Bukan Inginku
Aku_bukan_untukmu
Ali, nama yang mungkin hampir tersemat dalam hati, jika saja kami bertemu pada waktu dan tempat yang tepat.
Hahaha....
Sayangnya, hubungan kami hanya sebatas teman. Sedikit lebih sih, karena seringnya aku merepotkan dirinya.
Hampir seolah abang dan adik, ketemu gede kata orang. Lucu memang, namun inilah kenyataannya.
Atau memang aku ini gadis yang sudah berpasangan, namun kesepian. Karena saking sibuknya masing-masing dari kami. Sehingga merasa Ali adalah manusia yang paling tepat dan selalu ada.
Miris memang kisah cintaku ini. Sedikit... rumit sepertinya. Atau memang sengaja tercipta serumit ini.
*******
"Aku pintar memperbaiki segala mesin pencetak yang kau punya, Mala. Agar bisa kembali mencetak berbagai tulisan dan warna. Namun aku heran, kok mesin punyaku sendiri hanya mampu mencetak satu saja. Namamu."
"Ahhh ... gombal."
Yah, lelaki tukang service printer itu. Aku masih mengingat ucapan terakhir saat dia masih menemani hariku. Menemani mempersiapkan segala keperluan untuk pesta pertunangan ku, dengan Mas Ari.
"Aku akan bertemu dengan wanita yang lebih baik setelah melihat kau tersenyum untukku, La." Ungkapnya hari itu.
Entahlah. Terkadang dia memang aneh, dan kalau bicara suka ceplas-ceplos tanpa saring.
Dan aku tak pernah menganggap serius ucapannya.
Oh iya.
Aku ini gadis 25tahun yang bekerja di sebuah toko penyedia jasa pengetikan dan fotocopy.
Kebetulan Ali adalah seorang tukang service printer yang sudah dipercaya di toko tempat ku bekerja.
~~~~
"Hai, Mala. Kau melamun?"
"Cincinku hilang, Al. Aku sudah mencari kemanapun. Lalu sekarang, printer ini tidak membantu sama sekali. Padahal kerjaanku sudah di kejar deadline."
"Sudah selesai?" Aku mengangguk.
"Hanya tinggal cetak saja, kan?" Lagi aku hanya bisa mengangguk lalu menutup wajahku dengan kedua tangan.
"Kamu menangis?" Al mengguncang bahuku seperti biasa saat dia mencandaiku.
"Gak lucu, Al!" sentakku. "Aku serius, cincin pertunanganku hilang."
"Wah, gawat! Itu pertanda buruk."
Mendengar Al bicara seperti itu, aku mulai terisak.
Dia terbahak seolah ini lucu. Dia juga terus bicara seolah akan terjadi sesuatu yang buruk padaku dan Mas Ari jika cincin itu benar-benar hilang.
"Hey! Jangan panik okey?"
Entah mengapa detik berikutnya dia malah mengelus kepalaku lembut. Kemudian dia menyuruh anak buahnya untuk menyalin pekerjaanku di flashdisk untuk di cetak di bengkelnya.
"Aku antar pulang, ya La. Kita cari di rumahmu saja dulu. Siapa tahu jatuh atau terselip?"
Aku tak menjawab, hanya menatap pada matanya. Memastikan apakah dia serius atau bercanda.
"K--kau terlihat sangat kacau," ucapnya terbata hendak merengkuh pundakku.
Namun aku menunduk dan menggeser kursi sedikit menjauh darinya. Aku sadar, aku adalah calon tunangan orang.
Ya, baru calon. Karena lamaran secara resmi dihadapan kedua orangtua baru beberapa hari lagi akan dilaksanakan. Namun Mas Ari sudah memberiku sepasang cincin 2 bulan lalu.
Cukup rumit yah?
Aku tahu, berkali Al mengucapkan kalau ia menyayangiku bukan sekedar sahabat. Namun aku hanya menganggapnya sebagai abang, tidak lebih.
Setahun belakangan, aku merasa hubunganku dengan Mas Ari semakin kesini semakin tidak sehat. Entah mengapa, aku kembali mengingat tentangmu, Al. Tentang ucapanmu kalau ....
Ahh ... bodoh. Kau hanya rindu padanya, Mala. Bukan sedang mengingat semua ucapan dan nasihat darinya. Ya, kau hanya rindu.
Al, masihkah kau belum menikah?
Baikkah kabarmu disana?
Masihkah seragam tukang service printer itu melekat ditubuhmu kini?
Apa yang sedang kau lakukan hari ini, Al?
Sedang bersama siapa kini kau?
Apakah kau akan selalu bahagia, meski sehari tak mengganggu hariku?
Ya, kau berjanji begitu di hari terakhir kita bertemu. Setelah semua persiapan pertunangan ku dirasa sudah cukup. Bahkan kau menonjok pelan bahu orang yang sebentar lagi akan menikahiku. Kau ancam dia, akan beri pelajaran jika menyakitiku. Lalu kalian terkekeh, seolah itu lelucon. Meski detik berikutnya kulihat kau bersedih.
Bahkan, hujan hari itu. Kau bilang, kalau dia mengerti jika kau bersedih. Masa seorang Mala tidak mengerti.
"Aku ini sedang cemburu padamu, Mala. Kau tak lihat itu? Hujan saja tahu dan mengerti jika hatiku menangis. Masa seorang Mala tidak mengerti?"
"Jangan mulai, Al." Aku terbahak mendengar ucapannya.
********
Klunting
Sebuah pesan masuk dari Mas Ari ketika aku sedang menunggu jemputannya. Ya, dulu itu Al selalu menemani apapun aktifitasku.
Sekalipun itu, sedang menunggu Mas Ari.
Lalu tiba-tiba hari ini aku merindukannya.
[Maaf, Mala. Kamu bisa pulang naik ojek nggak? Tiba-tiba motor ku ngadat karena jalanan sebagian banjir diguyur hujan.]
Aku hanya menatap pesan itu dengan perasaan yang tak bisa tergambar. Kecewa. Aku sangat kecewa. Karena bahkan saat mau mengambil foto berdua dan juga mencoba gaun saja, dia tak juga bisa.
Sekuat hati aku mencoba kembali menetralkan sakit hati ini. Menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Pikiranku kembali mengingat momen saat Mas Ari php ketika akan menjemput yang selalu berakhir gagal.
Hari terakhir aku berjumpa dengan Al.
"Kenapa?" Tanya Al hari itu. Aku menggeleng.
"Dia tak datang?" Kembali Al bertanya.
"Entah." Aku menaikkan bahuku.
"Oh iya, kapan rencanamu akan berangkat?" tanyaku mengalihkan perhatian.
Yah, menurut Al dia akan pergi untuk waktu yang cukup lama. Dia mau ke luar kota untuk melanjutkan kuliahnya. Kerjaan? Dia ikut pindah cabang di kota tempat dia melanjutkan pendidikan. Biar sambil kerja, kuliah juga tetap jalan, katanya.
"Ehm itu ... sebenarnya sebentar lagi sih, La," ucapnya bingung.
"Ya udah. Kalau begitu aku bantu beli perlengkapan yang kurang saja ya?" Aku menarik tangan Al menuju motornya.
Biar saja hujan ini menjadi hujan terakhir yang terindah menemani hari terakhir kita bersama.
Aku memilih menemani Al berbelanja beberapa kebutuhan yang dirasa kurang.
Aku mencoba tersenyum, mengingat saat duduk di boncengan Al.
Mencoba melupakan rencana yang terusak karena kesibukan Mas Ari. Masih ada hari lain kan?
Mungkin besok, lusa atau mungkin biar saja gaun itu apa adanya saat waktu pernikahan kami tiba nanti.
Aku sudah terlalu malas, sekedar menangis atau bersedih karena memikirkan waktu kami yang banyak terlewat begitu saja. Walau akhir-akhir ini terasa hambar. Bahkan sangat susah untuk sekedar saling berkirim kabar.
********
Krucuk krucuk
Suara perutku. Aku sampai lupa belum makan dari pagi.
Pasti saking asyik melamun ini.
Aku menelusuri jalanan sekitaran toko sambil mencari kedai yang menjual makanan.
Tak sengaja aku menangkap sosok yang sangat ku kenal. Mas Ari? Segera mendekat dan memastikan apakah itu benar dia. Terlihat dia satu meja dengan seorang perempuan. Aku tak pernah melihat perempuan itu sebelumnya.
Di sinikah dia sekarang? Lalu yang tadi katanya terjebak banjir...
Aku semakin mendekat untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan. Mas Ari terlihat menyilakan rambut perempuan itu ke belakang telinga saat menutupi wajahnya. Dan mereka ... tertawa sangat lepas.
Perempuan itu mengusap pipi Mas Ari. Tuhan? Pemandangan seperti apa ini?
Aku tak pernah melihat Mas Ari sebahagia itu. Siapa perempuan itu?
"Mas? Di sini? Terjebak banjir? Di...." Aku mencoba menahan gemuruh di dadaku.
"Dia ... sangat cantik. Tapi siapa dia? Aku gak pernah liat dia sebelumnya. Atau... disinikah banjir itu terjadi, Mas? Sampai terjebak dan gak bisa jalan motor kamu?" Aku bergantian menatap wajah bersalah mereka.
"Ini sih bukan lagi banjir, Mas. Tapi badai tsunami, yang bisa memporak-porandakan semua yang ada disekelilingnya." Ketusku dan menatap wanita itu dengan sengit.
"MALA ...?!"
Mas Ari membentakku seolah tidak suka dengan sindiran halus dariku.
"Oke! Lanjutkan saja terjebak banjirnya dan gak usah pulang sekalian."
Kutinggalkan mereka dengan senyuman mengejek.
Sungguh aku sangat kesal.
"Mala? Aku belum selesai bicara. Dengarkan dulu penjelasanku..." teriak Mas Ari.
"Bang ... biarkan saja dia," ucap perempuan itu menarik lengan Mas Ari saat aku berbalik lagi.
"Oh. Kamu panggil dia Bang!"
"Dan kamu, Mas. Panggil dia apa? Kalau aku gak salah denger, Yang? Kamu panggil dia Yang?" Aku menggeleng dan mengusap air mata kasar.
"Mala!" Sekali lagi Mas Ari memanggil. Namun aku terlanjur kecewa.
Aku memilih pergi dan meninggalkan tempat itu dengan menaiki ojek yang kebetulan mangkal di sekitar situ.
****