•Near Enemy•

1530 Kata
Manik cokelat lattenya bergetar ngeri ke Hiroto, tak lama dia menarik belati, kembali memasukkannya ke balik jaket dan beranjak duduk. “Aku yang minta maaf, Hiroto-kun. Dan juga, aku dua tahun lebih tua darimu, jadi sebutan ‘Chi-chan’ tuh agak ...,” katanya disusul tawa kaku. Laki-laki bersurai hitam itu membelalak, lalu telinganya memerah malu. “E-eeeeh? Sungguh? Maaf! Maaf banget, senpai!” “Gak apa-apa, gak apa-apa! Tidak perlu sampai bersujud gitu, Hiroto-kun! Sungguh!” Kazan mengerang jengkel dalam tidurnya. “Berisik sekali ....” Yugi memencet hidung laki-laki dengan surai amethyst sampai dia memukuli tangan pria itu. “Enak sekali tidurnya, ya, Zan.” Kazan bangun, merintih sakit pada hidungnya yang memerah. “Jangan panggil aku dengan sok akrab begitu, Yugi-san.” “Aku pikir dirimu seumuran dengan Kazan,” timpal Hiroto, masih menunduk meminta maaf. Chiyo mengisyaratkan siswa itu tuk berhenti. “Kazan yang paling kecil di sini, setelah itu aku—“ “Kecil?” protes Kazan dengan memicing. “U-umur! Maksudku dalam urutan umur, Kazan-kun. Jangan kesal begitu ...,” cicit Chiyo yang bergeser mundur karena ngeri. “Padahal kalau dilihat dari aspek pemburu, kau ada jauh di bawahku,” lontar laki-laki bermanik Violet itu. “Oi, cara bicaramu tidak sopan,” tukas Hiroto mengingat sikap ketidaksopanan Kazan pada Ayahnya dulu. “Haa? Gak usah berisik, orang luar.” Yugi memeriksa ponselnya yang bergetar karena alarm. “Sebaiknya aku pulang,” gumamnya yang kemudian bangkit dan keluar dari sana selagi ketiga orang itu masih berseteru. ••••• Di hari Selasa pagi, sekitar jam setengah sembilan, Axel pergi ke kediaman megah keluarga Akibara yang sudah ditempati selama turun temurun. Lokasinya berada di kaki gunung daerah Shiojiri, Nagano—tiga jam perjalanan menggunakan mobil dari Markas Akibara. Pria itu menguncir rambut hitamnya lebih tinggi, memakai kimono—mirip Yukata tapi lebih resmi—, tanpa membawa siapa pun sebagai pendamping untuk menemui kepala Akibara Guild sebelumnya, Akibara Raiden. Kediaman Akibara adalah rumah kayu tradisional yang sederhana, tanpa kertas tembok yang bermotif, memiliki banyak lorong dan koridor berliku yang terhubung dari bangunan rumah lama ke rumah baru. Bangunan lama sengaja tidak dirubuhkan, karena banyak jimat lama yang terpasang di tembok dan pintu—dikhawatirkan pertahanan rumah akan berkurang kalau jimat itu hancur. Di lorong luar menuju ruangan beliau, dia berpapasan dengan adik laki-lakinya yang paling kecil. “Satoru,” panggil Axel tak lupa dengan senyuman hangatnya. “Nii-san,” sapa Satoru balik. “Ayah ada di dalam, kalau tujuanmu ke sini untuk bicara dengannya.” “Aku juga datang untuk bicara denganmu, kok,” balas Axel memeluk singkat adiknya. Di antara kelima anak Akibara Raiden, hanya Axel yang memiliki nama orang luar dan fisiknya mengikuti si Ibu yang memiliki manik hijau pudar dan surainya abu-abu. Sisanya memiliki manik hitam dengan surai hitam legam mengikuti Ayah. “Bagaimana dengan belajar?” tanya Axel. Satoru mengembangkan sebelah pipinya. “Membosankan. Aku ingin langsung jadi pemburu seperti Kakak,” keluhnya. “Heeey, jangan begitu, belajar juga penting. Kalau pengetahuanmu luas, kau bakal jadi pemburu hebat nanti.” “Seperti Kazan-niichan?” katanya dengan mata membulat berbinar. Axel mengangguk, membelai puncak kepala adiknya karena gemas. “Seperti Kazan-niichan. Kakak pergi mengobrol dengan Ayah dulu, ya.” Pria tiga puluhan itu masuk. “Shitsurei shimasu (Permisi),” ujarnya seraya mendekat ke Ayahnya yang duduk memunggungi. Pria bersurai agak cepak yang sudah beruban itu membalik badan. Walau sudah pensiun, aura pemburu masih terlihat dari tatapan matanya. “Oh, Yato” katanya menyebut nama Jepang Axel. “Selamat pagi, Ayah.” Axel duduk bersila di bantal yang tak jauh dari sang Ayah. “Ibu ada di mana?” “Ibumu ada di taman depan, biasa, sedang mengurus bunga kosmos merahnya.” “Aaaah, Ibu sudah bosan mengurus bunga lavender?” Ayahnya memasang tampang bosan. “Ya. Nanti juga ganti lagi, kau tau sendiri Ibumu seperti apa. Jadi, jauh-jauh datang dari markas, pasti ada hal penting yang mau kau bicarakan.” “Kami kedatangan anak baru. Yuuma Hiroto namanya.” Axel membuka percakapan dengan santai. “Dia punya iblis dalam dirinya.” Pria tua di hadapannya mengerjap. “Ha?” “Hiroto bilang saat iblis itu pertama kali ada di tubuhnya, ada tanda semacam tato di kaki tempat iblis menyentuhnya. Masalah seperti ini baru ada sekarang, kan, Ayah?” Raiden masih tak paham. “Kau sedang bercanda atau apa?” “Ini serius. Iblisnya bernama Enma. Apa Ayah tau sesuatu soal itu?” Axel kembali memborbardir Ayahnya dengan pertanyaan. “Apa iblis pernah punya nama? Aku saja baru pertama kali dengar nama iblis sekarang darimu. Bukankah Enma artinya iblis?” Axel bergeming sejenak. “Benar juga. Jadi, dia bohong, dong?” Raiden mengetuk kepala putranya dengan kipas bambu lipat yang sejak tadi dia gunakan. “BAKA MONO GA (DASAR i***t)! KAU INI KEPALA AKIBARA, KENAPA GAMPANG SEKALI MEMPERCAYAI IBLIS?” Axel merajuk. “Tapi dia tidak terlihat seperti berbohong.” “Dia iblis, bukan manusia! Kau mungkin tau bagaimana manusia berbohong, tapi tidak dengan iblis. Mereka memang dasarnya tidak pernah jujur!” bentaknya yang masih memukuli anaknya dengan kipas. Selagi pria tiga puluhan itu merengek mengusap badannya yang dipukuli, Raiden kembali bertanya. “Kalau iblis bisa masuk ke tubuh manusia, bukankah berarti Yuuma Hiroto yang kau bilang itu sudah mati?” “Tidak, dia masih hidup. Jadi mereka berdua saling berganti tempat memakai satu raga.” “Maksudnya gimana? Dia hidup berdampingan dengan iblis gitu? Mustahil.” “Ya, tapi ada bukti nyata,” timpal Axel. Mereka berdua terdiam, sama-sama merenung dengan serius ditemani suara kicauan burung yang melintas di kediaman yang asri itu. “Kalau begitu kasusnya, bakal bahaya. Kita tidak tau mesti berbuat apa, kita juga tidak tau apa dia berbahaya untuk orang lain atau tidak.” “Dia sudah menggunakan shigo ke beberapa siswa sekolah beberapa hari lalu, jelas dia bahaya, Ayah.” Raiden membelalak. “Tunggu, dia bisa menggunakan shigo, berarti iblis itu tipe dua atau tipe kaibutsu. Axel, apa yang kau lakukan sejak kemarin? Kenapa tidak langsung mengeksekusinya?” Axel kini membelalak. “Dia warga biasa!” “Dia sudah bukan warga kalau kondisinya begitu. Kalau dibiarkan, Yuuma Hiroto bisa saja lenyap dan raga itu ada di tangan iblis sepenuhnya. Bisa kau bayangkan kita melawan iblis yang kokoh walaupun di siang hari?” tekan Raiden. Putranya menunduk, lalu kembali memandang Ayahnya dengan berani. “Tidak. Pasti ada cara lain. Eksekusi bukan jalannya!” “Kenapa? Kau takut nama Akibara bakal tercoreng karena mengeksekusi iblis dalam tubuh manusia? Pikir ulang, kalau mereka tau sebahaya apa makhluk itu, mereka bakal mendukung pilihan eksekusi juga. Jangan naif, Axel! Kita bekerja menjaga keamanan banyak orang, bukan seorang anak laki-laki dengan bom waktu dalam badannya!” Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Takayomi menerima ponsel yang Ayahnya sita. “Kalau kau terlibat masalah kekanak-kanakan ini lagi, Ayah bakal sita semua konsol game dan laptopmu,” ancam Ayahnya dalam setelan jas yang rapi. Dia pun berjalan diikuti dua pengawal lain ke mobil tuk ke kantor. Siswa kelas sebelas itu mencebikkan bibir, meledek punggung Ayahnya yang berlalu pergi. “Bawel banget, Pak tua.” Dia menyalakan handphone kekiniannya sambil menaiki tangga marmer ke lantai dua, kembali ke kamar. Semua chat teman-temannya masuk, dia baca satu persatu. ‘Hei, aku dengar anak kelas satu yang kemarin kita kerjai itu sudah keluar dari sekolah,' bunyi chat temannya yang dia bayar jadi tukang pukul beberapa hari lalu. ‘Bagus bukan? Kau bisa dekat dengan Hiyori-chan lagi,' sambung temannya. “Jangan sebut namanya sok akrab! Hanya aku yang boleh memanggilnya begitu!” raung Takayomi sambil memaki temannya lewat chat. Dia kemudian tersenyum lebar, membuka galerinya yang penuh dengan foto siswi kelas sepuluh bersurai hitam panjang itu yang diambil secara diam-diam—dibantu siswa lain yang dia bayar. “Itou Hiyori, sekarang, tak ada lagi yang mengganggu kisah cinta kita ...,” gumamnya sambil menyeringai. Laki-laki itu sendiri baru sekali bertukar kata dengan Hiyori, itu pun salam selamat pagi, bukan obrolan panjang berarti yang membuat Hiyori mengingatnya. Namun, siapa sangka, ucapan salam dari siswi itu membuat kakak kelasnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia membuka chat grup kelas, mendapati sebuah foto yang sudah lama dikirim dari salah satu temannya ke grup. Foto pemburu termuda di Akibara Guild, Hayashi Kazan, sedang bicara dengan seorang siswa dan siswi. ‘Sedang apa si tampan ini di depan sekolah kita?', caption foto itu. Takayomi melebarkan foto karena mendapati sosok yang familier. Itu Hiroto dan Hiyori yang ada di hadapan Kazan. Dua siswa itu berdiri berdekatan. “Apa ini? Apa mereka seakrab ini sampai pulang bersama, haaaaah?!” Batin yang semula lega mendengar Hiroto sudah keluar dari sekolah kini kembali panas. “Hubungan mereka perlu diselidiki! Jangan sampai bocah culun itu terus berada di dekat Hiyori!” amuknya sambil menscroll nomor ponsel seseorang, kemudian meneleponnya. “Oi, kau bisa menyelidiki latar belakang seseorang, kan? Beri aku semua informasi soal Yuuma Hiroto, terutama yang terkait dengan seorang perempuan bernama Itou Hiyori. Uangnya tergantung secepat apa kau menyelesaikan dan mengirim berkasnya padaku.” Dia memutuskan telepon, mulai berjalan mondar-mandir di tempat yang sama, sambil menggumamkan nama Hiyori seperti mantra. Takayomi Furuta mengepalkan tangannya. “Yuuma Hiroto, kali ini kubuat kau benar-benar lenyap.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN