•How Dare You•

1649 Kata
Ruangan untuk latihannya terpisah, berada di luar. Luasnya setengah dari gudang kutukan di bawah tanah, dengan langit-langit datar, serba putih dan dari beton. Memasuki ruangan latihan, Hiroto mendengar lantunan seruling yang merdu begitu pintu besi dibuka. Manik hitamnya otomatis mencari sumber suara, mendapati Magine yang membelakanginya. “Ooooi, Magi-chaaan,” seru Axel. Wanita itu membalik badan, menatap datar bosnya dan Hiroto, lalu menunduk singkat memberi salam. “Kau melihatnya kan kemarin, di ruanganku. Dia Nomura Magine-chan.” “Konnichiwa,” sapa Hiroto gugup. Magine tidak membalas, tak menunjukkan ekspresi berarti juga. “Hmmm, otot wajahnya Magine agak lumpuh jadi maklumi saja kalau dia tidak pernah tersenyum,” lontar Axel. “Kenapa Anda membawanya kemari?” tanya wanita yang maniknya selaras dengan surainya. “Hanya untuk berkenalan. Kalau kau ingin mengobrol dengannya boleh, kok. Sangat diperbolehkan,” Magine kembali membunyikan serulingnya, menyanyikan nada yang membuat iblis dalam tubuh Hiroto  tadi malam, tapi tidak berefek apa-apa pada siswa itu sendiri. Tidak mempan? Batin Magine heran. “Suaranya enak di dengar, Nomura-san.” Magine terdiam, masih memikirkan kenapa semalam serangannya mempan, tapi sekarang menjadi tidak berguna. “Anata kawatta no kata desu ne (kamu orang yang aneh, ya).” Hiroto mengerjap. “Hai’ (Maaf)?” “Yang aneh itu Magine-chan,” lontar Axel. “Aku yang paling normal di sini.” Usai bicara demikian, dia mengundurkan diri. “Kenapa kita ke sini, Axel-sama?” tanya siswa itu. “Tadinya aku meminta Yugi-kun untuk datang, tapi dia belum muncul. Hmmm, mari kita tunggu saja dia di ruanganku.” Axel dengan santai merangkul laki-laki itu sambil mengajaknya berjalan kembali ke ruangannya. “Semalam dia bangun lagi.” “Dia?” “Iblismu.” Hiroto membulatkan mata, perasaannya langsung berat dan sesak memikirkan kekacauan apa lagi yang iblis itu lakukan menggunakan raganya. “Tapi semalam dia tak sempat berbuat apa-apa, berkat Magine-chan,” sambung pria itu. “Eh?” “Semakin ke sini, aku semakin paham soal cara melawan iblismu itu, Hiroto-kun. Kita ada perkembangan,” tuturnya menenangkan ketegangan yang dirasakan remaja itu. Hiroto tersenyum lega. “Syukurlah, aku tidak membuat kekacauan apa pun.” Pintu ruangan Axel digeser, di dalam sudah ada Kazan yang duduk. “Ooh, Zaaan~ sudah bangun, kah!” “Tentu. Aku menunggu informasi baru yang Anda bilang kemarin.” Dua orang itu duduk, Axel memasang senyum tipis. “Informasi baru? Aaah, ya, aku janji bilang padamu. Ini terkait lubang di Yokohama.” “Gerbang utama iblis itu? Apa semakin melebar?” tanya Kazan yang langsung menanggapi dengan serius. Hiroto menyimak dengan serius juga. Lubang gempanya masih bisa melebar? “Bukan, tapi areanya semakin tidak stabil. Beberapa iblis level satu lepas dari kekangan di sana. Sepertinya kertas shide—kertas putih zig-zag—yang mengikat celah tiang merah torii sudah terlalu lama dan mesti diganti,” tutur Axel. Hiroto mengerjap bingung, Axel memberi penjelasan tambahan pada siswa itu. “Iblis level satu itu sebutan kami ke iblis yang tidak bisa bicara dan mudah ditangani, Hiro-kun.” “Aaaah, mereka bermacam-macam juga, ya? Aku tidak tau ....” “Memang, klasifikasi ini cuma para pemburu dan pemerintah yang tau. Ada juga level dua dan tipe kaibutsu (monster).” ‘Oho? Lalu aku masuk kategori yang mana?’ Lagi-lagi suara iblis bergaung di kepalanya, membuat Hiroto was-was. ‘Oi, bocah—‘ “Siapa yang Anda kirim ke Yokohama?” tanya Kazan yang untungnya membuat Hiroto teralihkan dan suara iblis itu lenyap. Axel bergeming sejenak. “Okamoto-san dari cabang Nagano dan Ishikawa-kun.” “Saya rasa mereka bakal bertengkar terus, Axel-sama. Kenapa tidak saya saja—“ “Ehey, kau kan dihukum. Lupaaa? Kau tetap di sini mengawasi Hiro-kun,” kata Axel dengan nada meledek. Kazan kembali terlihat jengkel. “Dan juga, nanti malam Hiroto masuk ke gudang kutukan lagi,” sambung pria dengan manik hijau pudar itu. Hiroto mengerjap. “Aku minta maaf, Hiroto. Sepertinya, kamu harus menetap di sini. Risikonya terlalu besar tuk mengawasimu di luar markas,” jelas pria itu. Dia kembali murung. Ayah ... aku khawatir dia akan terluka karena kecerobohan sendiri. “Aku dengar kau yang mengurus rumah, ya, Hiro-kun? Sungguh anak yang manis,” puji Axel sambil mengusap belalang kepala siswa itu. “Tenang saja, aku akan mengutus seseorang untuk menggantikanmu di sana selama kau di sini.” “Seseorang? Salah satu pemburu?” “Pembantu rumah tanggaku.” “E-Tu-tunggu, Anda tidak perlu sampai segitunya—“ “Kenapa? Aku tidak akan menagih uang pada keluargamu tau.” “Anda berbuat terlalu banyak,” tukas Kazan, bersedekap. “Benar.” Untuk pertama kalinya, Hiroto sepakat dengan Kazan. “Dari pada kau di sini dengan rasa khawatir. Lagi pula, pembantuku juga punya keahlian pemburu.” Dia orang apa robot? Batin Hiroto kagum dan heran. “Bukankah lebih cepat kita menyelidiki iblis dalam badanmu, bakal lebih cepat juga bebas dan kembali ke keseharianmu?” tutur Axel. Hiroto terdiam sejenak. “ ... Anda benar.” Axel yang gemas kembali mengusap kepala siswa itu. Mendadak Kazan meliriknya dengan sinis sambil mendecakkan lidah. “Kenapaaa? Cemburu? Hai’, sini aku usap-usap juga.” “Tidak perlu!” “Sama Ayah sendiri tidak boleh begitu. “Untuk pertama kalinya Hiroto menegur Kazan. “Dia bukan Ayahku!” “Aaah, benar juga. Nama depanmu Hayashi. Eh, terus kenapa waktu itu ....” Hiroto pun bingung sendiri. “Kalian berdua makanlah dulu. Kartuku masih sama Zan, kan? Aku akan menelepon Takahiro-san dan memberitahukannya soal ini. Tentu dengan alasan training.” Kazan bangkit. “Anda juga mau sekalian saya belikan?” “Aku pesan dua set mie soba sama sushi!” “Banyak,” timpal Kazan dan Hiroto serentak. Baru mereka setengah jalan menuju pintu keluar markas, Hiroto berhenti melangkah. “Tunggu, aku melupakan sesuatu.” Kazan mendecak. “Aku tak mau menunggu—“ “Tidak perlu. Kau pergi saja. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Akibara-san.” Hiroto langsung segera berjalan kembali ke arah ruangan Axel. “Dia, lagi-lagi memanggil dengan tidak hormat,” dumal Kazan yang tak peduli dan langsung pergi. Lolos dari pengawasan Kazan, iblis Hiroto tersenyum miring, memamerkan taring dan wajah jahatnya. “Siapa yang kira aku bisa meniru suara si bocah sekarang?” Axel yang sedang menelepon Takahiro-san mengerling heran saat Hiroto kembali duduk di bantal yang jauh berseberangan darinya, tapi mendapati raut itu, si kepala Akibara langsung tau dan mematikan panggilan. “Tunggu,” tegas iblis itu sebelum Axel hendak berkata sambil mengangkat tangan kanannya tak begitu tinggi. “Tak perlu menahanku atau memanggil para pemburu berisik itu kemari. Sekarang, minatku bukan tuk bertarung,” tuturnya kembali dengan suara yang tak jelas manusia atau geraman hewan karena keduanya saling berbayang. “Apa kau menyakiti Kazan?” tegas Axel balik. “Tidak, aku—“Iblis itu memakai suara Hiroto. “Bilang kalau lebih baik dia pergi lebih dulu.” Suara Hiroto tapi dengan logat bicara khas si iblis. Dia semakin berkembang di dalam sana rupanya, batin Axel waspada. “Kalau tak mau menyerang, lalu kenapa kau muncul?” “Mau tau sebuah rahasia?” “Rahasia apa?” “Soal keluarga Akibara pertama yang menjadi pemburu. Keluarga Akibara Yataro.” Dia merencanakan sesuatu dan mencoba menghasutku. “Tidak perlu.” “Hontou kai (kau yakin)? Aku tidak yakin mereka masih menurunkan pesan ini ke generasi sekarang. Ah, generasi yang sebelumnya juga tidak tau,” tutur iblis itu dengan raut seperti menceritakan sesuatu yang menyenangkan. “Oh, kau sudah ada sejak lama ternyata. Dari generasi pertama? Wah, tua sekali,” balas Axel dengan ramah—berusaha tak termakan hasutan si iblis. Iblis itu membalas, “Mhmm, lubang di Yokohama itu, aku yang buat.” Axel terdiam. Mendapati perubahan ekspresi yang dramatis, iblis itu menyeringai senang. “Aku yang membuka gerbang masuk menuju permukaan. Aku, Enma!” tekannya. Hiroto memukul meja, melotot dengan senyum psikopat ke Axel lalu berkata dengan suara rendah bak geraman. “Iblis pertama yang membuat kalian—makhluk-makhluk fana—sengsara dari dua ratus tahun yang lalu sampai sekarang.” Tiba-tiba suara petikan senar alat musik koto terdengar, dua lingkaran hitam tergambar di kedua tembok kertas sebelah kiri dan kanan siswa itu, lalu memunculkan rantai dan langsung menggulung Hiroto yang tak bergerak di tempat. Yugi menggeser pintu kertas di belakang Hiroto dengan satu tangan memeluk alat instrumen tradisional Jepang. “Aku lega tak jadi melangkah ke ruang latihan.” Enma—iblis Hiroto—mendecak. “Unzari da, kozo (Memuakkan sekali, bocah),” tukasnya sambil menatap pria bersurai pirang itu dari bahu. “Sore wa kochi no serifu desu (itu ucapanku).” “Saa, mumpung kau terikat begini, bagaimana kalau kau bicara? Apa tujuanmu masuk ke tubuh anak ini?” kata Axel yang berdiri dari duduk, menghampiri Enma. Iblis itu tak menolak. “Yoroshi (baiklah), kau tanya tujuanku, bukankah sudah jelas?” “Untuk menghancurkanku?” ungkap Axel mulai sinis. “Iya, itu.” “Hanya itu?” “Apa? Kau pikir aku punya tujuan lain?” kata Enma dengan senyum mencurigakan. Selaku iblis tipe kaibutsu (monster), dia lebih pintar dibanding mereka yang hanya kuat dan berbahaya. “Jadi, kau masuk ke tubuh Hiroto hanya untuk menghabisiku? Sepayah itukah kau dalam wujud iblis biasa?” pancing Axel yang kini berdiri tepat di sebelah Enma, masih memandang sinis. “Selemah itu sampai kau menjadikan tubuh anak ini sebagai baju pelindung, Enma?” Bulu kuduk Yugi merinding hebat merasakan aura kemarahan Axel yang berwajah tenang. Melihat bos marah bukan hal yang menarik ternyata. Untung aku tak pernah mencari gara-gara walau penasaran soal itu. Enma menggertakkan gigi. “Payah? Lemah?” Oi, Oi, Oi, kau pikir kau siapa bicara padaku seperti itu?” Pintu kembali bergeser. “Axel-sama! Anda memesan terlalu banyak—“ Kazan menghentikan omelannya ketika melihat situasi di dalam ruangan Axel. “Ooh! Mie Soba-ku sudah datang!” seru Axel girang sambil mendekati Kazan dan mengambil kantung plastik bening paling besar. Kazan menjatuhkan plastik lain ke lantai, lalu kembali ke luar. “Magine-saaan! Magine-saaaan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN