Hiroto bangun di siang hari, dengan badan yang terasa berat dan nyeri. Untuk pertama kalinya dia tak bangun pagi dan melakukan pekerjaan rumah, rasanya asing dan tidak nyaman. Baru menghabiskan sehari di markas Akibara, Hiroto sudah merindukan rumah.
Dia melirik tumpukan pakaian dan lipatan handuk di sebelahnya tidur. Itu pakaian yang sama dengan yang pernah Axel berikan saat dia mengacau di Sabtu malam. ‘Mandilah di kamar mandi lantai dua. Kalau lapar, jangan segan tuk bilang ke Zan, ya. -Axel ^^’ Padahal hanya tulisan, tapi Hiroto bisa membayangkan nada riang Axel-sama sambil berkata demikian.
Tak jauh dari tumpukan pakaian, ada perempuan dengan surai hitam lurus sebahu, sedang terlelap membelakanginya, tidur di tatami tanpa kasur atau selimut.
“Chiyo-senpai ...,” gumam Hiroto. Apa dia mengawasiku semalam sendirian?
Siswa itu baru sadar kalau dia masih memakai gakuran—seragam sekolahnya—. “Sebaiknya aku mandi dan pulang.”
Setelah menyelimuti Chiyo, dia keluar dengan memeluk semua kain itu, berjalan sambil menundukkan pandangan ke arah tangga, melalui beberapa pegawai kantor yang berpapasan dan sempat meliriknya. “Memalukan sekali, baru jam segini aku mandi ...,” gerutunya pelan, menghindari tatapan orang lain.
Berkat itu, dia menabrak seseorang. “Saya minta maaf!”
“Tidak apa—Aaah, si aneh rupanya.”
Hiroto mengangkat kepalanya, memandang lurus laki-laki yang dia tabrak. Kesan pertama yang dia dapat adalah cowok modis. Gaya rambut laki-laki itu bisa dibilang serupa dengan Hiroto kalau rambutnya tidak disisir ke belakang, tapi miliknya lebih tebal dan terlihat lembut.
Satu lagi yang mencolok yaitu anting. Anting berbentuk jimat koin berwarna tembaga terpasang di telinga kirinya saja. Dia memakai jubah panjang berwarna hijau lumut gelap yang menutupi outfit, menambah kesan modis sekaligus misterius.
Manik hitam tinta laki-laki itu melirik tak suka. “Sana cepat pergi. Tak usah memandangku dengan menyelidik begitu,” tukasnya sambil bertolak pinggang sebelah.
Hiroto kembali menundukkan pandangan dengan takut. “Pe-permisi ....”
“Tunggu.” Laki-laki itu bertanya, “Mana Kazan? Siapa yang bergiliran menjagamu sekarang?”
“Chiyo-senpai, dia sedang tidur sekarang,” balas Hiroto sambil menoleh.
Raut lawan bicaranya menjadi kesal. “Dia tidur? Enak sekali, ya, tukang bolos itu. Kau juga, tau sendiri sedang diawasi, kenapa tidak membangunkannya? Bisa kerja sama sedikit tidak?”
Siswa itu kembali menunduk meminta maaf.
“Kau di sini bukan sebagai tamu atau teman, tapi sebagai sumber masalah dan tugas kami adalah tuk menjauhkanmu dari masyarakat. Ingat itu baik-baik,” tekannya yang kemudian berlalu.
Laki-laki bersurai hitam yang disisir ke belakang itu murung, kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi lantai dua. Saat berendam dengan air hangat, suara Enma kembali bergaung dalam benaknya.
‘Kenapa kau tidak memukulnya saja?’
Hiroto menukik alis ke bawah. “Apa?” ketusnya.
‘Dia meremehkanmu, kenapa kau malah diam dan meminta maaf? Aku tak paham.’
“Mana mungkin kau paham. Kau iblis.”
‘Tapi tadi kau marah, kan?’
Hiroto memeluk kaki, mengubur wajahnya. “Enggak, tuh. Ucapannya benar. Aku adalah biang masalah.”
‘Tuh, kau menolak pernyataan itu. Hati dan mulutmu tidak sejalan.’
“Iblis sepertimu tau apa soal hati.”
‘Aku mengamati manusia selama dua ratus tahun, kurang lebih aku tau. Namun, berada di tubuh manusia adalah pengalaman baru dan banyak hal aneh yang tak kumengerti, contohnya seperti tadi. Coba beritahu aku, kenapa kau tidak marah saja?’
“Berisik! Cepat keluar dari tubuhku!” bentak Hiroto, mengangkat kepalanya dan memandang kesal ke depan seolah iblis di dalamnya berada di sana. “Kenapa mesti aku? Kenapa tidak kau rasuki saja orang lain?”
Enma tak menggubris protes tersebut. ‘Mau kuberitahu satu hal yang kumengerti soal manusia setelah mengamati selama ini? Manusia dan iblis itu sama.’
“Bodo amat soal itu.” Hiroto mengepalkan tangannya. “Aku bertanya kenapa, dari sekian banyaknya manusia yang kau amati, kau masuk ke badanku?” tekan siswa itu dengan emosi yang membuat paru-parunya sesak.
‘‘Kenapa kau’ kau tanya? Mudah saja. Kau kebetulan ada di sana, saat aku hendak membuka gerbang baru dan berniat membuat kekacauan.’
Hiroto bergeming kaku di tengah air hangat yang mengepulkan asap tipis di sekitarnya. “Maksudmu kebetulan?”
‘Ya.’
“ ... keluar dari tubuhku sekarang.”
Enma mendengus sarkas. ‘Kau yang harusnya pergi dari raga ini.’
•••••
Axel tersenyum tipis. “H-hiro-kun, ini Ayahku, kepala Akibara Guild sebelumnya, Akibara Raiden ...,” tutur pria itu, memperkenalkan pria dengan rambut agak cepak beruban yang duduk sambil bersedekap di sebelahnya.
Raiden diam, menatap Hiroto yang duduk berseberangan dengannya di ruangan Axel. Siswa itu baru selesai mandi, memakai kaos lengan pendek putih dan celana panjang hitam, masih dengan handuk di rambutnya yang basah. “Hajimemashite, Raiden-san,” cicitnya ngeri.
“Katakan sesuatu, dong. Kau membuatnya takut,” lontar Axel.
Pria dengan yukata warna biru buram yang gelap itu membalas, “Dia iblisnya, kan?”
“Sekarang dia Yuuma Hiroto.”
“Dari mana kau bisa tau?”
“Iblisnya tidak seramah itu untuk menyapa.”
Raiden menukik alisnya ke bawah. “Benar-benar sulit dibedakan kalau dilihat dari sikap. Kau bilang suara mereka tadinya berbeda, tapi sekarang mereka berbagi suara yang sama. Bagaimana kalau yang ada di depanku saat ini iblis yang sedang berlakon?”
“Logatnya berbeda,” balas Axel datar.
Ayahnya mengusap dagu, masih menatap lamat-lamat. “Sudah, kan? Ayah sudah melihatnya, sekarang pulanglah. Keberadaanmu terlalu mencolok,” paksa Axel.
“Apa? Kau takut aku merebut kembali tahtamu yang baru dibangun selama dua tahun ini? Tanpa kurebut pun, kau bakal sukarela menepi. Dasar cengeng,” tukas Raiden.
Hiroto membelalak, c-cengeng? Axel-sama cengeng?
Axel melipat bibir ke dalam. Jangan percaya, Hiro-kun.
“Kau bisa panggil iblis itu keluar?” tanya Raiden.
“Eh? Panggil ... tidak bisa,” cicit Hiroto.
“Tidak bisa?” Raiden mengerut dahi. “Raga ini milikmu apa miliknya?”
Hiroto bergeming. M-maksudnya apa? Bukankah sudah jelas aku pemilik sah badan ini. Secara akulah yang manusia ....
“Ayah, jangan mendesaknya begitu, dia siswa biasa yang tidak mengerti banyak hal soal iblis seperti kita,” bujuk Axel sambil memegang lengan atas Ayahnya.
Raiden menghela napas gusar. “Kalau begitu ajari dia. Sekalian cara memburu iblis.”
“Eh?” lontar Axel dan Hiroto bersamaan.
“Apa? Bagaimana dia mau menghabisi iblis di dalam sana kalau tak mengenalnya, dasar idiot.” Raiden bangkit berdiri, mulai melangkah pergi. “Laporkan padaku secara rutin soal masalah ini. Dan juga, aku sarankan kau juga rutin melapor pada orang tua Hiroto untuk kebaikan bersama.”
Axel bangkit. “Aku antar Ayah ke mobil dulu, ya, Hiro-kun,” ujarnya yang menyusul Ayahnya.
Hiroto masih duduk di sana, memikirkan ucapan Raiden. “Raga ini milikku, kan?” ucapnya ragu sambil menyentuh bagian jantungnya yang berdetak di dalam.
Di lorong menuju ke luar, Raiden bertemu Kazan. Laki-laki bersurai amethyst yang baru masuk itu langsung putar balik keluar. “Oi, Kazan!” seru Raiden membuat Kazan tersentak dan terdiam di tempat.
Pria tua itu memukul punggungnya kencang. “Kau ini, kenapa jarang sekali pulang? Apa Axel membebanimu dengan banyak pekerjaan?”
“Ti-tidak, Raiden-sama. Axel-sama mengurusku dengan sangat baik,” balasnya kaku.
Kini Raiden mengirim tatapan miris. “Cepatlah menikah,” tegurnya ke Axel.
Axel mendorong punggung Ayahnya agar cepat melangkah keluar. “Iya, iya, iya, iya.”
Kazan bernapas lega. “Aw, punggungku.”
Dia melihat Hiroto yang ada di dalam ruangan Axel. “Oi,” tegurnya ke laki-laki yang melamun itu.
Hiroto tersadar. “Oh, Kazan.”
“Berkatmu aku kena omel,” tukasnya sambil duduk di tempat Raiden tadi.
“Kena omel? Kenapa?”
“Karena Chiyo tertidur saat mengawasimu dan aku juga masih tidur di jam segitu. Dari sekian banyak orang, kenapa Ishikawa-san yang mengomel,” gerutunya.
Oh, kakak laki-laki yang tadi itu namanya Ishikawa-san, batin Hiroto mengangguk pelan.
Axel masuk ke ruangan. “Pas sekali. Kazan, nanti malam kau sudah boleh bekerja seperti biasa.”
Kazan yang mendengar itu senang, meski wajahnya tak menampilkan perubahan ekspresi.
“Seperti biasa, bagian administrasi yang nanti akan memberimu rinciannya.”
“Siap, Axel-sama.”
•MALAMNYA•
Kazan mengentakkan ujung sepatu ke aspal, berkali-kali, memandang geram ke Hiroto sambil melipat tangan. “Jadi?”
“A-axel-sama bilang, sebagai tahap awal tuk memahami iblis, ada bagusnya aku menyaksikanmu berburu ...,” tutur Hiroto.
“Dan, Axel-sama memintaku tuk mengawasi Hiroto-kun selagi kau bertugas,” sambung Chiyo yang juga merasa ngeri dengan aura kemarahan Kazan.
“Kau tidak akan bisa! Lihat saja tadi siang! Kau tertidur di tengah kerjaan!”
“I-itu karena aku mengawasi juga semalaman,” timpal Chiyo.
“Oh, kau pikir aku tidak? Aku sudah bilang bakal bergantian siangnya, kenapa kau tidak bertahan sampai siang?”
Hiroto dengan jaketnya yang agak kebesaran berdiri di tengah mereka berdua. “Cukup, kalian!” tegurnya sambil menahan Kazan yang hendak mendekat dengan garang. “Axel-sama juga bilang kalau Yugi-san bakal segera datang kalau terjadi sesuatu, kok.”
“Inilah kenapa kau tidak pernah bisa bekerja sendiri. Sudah tak bisa menguasai tiga teknik dasar pemburu, ceroboh pula,” ketus Kazan yang pergi menaiki tembok pagar rumah masyarakat dan mulai memantau target.
“Dasar.” Laki-laki yang menutupi kepalanya dengan tudung jaket itu berbalik. “Yoroshiku onegaishimasu (mohon bantuannya), Chiyo-senpai. Tolong awasi aku juga malam ini,” tuturnya sopan.
Chiyo yang hampir menangis, menepis rasa itu segera mengingat dirinya masih dalam waktu kerja. “Atashi mo (Aku juga) yoroshiku, Hiroto-kun.”