Sebuah Misi
Sebuah Misi!
Dua orang gadis sedang bersandar di cover kap mobil mewah, bermerek Bugatti Veyron Biru. Mobil itu sedang terparkir di pinggir pantai di sore hari yang indah. Angin pantai berhembus lembut menerpa wajah kedua gadis yang sedang menikmati keindahan pasir putih dan laut biru.
Seorang gadis lainnya yang memiliki rambut panjang itu sedikit risih karena angin terus memainkan anak rambutnya hingga terasa menggelitik wajah. Dan akhirnya, dia memilih mencepol asal rambutnya hingga berbentuk bun. Dan saat itu juga, Zia menertawakan Nona nya.
"Haha ... Jika Nona Ellina tidak keberatan. Cobalah potongan rambut seperti aku, ini sangat nyaman lho."
Eliina menyingkirkan poni rambutnya kebelakang telinga lalu menggoyangkan telunjuknya di depan wajah Bodyguard pribadinya.
"No no no ... Suamiku nanti tidak akan menyukainya. Lagipula jika aku memilih gaya rambut sepertimu, apa kata orangtuaku? Terutama Mama, habislah aku!" jawab Ellina dengan wajah pias. Kana— ibunya takkan menyukai hal itu dan bahkan akan memarahinya habis-habisan.
Zia kembali menertawakan Nona nya. Dia hanya bermaksud menggoda Ellina, tidak benar-benar serius dengan perkataannya. Zia— seorang gadis yang sangat suka potongan rambut Undercut seperti pria, sangat simple dan terkesan tomboi.
"Ini hampir malam, apa Nona tidak ingin kembali? Aku yakin Nyonya Kana——"
Ucapan Zia langsung terpotong karena suara deringan ponsel milik Ellina.
Ellina langsung menyumpal mulut Zia saat gadis itu hendak buka suara lagi, "Hussst! Jangan berisik, ini Mama!" Titah Ellina dengan pelototan tajam.
"Ekhm," berdehem kemudian mengangkat panggilan, "Halo Ma?"
"Kamu di mana, Sayang? Kenapa belum sampai?"
Eliina melirik Zia tajam sebagai sirat untuk gadis itu diam. Zia sulit sekali berbohong pada kedua orang tuanya untuk segala hal yang menyangkut drinya. Namun, kali ini dia takkan biarkan dirinya di marahi sendirian. Dan sebuah senyum licik pun tercetak di bibir Ellina.
"Tadi Zia mengajakku untuk singgah di pantai, Ma," Ellina memeletkan lidah ke arah Zia yang menatapnya dengan mata membulat. Tentu saja gadis tomboi itu tidak terima dengan tuduhan Ellina, karena menjual namanya. Ellina lah yang memaksa Zia menghentikan mobil saat melihat pantai.
"Tapi, kami hampir pulang, kok, Ma. Setengah jam lagi kami sampai di rumah, aku masih harus ke toko buku dulu sebentar. Bye Ma, aku tutup muaah ...." Lanjut Ellina langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu Kana membalas
"Ayo berangkat!" Ellina dengan santai melenggang masuk ke dalam mobil, tidak memperdulikan Zia yang memperhatikan dirinya sejak tadi. "Zia, cepatlah! Kau tak ingin Nyonya besar bertambah marah padamu, kan?" Teriak gadis itu dari dalam mobil.
"Huh, Reziko menjadi pengawal pribadi Nona Ellina memang sudah begini. Aku bisa apa?" Mengangkat bahu lalu masuk ke mobil.
Hubungan kedua gadis itu sudah seperti sahabat. Hanya saja Zia harus mengingat batasan dan posisinya sebagai Bodyguard Ellina. Dirinya di tunjuk langsung oleh Zaro sejak dia dan Ellina satu sekolah saat SMP dulu. Zia yang memang jago bela diri dan memiliki potensi bertarung yang tinggi, membuatnya memikul tanggung jawab besar semasa sekolah. Karena Zia harus membasmi para wanita yang tidak suka kepada Ellina.
Sering kali Zia masuk ke ruang guru dengan catatan perilaku buruk karena sering mendapat kasus berkelahi dengan siswa ataupun siswi. Gadis itu sudah tidak peduli, dia akan melindungi Ellina sampai kapanpun karena atas dasar amanah yang di berikan oleh ayah Ellina— Zaro.
"Zia, kau punya rekomendasi novel bagus? Aku butuh sesuatu untuk menghibur akhir tahunku," Ellina bertanya tanpa melepas pandangannya dari jejeran buku-buku yang ada di hadapannya.
Zia yang sejak tadi hanya diam memperhatikan di belakang punggung Ellina, tergerak maju dan langsung mengambil sebuah buku secara acak, "Baca yang ini saja, Nona."
Ellina menerima buku itu dan melihat covernya, tak lama tatapan horor langsung tertuju pada Zia, "Apa kau serius memberikan ku buku bacaan ini? Kau gila ya! Umurku baru saja 19 tahun, tapi kau memintaku membaca buku dengan rating 21+!" Dengan kesal Ellina memukulkan buku itu ke kepala Zia. "Ku laporkan ke Mama mau?"
Zia mengelus-elus kepalanya sembari menjawab, "Lagipula salah Nona sendiri kenapa menyuruhku merekomendasikan buku." Ucapnya mengedikkan bahu.
"Haiss! Cepat bantu aku cari novel genre action atau thirller! No romans, aku tidak mau dewasa sebelum waktunya!" Titahnya tegas.
Setelah selesai memilih buku, mereka pun pergi ke kasir dan membayar beberapa buku yang telah melewati seleksi dari Ellina. Setiap buku yang di pilihkan oleh Zia akan di periksa lagi oleh Ellina, jika sudah benar sesuai dengan keinginan gadis itu.
Ellina menerima buku dan berbalik ke arah pintu. Sebelum sempat berjalan, bahu gadis itu tersenggol oleh seseorang hingga membuat Ellina jatuh ke lantai.
"Nona!" Zia segera menghampiri Ellina.
Pandangan Ellina ke arah orang yang menabraknya. Seorang pria yang saat ini sedang mengulurkan tangan padanya.
"Maaf, aku tidak sengaja. Mari aku bantu berdiri."
Seperti terhipnotis, Ellina mau saja menerima uluran tangan dari si pria. Ellina pun berdiri namun, tangan mereka masih belum lepas. Hingga Zia turun tangan melepaskan kaitan tangan itu dengan paksa.
"Dia baik-baik saja, kau boleh pergi!" Usir Zia melirik pintu di punggung pria itu dengan arah matanya.
Tanpa ucap kata lagi, pria tersebut berlalu begitu saja dari hadapan dua gadis itu.
"Nona sadarlah!" Mengguncang bahu Ellina agar tersadar dari lamunan.
"Wah, ternyata ada ya, orang setampan dia. Kau lihat tubuhnya tadi, Zia? Berotot dan pastinya punya banyak roti sobek di perutnya! Ah, benar-benar pangeran berkuda putih Impianku!" Puji Ellina tersenyum senyam sendiri dengan imajinasinya.
Gadis tomboi itu menggelengkan kepala dengan tingkah Ellina, "Siapa ya, tadi yang mengatakan tidak ingin dewasa sebelum waktunya? Ah, aku lupa, ternyata nyamuk yang bicara!" Sindir Zia dengan jelas.
"Sialan kau, Zia! Kau baru saja mengatai ku nyamuk!" Kedua gadis itu kejar-kejaran keluar dari toko buku menuju mobil.
Mobil mereka kembali berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
"Damian Gamaniel. Damian Gamaniel. Damian Gamaniel ...."
Nama itu, terus di ulang-ulang oleh Ellina seperti sedang menghapal tabel periodik saat SMA dulu. Namun, hal itu membuat kefokusan Zia menyetir menjadi terganggu. Hingga Zia tak tahan lagi dan bertanya.
"Dari tadi kau menjadi aneh menyebutkan nama Damian Gamaniel. Sebenarnya dia itu siapa?" Tanya Zia dengan kesal. Dia dalam mode teman karena tak memanggil Ellina dengan embel-embel Nona.
"Itu nama orang tampan tadi," jawab Ellina dengan cengiran lebar.
"Darimana kau tau itu namanya? Kau meramal, ya?" Tentu saja gadis itu heran.
Dengan polosnya, Ellina menunjukan sebuah kartu pada Zia. "Dari sini hehehe ... Kartu nama milik pria tadi tak sengaja jatuh dan aku langsung mengambilnya. Pintar kan, aku?" Ellina mengedipkan sebelah mata.
Zia tak mampu lagi membalasnya. Dia hanya menepuk jidat dan mulai tak memperdulikan Ellina. Sudah lihat betapa absurd nya Nona nya, kan? Ini belum seberapa dibandingkan jika kalian menjadi bodyguardnya langsung, pasti kalian akan sama tertekannya seperti Zia.
Untung saja Zia perempuan bermental laki-laki. Tidak baperan, banyak stok kesabaran, dan pastinya setia kawan!
Tiba di mansion kediaman Xander.
Terlihat tiga orang sedang berkumpul di meja makan dan sedang menikmati makan malam layaknya sebuah keluarga. Seorang gadis makan dengan sangat lahap hingga sosok wanita yang terus memperhatikannya sejak tadi menghela napas.
"Ellina, pelan-pelan saja makannya, Nak. Lihat mulutmu penuh tapi, kamu terus mengisinya." Omel sang ibu— Kana dengan tatapan lembut.
Ellina pun tersenyum pada Kana kemudian menurunkan kecepatan makannya, "Iya, Mama ... Tadi Ellina kerasukan setan lapar." Bisa-bisanya gadis itu melontarkan candaan di tengah makan malam.
Sementara Zia— gadis itu seperti tuli dan buta seketika. Sudah cukup, dia tak ingin ikut campur masalah yang seperti ini.
"Oh, ya? Kalian berdua sudah menentukan universitas yang akan kalian masuki?" Tanya Kana karena teringat hal itu.
"Aku sudah memutuskan untuk tidak akan lanjut sekolah lagi, Ma. Aku ingin jadi pengangguran sa—"
"Husst, Nona ... " Zia langsung menutup mulut Ellina saat itu juga dengan satu tangannya. Zia sangat tahu betapa besarnya harapan Kana untuk
melihat keberhasilan anaknya dalam bidang akademik. Dan satu-satunya orang yang dia percayai tentu saja anak semata wayangnya— Ellina. Dan dengan mudahnya Ellina mengatakan tidak akan lanjut kuliah.
"Maaf Nyonya. Sebenarnya, Ellina dan aku sudah mendaftar tempat kuliah yang kami inginkan, kok. Dan minggu depan adalah jadwal untuk ujiannya." Jelas Zia dengan tenang. Kana bernapas lega mendengarnya.
"Syukurlah, aku harap kalian berdua bisa lolos dalam ujian itu," Jawab Kana.
"Tapi, Mama ... Aku serius tidak ingin kuliah. Biarkan aku menjadi apa yang aku inginkan, please ...." Ellina mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, memohon pada wanita yang dia sayangi.
"Nak, kamu tidak boleh menyia-nyiakan masa mudamu. Menuntut ilmu itu sangat penting loh, masa anak cantik Mama jadi pengangguran?"
Wajah Ellina cemberut dan langsung berdiri dari duduknya, "Daddy ada di mana! Daddy!" Lalu berlari keluar dari ruang makan dengan berteriak memanggil-manggil Daddy-nya— Zaro.
Waktu telah menunjukkan pukul tengah malam. Semua orang mungkin sudah terlelap dalam tidurnya, namun tidak untuk seorang pria yang sedang berjalan menuju ke suatu tempat, lebih tepatnya ke sebuah kamar. Pria itu baru saja pulang dari bekerja dan mengurus berbagai macam urusan penting.
Suara pintu kamar yang terbuka di malam hari mungkin terdengar horor bagi siapapun yang mendengarnya. Untung saja si pemilik kamar telah tertidur sangat pulas dan hanya menunjukkan reaksi mengeliat hingga ke samping tempat tidurnya.
Sosok pria itu kini telah sampai di samping tempat tidur. Dan melihat gadis di hadapannya dengan seulas senyum tipis.
"Apa kabar Anak kesayangan, Daddy?" Zaro berjongkok dan memperbaiki posisi tidur Ellina. Kemudian duduk di bibir tempat tidur dengan tatapan tak lepas dari wajah putrinya.
"Kamu merindukan Daddy? Maaf Ell, Daddy mungkin tidak bisa selalu ada di samping kamu. Tapi, Daddy berjanji akan melindungi kalian berdua dari apapun yang akan melukai kalian. Kamu akan selalu menjadi putri kecil Daddy yang manja," Di akhir kalimatnya, Zaro memberikan sebuah kecupan di kening Ellina. Penuh kasih sayang seorang Ayah. "Good Night, Baby."
Dan setelahnya, Zaro keluar dari kamar Ellina. Tidak ingin mengganggu waktu istirahat putrinya terlalu lama.
***
"Ayolah Nona, kita harus segera masuk ke ruangan. 10 menit lagi ujian akan di mulai!" Zia memanggil Kana yang masih tinggal berlama-lama di dalam mobil. Padahal mereka telah sampai parkiran kampus sekitar beberapa saat lalu.
"Itu masih sangat lama, Zia. Kamu tau 10 menit sama dengan 600 detik. Santai saja oke?" Ellina kembali duduk bersantai dengan kaki yang di angkat di dasboard mobil.
"Oke, kalau begitu aku akan menelfon Nyonya!"
"Hei! Ya, Baiklah ayo kita pergi!" Ellina turun dari mobil dan menutup keras pintu mobil. Zia tersenyum dan langsung mengikuti langkah Ellina masuk ke gedung kampus.
Proses ujian berlangsung sekitar 1 jam lebih dan Ellina betul-betul tidak betah berada di ruangan. Dia dan Zia berpisah kelas ujian jadi, Ellina lebih leluasa untuk berbuat semaunya. Semua orang sibuk mengerjakan soal namun, Ellina malah tidur dalam kelas.
"Kau masih hidup?"
Seseorang menepuk mejanya hingga Ellina dengan terpaksa bangun dari tidurnya. Dia menguap lebar dan pelan-pelan menatap orang yang membangunkan nya dengan tajam.
"Kau siapa?" Tanya Ellina.
"Namaku Willy, dan kau bisa memanggilku Willy. Kulihat sejak tadi kau tertidur, apa kau telah mengerjakan semua soal-soal ujian?"
Sontak pandangan mata Ellina ke depan— komputernya. Nihil, semua soal itu hilang dan hanya layar gelap yang dia jumpai, "Aku bahkan tidak mengerjakan satu soal pun," jawabnya sangat santai.
"Hooh Hebat! Kau memang manusia jenius yang pernah ku temui. Kalau begitu sampai jumpa di hari pengumuman, bye!" Willy berlalu setelah melambaikan tangan singkat pada Ellina.
"Yes, rencanaku berhasil. Aku pasti tidak lolos!"
Di dalam mobil, tak ada percakapan di antara kedua gadis itu. Mereka saling diam setelah bertengkar di kelas Ellina tadi. Apalagi jika bukan karena Ellina yang tidak mengerjakan soal ujian.
"Zia, bawa aku ke tempat yang menyenangkan. Aku harus sedikit bersantai setelah bertatapan dengan soal-soal yang membuatku sakit kepala tadi," perintah Ellina.
"Katakan Nona ingin kemana?" Tanya Zia singkat. Dia memilih tak membahasa hal yang tadi lagi. Biarkan itu menjadi urusan nanti.
"Kudengar di pusat kota sedang di adakan sebuah festival bunga sakura penyambutan musim semi, kan? Ayo ke sana!" Ucap Ellina dengan binar wajah semangat.
Dan keinginan sang Tuan putri di kabulkan. Saat ini, kedua gadis itu sedang berdiri di atas jembatan sembari melihat ke bawah sana, di mana orang-orang sedang ramai merayakannya festival bunga sakura bersama keluarga ataupun pasangan. Niatnya, Ellina juga ingin ikut berkumpul dengan keramaian pengunjung festival namun, Zia melarangnya karena katanya akan berbahaya berada di sana. Jadinya, Ellina hanya bisa menyaksikan dari atas sini.
"Zia, tolong ambil fotoku dengan background bunga sakura ya, aku ingin mengirimkannya pada Daddy." Pintanya menyerahkan posel pada Zia. Dia langsung bergaya siap untuk di foto.
Beberapa gambar telah, di ambil. Namun, Ellina masih belum puas dan meminta sekali take lagi. Gadis itu memasang gaya imut dengan dua tangan membingkai wajah cantiknya.
"Cekrek!"
Zia selesai mengambil dan langsung melihat hasil fotonya. Saat gadis itu memperbesar gambarnya, tatapannya menangkap sesosok orang sedang berada di atas pohon sakura. Dan hal yang paling membuatnya panik adalah sosok itu sedang memegang senjata yang mengarah ke mereka.
"Bagaimana dengan hasilnya? Apa bagus atau perlu ku ulang lag—" Ucapan Ellina belum selesai namun, tangan gadis itu langsung di tarik hingga berjongkok.
Dor!
"Aaaakh!" Suara teriakan panik langsung terdengar dari orang-orang pengunjung Festival saat mendengar suara tembakan itu.
Mata Ellina menuju ke sebuah peluru yang tertancap di sebuah besi pembatas jembatan.
"Seseorang tengah memata-matai kita, Zia." Suara Ellina berubah berat dan serius, "Dia mengincar ku!"
"Kita harus segera pergi dari sini, Nona. Kita akan berlari pada hitungan ketiga ke kerumunan orang-orang menuju ke mobil," Ellina mengangguk, "Tolong tetap berlari setengah menunduk. Dan tetap di sampingku, Nona."
"Aku tau, Zia."
Dan pada hitungan ketika kedua gadis itu langsung berlari turun dari jembatan dan ke kerumunan orang-orang yang juga sedang berlari-larian. Genggaman Zia di tangan Ellina mengerat karena mereka harus berdesak-desakan dengan banyak orang agar bisa keluar dari tempat festival tersebut.
Suara tembakan terdengar lagi. Kali ini dua kali tembakan peluru telah melesat dan melukai orang-orang. Festival itu berubah kacau balau dan berantakan karena aksi itu.
Di tengah-tengah kericuhan itu, Dua gadis itu akhirnya berhasil keluar dari tempat itu dan masuk ke dalam mobil secepatnya. Zia menyalahkan mobil dan segera menunjukan kendaraannya pergi dari sana.
Helaan napas lega terdengar dari Zia saat dia merasa telah jauh dari Lokasi itu. Dia melirik Ellina sejenak, "Nona Ell baik-baik saja?"
"Kira-kira siapa mereka? Kenapa mereka mengincar ku?" Tanya Ellina balik tanpa menjawab Zia.
"Dari mana Nona tau jika orang itu mengincar anda?"
Ellina melirik Zia, "Daddy yang mengatakan aku mempunyai banyak musuh, dan orang itu mungkin salah satunya." jelasnya membuat Zia menghela napas.
"Huh, ini akan sulit. Untuk saat ini kita belum bisa memastikan siapa orang itu, Nona. Tapi, Nona jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan mereka berhasil melukai Anda." Janji Zia dengan jelas.
Ellina tersenyum tulus sembari menepuk bahu gadis di sampingnya, "Tapi, kau juga harus memperhatikan keselamatanmu, Zia. Aku bisa kok, melindungi diriku sendiri."
Zia menggenggam tangan Ellina di pundaknya. Sembari tersenyum dia menjawab, "Ini sudah menjadi tanggung jawabku, Nona. Tenang saja."
Mereka tiba di mansion. Ellina langsung menarik tangan Zia menuju ke kamarnya saat gadis itu hendak menuju pada Kana.
"Nona, kita tidak bisa menyembunyikan masalah ini. Orang tua Nona harus tau sebelum semua menjadi semakin parah," kata Zia saat di kamar Ellina.
"Ya, aku tau itu. Tapi, jangan sama Mama. Dia bukan orang yang tepat untuk tau hal yang seperti ini. Mama pasti shock." Mohon Ellina. Gadis itu lebih memilih bungkam dan memendam masalahnya sendiri dibandingkan harus menceritakannya pada Kana.
Zia menyisir rambutnya kebelakang dengan tangan, "Baik, Nona tenang saja. Aku tidak akan menceritakannya pada Nyonya," Zia membuka pintu kamar dan mulai melangkah pergi.
"Lalu kau mau kemana, Zia!" Teriak Ellina dengan perasaan was-was.
"Pergi ke orang yang tepat untuk tau masalah ini!" Balas gadis itu menghilang di tikungan lorong mansion.
Dan orang itu tak lain adalah Zaro. Zia menemui Zaro di kantornya di siang itu. Kini gadis itu duduk berhadapan dengan Zaro dalam ruang kerja tersebut.
"Ada apa kau menemui ku, Zia?" Zaro membuka pembicaraan di karenakan gadis di hadapannya hampir berdiam diri selama 2 menit.
Zia tersadar dan tersenyum gugup di hadapan Zaro, "Jadi begitu, Tuan. Aku ke sini untuk menceritakan sebuah kejadian saat kami berada di festival bunga sakura. Di sana——" Zia menjelaskan secera rinci mengenai aksi penembakan itu.
Dan lihatlah, reaksi yang Zaro tunjukkan terlihat sangat jelas jika Pria itu tengah menahan amarah di balik genggaman tangannya.
"Berani-beraninya mereka! Aku takkan membiarkan orang yang ingin melukai putriku lepas dari genggamanku!" Zia sedikit terkejut saat Zaro memukul meja, "Dan kau Zia. Tetap, pastikan putriku baik-baik saja. Jangan menahan diri lagi, tunjukan kemampuanmu!'"
"Baik, Tuan Zaro."
***
Seorang pria tengah bersimpuh di hadapan seorang pria berusia hampir 50-an tahunan yang duduk di atas kursi di tinggi layaknya singgasana. Pria itu memiliki bekas luka di pipi kanannya, luka yang berbentuk memanjang hingga hampir mencapai telinga.
"Maafkan saya, Tuan Mario. Saya tidak berhasil membunuh gadis itu." Pria itu menundukkan kepalanya saat melihat tatapan maut dari pria bernama Mario. Dialah Bos besar yang sangat di takuti dalam Sniper's, kelompok pembunuh bayaran yang sangat rahasia.
"Hahaha ... Lalu apa lagi yang kau tunggu? Kau gagal dalam misi dan itu artinya kau harus menebus kegagalanmu dengan menghilangkan satu anggota tubuhnya kan?" Mario tersenyum smirk di sertai tawa.
"Tuan, tolong ampuni saya. Beri satu kesempatan lagi untuk saya, please Tuan!" Pria itu semakin panik saat melihat dua orang pria sedang menuju ke arahnya. Salah satu dari mereka memegang sebuah pedang tajam. "Tuan Mario, Ampun! Tuan!!!" Teriaknya.
Dia tak dapat lagi melarikan diri karena satu orang pria memegangi tubuhnya agar tidak memberontak dan satu pria lainnya bersiap dengan pedangnya yang di anggkat tinggi. Trakck! Jari kelingking kiri pria tersebut terputus dari tangannya. Pria itu lantas menangis karena sakit dan perih.
"Bawa pria tidak becus itu ke tempat penyiksaan satu Minggu. Setalah itu, kembalikan dia ke tahap satu! Dia harus di ajarkan cara seorang penembak bekerja agar berhasil dalam misi!" Titah Mario dengan nada tinggi. Memandang lemah salah satu anggota penembaknya yang telah kehilangan satu jari.
"Baik, Tuan!" Dua orang itu pun berlalu membawa pria itu ke tempat penyiksaan.
"Kau!" Mario menunjuk seorang penjaga berdiri di pintu ruang masuk. Penjaga itu pun menghampiri Mario.
"Saya Tuan?"
"Panggilan Damian dan Jordan kemari, cepat!"
Penjaga itu pergi dan tak lama dua sosok pria tiba di ruangan tersebut dan menunduk hormat pada Mario.
"Anda memanggil kami berdua, Tuan?" Jordan membuka suara lebih dulu.
"Ada perintah apa Tuan memanggil kami?" Kini Damian yang berucap.
"Sudah waktunya kalian melakukan misi," Mario tersenyum penuh arti pada dua sosok pria di hadapannya. Bagi Mario, Damian dan Jordan adalah aset terbaik yang dia miliki. Kemampuan mereka tak perlu di tanyakan lagi dengan kekuatan mereka hampir setara.
"Kami siap melakukan misi, Tuan!" Ucap keduanya dengan tegas.
"Bagus! Misi kalian adalah membunuh seorang gadis yang gagal di bunuh Victor," yang Mario maksud barusan adalah pria yang menerima hukuman tadi. "Ini foto gadis itu. Lihatlah baik-baik dan simpan wajah itu di ingatkan kalian!" Mario melemparkan selembar foto yang terbang di udara kemudian jatuh di lantai di depan Damian dan Jordan.
Damian memungutnya dan menatap intens foto tersebut. Seketika ingatannya kembali ke beberapa hari yang lalu. Rasanya dia pernah bertemu dengan gadis di foto itu.
"Pergilah dan bawakan aku berita kematian gadis itu secepatnya!" Ucap pria tua itu sembari tertawa.
"Baik, Tuan Mario! Kami permisi!" Jordan menjawabnya begitupun dengan Damian, lalu mereka keluar dari sana.
-Bersambung.....