Firasat

1706 Kata
Ada seorang gadis cantik masih tertidur pulas di dalam selimut tebalnya. Gadis itu tak ingin tau sekarang jam berapa, yang dia inginkan hanya tidur untuk waktu yang lama. Tidak, sampai ketika suara dering ponselnya mulai mengusik ketenangannya. Awalnya dia mengabaikan suara berisik itu, tapi tidak ada tanda-tanda si penelpon akan menyerah untuk menelponnya. Gadis itu menutup kedua telinga dengan boneka sapi besar miliknya, sayangnya tetap saja suara ponselnya masih jelas kedengaran. Akhirnya dengan terpaksa dia mengeluarkan tangan dari selimut meraba-raba ponselnya di atas nakas, setelah mendapatkannya dia pun menerima panggilan tersebut tanpa melihat nama si penelpon. "Ini sudah jam berapa Nona? Kita akan terlambat untuk penerimaan mahasiswa baru jika Non—" Tut Tut Tut Belum sempat Zia menyelesaikan ucapannya, Ellina telah lebih dulu mengakhiri panggilan secara sepihak. Gadis tak bersalah itu malah kembali memeluk nyaman boneka sapinya di dalam selimut dan mencoba untuk tidur. Hampir saja Ellina bermimpi lagi, jika saja pintu kamarnya tidak di buka dengan suara kencang hingga membuat Ellina sedikit terkejut. "Nonaaa!!!" Pekik Zia yang sudah tidak tahan lagi. Gadis itu sejak tadi menunggu di luar kamar, mencoba bersabar bersikap sedikit sopan dengan membiarkan Ellina mandiri untuk bangun dan melakukan semuanya tanpa dirinya yang harus turun tangan. Namun, sepertinya cara itu tidak akan berhasil karena Ellina adalah gadis pemalas dan keras kepala. Zia menghampiri ranjang, menarik selimut yang menutupi Ellina dan melemparnya hingga jatuh ke lantai. "Tidak ada lagi kompensasi. Pilihannya kamu berjalan sendiri ke mandi atau aku menyeretmu secara paksa?!" Pekiknya karena kehabisan stok kesabaran. Mengurus Ellina memang tidak semudah yang di pikiran kalian. "1... 2... " Zia mulai menghitung karena Ellina yang tak kunjung bergerak. Dan yah, bisa di tebak Ellina tidak terpengaruh sama sekali. Zia menarik napas panjang dan menghembuskan nya kasar, "Nona Ell, kau tau aku tidak main-main dengan ucapan ku kan?" Ucapnya dengan sirat peringatan yang terkesan dingin. Dengan mata setengah terpejam Ellina berdecak kesal lalu bangun dengan gaya malas-malasan. Dia menguap lebar setelah duduk lemas, "Engh Yaakh! Kau sangat cerewet! Jika saja aku memegang senjata, aku akan langsung menembak mu!" Ucapnya spontan dengan tatapan menyipit. "Apa kau yakin, Nona?" Zia memangku tangan dengan ucapan menantang. "Hahaha aku hanya bercanda, Zia. Baiklah - baiklah ... Aku akan ke kamar mandi." Kekehnya di sertai senyuman jahil khas Ellina. Dia bangun dan berjalan ke arah Zia, "Tolong siapkan pakaianku yah, pengawal ku TER-CIN-TAH." Bisiknya sembari menekan kata "Tercinta" lantas berlari cepat ke kamar mandi lalu menguncinya. Ellina harus waspada setelah menggoda Zia, gadis itu pasti akan membalasnya karena ucapannya tadi. Zia sangat geli dengan kata-kata seperti itu. "Ellinaaaa!!!" Teriak Zia di tempatnya. Dia bergidik geli dengan memperhatikan kedua tangannya di mana bulu kuduknya berdiri seketika, "Astaga aku merinding. Hais... anak nakal itu!" Ellina bersandar nyaman di kursi mobil dengan mata yang terpejam. Dia mencoba mengabaikan Zia yang menatapnya dengan tatapan elang seperti ingin memangsanya saat itu juga. Merasa mobil itu tak akan jalan, Ellina akhirnya membuka sebelah mata melirik Zia. "Tunggu apa lagi? Ayo jalan, kita bisa terlambat ke kampus, Zia." Ucapnya dengan santai. "Kau sedang bercanda, Ellina?" Balas Zia dengan helaan napas. Ellina beralih membuka mata dengan kedua alis nyaris menyatu, dia menunggu lanjutan perkataan gadis di depannya. "Apa kau kehabisan stok pakaian dalam lemari mu hingga kau memakai baju kurang bahan seperti ini, hah? Kau lupa kita akan ke kampus Ell! Untuk apa kau berpakaian terbuka begini?!" Teriak Zia emosi. Dia benar-benar tidak tahan lagi. Tahukan betapa lelahnya dia sekarang yang sejak pagi telah direpotkan oleh Ellina. Sekarang gadis itu kembali berulah dengan memakai dress merah yang nyaris mempertontonkan setengah dari punggung mulusnya. Betapa gilanya Ellina. "Apa? Kenapa? Apa yang salah dengan pakaianku? Ini dress kesukaanku, Zia." Zia tertawa lelah membenturkan kepalanya di stir mobil. Tidak lama lagi dia akan gila sepertinya. "Aku tidak akan marah. Jadi sekarang turun dan ganti pakaianmu, Ell." Ellina tersenyum manis dan memperlihatkan layar ponselnya pada Zia, "Ahhh, tapi kita sudah kehabisan waktu. Bagaimana kalau kita jalan saja sebelum terlambat di hari penting ini? Daripada aku berubah niat untuk tidak datang, pasti usaha mu dan Daddy akan sia-sia untuk menguliahkan ku. Benar bukan?" Ucapan Ellina berhasil membuat Zia yang hendak bicara bungkam seketika. Ellina tersenyum lebar pada pengawal pribadi sekaligus sahabatnya itu. Dia tentu saja tau jika kelulusannya di universitas ini adalah karena Daddy-nya yang pasti melakukan segala cara agar dia bisa di terima. Padahal di hari ujian Ellina sama sekali tidak mengerjakan satupun soal di komputer, jadi tidak ada jaminan dia akan lulus jika kampus tersebut menilai dari kemampuan kognitif seseorang. Tapi, semuanya bisa beres jika menyangkut tentang uang bukan? Entah berapa besar yang Daddy-nya keluarkan untuk membuatnya menjadi mahasiswi resmi di sana. "Huffft ... Oke, kita berangkat." Hembusan napas panjang Zia mengakhiri perdebatan itu. Namun, Ellina lebih tau jika Zia tidak tau harus membalas perkataannya bagiamana. Percuma saja mengelak jika kebenarannya telah Ellina ketahui. Kedatangan Ellina langsung menjadi sorotan di tengah-tengah gedung Aula kampus yang hampir terisi penuh oleh mahasiswa-mahasiswa baru. Ellina tidak begitu perduli dengan banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya, dia kemudian duduk di bangku barisan paling belakang di susul dengan Zia yang senantiasa berada di sampingnya. Ellina melirik Zia yang mengenakannya sebuah jaket ke punggungnya. "Tuan Zaro akan marah saat mengetahui putrinya mempertontonkan punggungnya pada orang-orang. Terutama pada para buaya yang seperti ingin menerkam Nona, jadi kenakan ini." Ellina mengedikkan bahu tidak peduli, "Aku tidak perlu takut. Bukankah aku punya pengawal pribadi paling handal melindungiku?" "Yah, Nona Ellina selalu benar. Terserah apa katamu saja." Acara penerimaan mahasiswa baru di universitas tersebut pun usai di laksanakan. Terlihat para mahasiswa satu persatu mulai meninggalkan ruang aula setelah mendapat arahan untuk pergi ke fakultas masing-masing di arahkan oleh beberapa seniornya. Begitu juga dengan Ellina dan Zia yang sekarang sedang menuju ke sebuah gedung fakultas seni tepatnya jurusan kelas musik. Yah, tak ada jurusan yang cocok bagi Ellina selain kelas musik. Dia hanya berbakat di bidang tersebut di banding jurusan yang lainnya, dan hal tersebut membuat Zia harus mengikuti Ellina masuk jurusan itu walaupun dia tak begitu mahir menggunakan berbagai alat musik. Zia pun tak begitu peduli, tujuannya kuliah hanya agar bisa melindungi Ellina dari dekat. Kelompok mahasiswa baru jurusan musik bersama-sama berjalan menuju gedung hingga akhirnya mereka tiba di sana. Mereka di arahkan oleh senior masuk ke dalam kelas dan mencari tempat duduk masing-masing. "Oh, gadis jenius?" Ellina dan Zia yang duduk bersebelahan sontak menoleh ke sumber suara seorang laki-laki yang terdengar menyapa seseorang. Ternyata Laki-laki itu sedang tersenyum seraya melambaikan tangan menyapa Ellina. Ellina mengernyit lalu Zia menyipitkan mata tanda curiga. Laki-laki itu menaruh buku bacaan miliknya di meja Ellina lalu memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit miring kemudian berkata, "Kau lupa padaku? Aku Willy_ orang yang menyapamu saat ujian waktu itu. Astagaa ternyata ingatanmu sangat buruk,," Willy berdecak dengan gelengan kepala. Ellina akhirnya mengingat siapa laki-laki di hadapannya. Tidak mungkin dia lupa pada laki-laki berkacamata yang mengganggu tidurnya waktu itu. Ellina bisa menebak laki-laki itu seorang kutu buku dan mungkin saja cupu, penampilannya yang sedikit kuno sudah menjelaskan semuanya. "Aku ingat, kok." "Baguslah. Aku kira kau tidak akan lolos masuk universitas ini, ingatkan hari itu kau tidak mengerjakan satu soal pun dan malah asik tidur? Hahaha... Tapi siapa sangka sekarang kau di sini dan kita sekelas." Ucap Willy bersemangat. Tapi tiba-tiba dia terdiam dengan wajah serius, "Tapi ini sedikit aneh. Bagaimana bisa kau lolos tanpa mengerjakan ujian? Hm... Sepertinya ada yang tidak beres?" Willy menatap Ellina dengan tatapan curiga. Meneliti penampilan gadis di depannya dari atas ke bawah seakan-akan dia seorang polisi yang mencurigai seorang pencuri licik. Tanpa di sadari, Zia sudah bergerak mencekik kerah kemeja Willy dan mendorong tubuh laki-laki itu hingga membentur meja di belakangnya. Hal itu membuat kelas yang tadinya tenang sekarang gaduh. Mereka semua mengalihkan pandangannya pada dua orang yang terlihat tidak baik-baik saja. "Aku tau Kau pasti punya maksud lain mendekati Nona Ellina? Katakan siapa yang menyuruhmu?!" Zia setengah berbisik mengatakannya di telinga Willy. Namun, dari nada bicara Zia yang dingin dan tajam sudah pasti dia tidak sedang bercanda sekarang. "Aa_ Apa Maksudmu? Lepaskan, aku tidak mengerti yang kau katakan!" Willy menggeleng keras dan berusaha melepaskan zengkraman tangan Zia. Tapi siapa sangka jawaban laki-laki itu membuat Zia malah mengeratkan cengkramannya dan membuat Willy tambah kesakitan, "Uhuk... Uhuk ... Ak— aku tidak bisa bernapas—" "Zia hentikan dia bisa mati!" Beruntunglah Ellina segera menarik tangan Zia sehingga mau tak mau dia melepaskan Willy. "Apa yang kau lakukan, Zia?" "Ada apa ini!?" Salah seorang senior Wanita masuk ke dalam kelas dan melihat masalah apa yang terjadi. Sontak semua orang kembali duduk di tempat kecuali Ellina, Willy, dan Zia. "Apa yang terjadi? Kalian bertiga berkelahi?" Tanyanya. "Tidak ada Kak, hanya kesalahan pahaman kecil. Semua baik-baik saja." Ellina menjelaskan. "Baiklah. Aku harap kalian tidak membuat masalah di hari pertama kalian resmi menjadi mahasiswi baru di sini. Jika hal itu terjadi, kalian akan mendapatkan sanksi hukuman atas kelakuan kalian!" Tarang senior kemudian dia berlalu keluar dari kelas. Setelahnya, Willy melirik sekilas Ellina dan Zia kemudian pergi untuk duduk di kursi paling belakang. Ellina merasa tak enak hati lalu memutuskan menarik Zia keluar dari kelas. Dia harus mengetahui alasan Zia berbuat seperti itu pada Willy. Mereka masuk ke dalam toilet umum wanita. "Ada apa denganmu, Zia? Kenapa kamu melakukan itu pada Willy? Apa salahnya?" Tanya Ellina. Zia menatap Ellina lekat dan berkata, "Nona harus menjauh dari laki-laki itu. Aku punya firasat dia salah satu orang yang dikirim musuh untuk memata-matai Nona." "Apa?" Ellina tentu saja terkejut dengan ucapan Zia. "Kau yakin dengan ucapanmu? Tapi, bisa saja firasatmu itu salah Zia. Kau tak bisa menarik kesimpulan jika semua orang yang mendekatiku adalah musuh." "Maaf Ellina, tapi aku hanya ingin melindungimu. Setelah peristiwa penembakan tempo hari, situasinya sekarang berubah. Semua hal buruk bisa saja terjadi. Kita tidak tau siapa saja musuh, mungkin saja mereka sekarang ada di sekitar kita bahkan lebih dekat. Jadi tidak ada salahnya untuk menjauh saja dari laki-laki itu, Ell." Ellina memijit pangkal hidungnya. Yang di katakan Zia ada benarnya, dia tidak bisa menyangkalnya. Musuh bisa saja menyamarkan diri mereka dan berusaha untuk mendekatinya. Tapi, apakah Willy termasuk orang yang harus dia jauhi? "Hm, aku mengerti kekhawatiran mu, Zia. Aku akan lebih berhati-hati," Ellina mengatakannya agar Zia tenang lebih dulu. Dia tau gadis di hadapannya hanya ingin melindunginya dan tak ingin hal buruk terjadi padanya. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN