sekolah?”
“Iya.” Hiroto melirik ke belakang pria bersurai panjang diikat ekor kuda itu. “Tumben sekali Anda sendirian.”
“Zan sedang beristirahat. Yah, menjadi pemburu berarti jam tidurmu adalah di pagi hari,” katanya sambil terkekeh ringan.
“Selamat pagi, Roku-san,” sapa Ayahnya Hiroto yang sudah berganti memakai setelah paling rapi yang dia punya.
“Selamat pagi, Takahiro-san. Supaya cepat, mari ke sana dengan mobilku.”
“Anda benar-benar bicara dengan kepala sekolah dengan topeng begitu?” bisik Hiroto.
“Mau bagaimana lagi. Aku tidak mau mengumbar identitasku pada orang-orang. Tadinya aku mau pakai topeng burung hantu kemarin.”
“Tidak, lebih baik yang ini, Roku-san.”
•••••
Urusan sekolah selesai. Roku-san—Axel—meminta agar pihak sekolah merahasiakan keterkaitan Akibara dengan alasan keluarnya Hiroto dari sekolah. Pihak sekolah menyanggupi itu.
“Takahiro-san, Axel-sama memintaku untuk membawa Hiroto ke markas lagi. Apa Anda keberatan?” tanya Axel.
“Tentu tidak,” balas Ayahnya Hiroto dengan ramah. “Jangan sampai terluka, ya?”
Laki-laki itu mengangguk. “Baik, Ayah,” balasnya tidak bersemangat.
“Kenapa? Kau tidak enak badan?”
“Ti-tidak, hanya saja ....”
“Tidak ada yang perlu ditakutkan, Hiroto-kun. Kami akan memantaumu agar tidak terjadi hal yang berbahaya,” lontar Axel yang masih memakai topeng kucing.
Handphone Hiroto berdering lagi untuk yang ke sekian kalinya. Panggilan masuk dari Masao, Eiji dan Hiyori tak dia angkat. Maaf, sungguh maaf. Aku akan menjelaskannya nanti, saat semuanya sudah lebih baik, batin laki-laki itu seraya menonaktifkan handphone-nya.
Masao yang ada di kelas Hiroto mendecih lagi saat teleponnya dimatikan. “Cepatlah angkat!” geramnya kembali menelepon.
‘Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif—‘
“DIMATIIKAN? DIA MEMATIKAN HANDPHONENYA!” geram laki-laki dengan surai Mullet itu.
“Masao, tenang,” tegur Eiji.
“Bagaimana bisa?! Dia selalu menyembunyikan lukanya dan memilih menghadapi masalah seorang diri! Memangnya kita siapa diperlakukan begini? Kita temannya! Kita harus tau apa yang terjadi!”
“Kalau dipikir-pikir lagi, aku juga merasa Hiroto begitu. Soal keanehannya yang kemarin juga,” kata Eiji.
“Dulu saat Kakaknya kecelakaan juga dia mengurung diri di kamar dan menangis di sana, tidak memperbolehkan siapa pun melihatnya. Dasar b**o, dia pikir masalahnya akan selesai dengan cara begitu?” dumal Masao, menyerah memanggil Hiroto lewat telepon. “Nanti pulang sekolah, kita langsung ke rumahnya.”
Hiyori melirik bangku kosong Hiroto. “Hiro-kun,” gumamnya sendu.
Setelah memulangkan Ayahnya ke rumah, Hiroto dan Axel kembali ke bangunan rumah tradisional Akibara Guild. Mereka berjalan bersisian di lorong antara tembok dan pintu geser kayu berbalut kertas.
Kali ini Axel menunjukkan ruangan lain di lantai satu ke Hiroto, yaitu ruangan perlengkapan para pemburu yang letaknya berada di ujung belakang sebelah kanan bangunan.
Ruangan itu berisi alat instrumen para pemburu seperti koto, seruling dan Shamisen, ofuda berbagai bentuk—selain kertas dan tali gulung, ada juga jimat berbentuk lonceng berukuran cukup besar di sana—, ada juga senjata seperti alat panah dan belati.
“Ini ...,” kata Hiroto sambil memegang belati yang dipajang di tembok. “Reigen. Belati di toko Kakek.”
“Uwooh, kau hapal? Benar, itu senjata yang buyutmu buat untuk prajurit wanita pertama di Akibara Guild. Hebatnya, Hiroto-kun,” balas Axel sambil menepuk pelan puncak kepala remaja laki-laki di depannya.
Hiroto menatap tak percaya. Jadi cerita basi yang Kakek ceritakan setiap hari itu sungguhan?
•BONUS•
Masih di kelas Hiroto, setelah Masao mengajak kedua temannya tuk pergi ke rumah siswa itu saat pulang sekolah nanti, Eiji bertanya.
“Apa Hiroto orang yang sangat tertutup ketika SMP dulu?”
Laki-laki bersurai mullet itu mendelik, bergeser tuk duduk di bangku kosong Hiroto. “Sebelum kakaknya kecelakaan, dia biasa-biasa saja. Tidak tertutup, tidak banyak teman juga. Hanya saja ....”
“Kenapa?” lanjut Eiji yang mulai penasaran karena Masao menggantung penjelasanya.
“Di mata Eiji-kun, Hiro-kun seperti apa orangnya?” tanya Hiyori yang masih berdiri di sebelah meja Hiroto.
“Pemalu. Sangat pemalu. Pas Masao mengenalkanku padanya waktu itu, dia menyapaku sambil menunduk.”
“Pas aku kelas satu SMP dan sekelas dengannya, Hiroto-kun terlihat lebih ceria. Hmm, gimana ya bilangnya, seperti melihat anak kecil,” kata Hiyori dengan manik menatap tinggi, mengorek memorinya.
Masao mengangguk. “Pas aku sekelas dengannya di kelas delapan juga begitu. Maksudku, dia terlihat begitu ... polos. Ya, polos. Seluruh murid di kelas sampai memanjakannya.”
Hiyori mengangguk setuju. “Benar. Banyak yang mendekatinya, tapi karena dia cukup pemalu, jadi anak-anak sekelas memperlakukannya dengan hati-hati.”
“Melihatnya membuatmu merasa seperti ingin melindunginya,” timpal Masao.
Eiji membulatkan mata. “Ya! Aku juga merasa begitu—“
“Kalian ini bicara seperti para ibu-ibu kalau menyangkut Hiroto,” lontar Matsu yang sejak tadi mendengarkan sambil bermain catur dengan Kenma.
“Tapi kau setuju kan?” tukas Masao.
“Ya,” balas singkat si ketua kelas dengan lawan main caturnya.