Seorang pria sedang serius latihan menembak di sebuah ruangan khusus. Menghabiskan waktu hampir satu jam di sana seorang diri. Namun, tiba-tiba ada seorang pria lainnya masuk ke dalam ruang latihan dan mendekat pada pria penembak itu.
"Aku sudah dapat informasi lengkap tentang gadis itu," ucap pria yang baru masuk. Dia meletakkan sebuah dokumen di atas meja yang ada di dekatnya lalu memandang pria yang tak lain Damian. Pria itu masih saja fokus dengan kegiatannya, tak menghiraukan Jordan di dekatnya. "C'mon Damian. Kau tidak tertarik untuk membacanya? Bukahkah kita harus bergerak cepat untuk menyelesaikan misi ini?"
Ucapan itu berhasil membuat pria yang bernama Damian menghentikan tembakannya. Dia melepas kaca mata tembak lalu berbalik menatap pada temannya. Lantas dia mendekat merampas air mineral yang ada di meja kemudian meneguknya hingga tersisa setengah.
"Kau sepertinya sangat tertarik dengan misi ini. Apa dia spesial? Bukankah sama saja dengan target kita lainnya?" Komentar Damian sembari menyeka keringatnya dengan handuk kecil, lalu handuk bekasnya di lempar asal ke arah Jordan yang hendak merespon ucapannya.
Jordan menangkap handuk itu, kemudian berkata, "Tepat sekali, dia memang target yang spesial, Dami."
"Aku baru saja berbicara dengan Ayah, dia bilang jika kita berhasil membunuh gadis ini Ayah akan memberikan posisi pemimpin organisasi kepada salah satu di antara kita. Bukankah ini hadiah yang sangat menggiurkan?" Binar mata Jordan terpancar jelas setelah mengatakannya.
Panggilan ayah yang di berikan Jordan adalah sebutan untuk Mario. Jordan sendiri adalah sosok pria yang juga di angkat sebagai anak oleh Mario sewaktu Damian berumur tepat 15 tahun. Jordan yang 2 tahu lebih tua di banding Damian sangat menyayanginya dan telah menganggapnya seperti adik kandung. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk latihan bahkan menjalankan misi-misi lainnya. Ketangkasan keduanya hampir sama, hanya saja Damian masih lebih unggul daripada Jordan yang telah menghabiskan masa kecilnya dengan berlatih keras sehingga dia nyaris sempurna.
"Hm good, aku akan bawa dokumen ini ke kamar. Sampai nanti." Damian tersenyum singkat pada Jordan atas informasi itu, tak banyak berkomentar. Dia mengambil map di atas meja lalu melenggang pergi dari ruang latihan meninggalkan Jordan yang menghela napas lelah.
Jordan sudah berekspektasi jika Damian akan senang mendengar kabar itu. Tapi, melihat hasilnya tidak seperti dugaannya Jordan tak habis pikir kenapa dengan adiknya itu.
Ketika malam harinya, Jordan yang sedang fokus menyetel senapan jarak jauhnya di atas gedung, mengalihkan pandangannya kebelakang ketika mendengar suara langkah kaki. Jordan tersenyum menyambut kedatangan Damian. "Kau di sini?"
Damian duduk di dinding pembatas memperhatikan Jordan yang kembali merakit senapannya.
"Aku sudah membacanya," ungkap Damian.
Jordan melirik Damian, "Baguslah, lalu?"
"Kapan kita akan mulai bergerak?"
Perkataan Damian berhasil membuat senyum Jordan tercetak jelas di wajahnya. Mengganti posisi berdiri tegak sepenuhnya, "Besok. Jadi persiapkan dirimu malam ini, Dami. Kita akan berburu!"
***
Ellina menatap bosan pada Dosen yang sedang menjelaskan tentang sejarah musik di depan kelas. Itu pertanda jika Ellina tidak tertarik sama sekali. Beberapa kali dia menguap, memangku wajah malas dan berniat untuk tidur.
"Ellina, jangan tidur!"
Ah, tidak. Niatnya batal karena Zia yang tengah duduk di sampingnya sedang melotot padanya dan berseru dengan bisikan tajam.
"Siapa yang tidur? Aku hanya bosan." Balasnya acuh tak acuh. "Lagipula dosen itu menjelaskan sejarah musik yang sudah aku baca lebih dari 10 kali. Bagaimana aku tidak bosan sekarang? Bahkan kalau aku di suruh menceritakannya, aku bisa lebih baik dari pada Pak Felic. Sangat monoton." Ocehnya menguap lagi.
Zia memutar mata, salah satu sifat Ellina yang selalu membuatnya jengah adalah keangkuhan nya. Dari kata-katanya saja, Ellina membuktikan jika dia lebih hebat dari semua orang. "Terlalu memuji diri!" Ucap Zia hanya dengan gerakan mulutnya saja. Dia tak ingin ambil resiko terkena amukan Ellina karena sudah mengata-ngatainya.
Tak lama dari itu, waktu istirahat akhirnya sampai. Sosok Ellina yang sejak tadi 3 L (Lemah), (Letih), (Lesu), mendadak berangsur-angsur pulih menciptakan lengkungan senyum tipis di wajahnya. Setelah Pak Felic keluar dari kelas akhirnya dia bisa merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
Ellina berbalik menatap Zia. "Kita sekarang bisa pulang, kan?" Tanyanya pada sang pengawal pribadi.
"Apa maksud, Nona? Masih ada satu mata kuliah siang nanti, kita akan pulang setelah itu." Balas Zia menggelengkan kepala. Dia mendengar Ellina mendengus kesal dan bersandar lesu di kursi. Melihat Nonanya seperti itu, Zia sedikit mengiba. "Bersabarlah, Ell. Bagaimana kalau kita ke kantin makan siang? Aku tau kamu lapar."
Tidak ada pilihan lain, Ellina pun mengangguk singkat. Dia memang kelaparan setelah mendengar celotehan panjang Pak Felic yang membosankan. Mereka berdua akhirnya memutuskan pergi ke kantin.
Kini mereka sedang menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja. Ellina yang memang kelaparan, makan dengan rakus seperti kebiasaannya. Zia beberapa kali memperhatikan Ellina tapi, tak menegurnya. Menurutnya itu percuma saja karena Ellina takkan mendengarnya.
Di tengah-tengah makan, tiba-tiba seseorang menumpahkan minuman ke pakaian Ellina. Hal itu membuat Ellina sangat terkejut. Zia tak tinggal diam, dia langsung berdiri dan mencekik kerah baju wanita berambut pendek yang telah berani menumpahkan minuman itu.
"Kau sengaja, kan?" Gertak Zia dengan tatapan tajam.
"Ti— tdak... Aku tidak sengaja, sungguh." Geleng wanita itu dengan wajah pias ketakutan.
Ellina yang melihatnya langsung melepaskan genggaman Zia dan membawanya mundur. Dia memberi isyarat mata pada wanita di depannya untuk segera pergi. Zia hendak mengejar wanita itu, tapi segera di tahan Ellina.
"Kenapa Nona membiarkan dia pergi. Aku harus memberinya pelajaran atas perbuatannya!"
"Stop, Zia. Ini hanya insiden kecil, tidak perlu terbawa emosi. Lagipula jelas wanita itu tidak sengaja, apa yang perlu di permasalahkan?" Ellina menghela napas sejenak, "Kau tunggu di sini sebentar, aku akan ke toilet untuk membersihkannya."
Dia hampir berbalik, namun kembali menatap Zia dengan tatapan peringatan. "Dan jangan buat masalah!"
Ellina segera menuju toilet umum terdekat. Dia yang berjalan tak lihat jalan lurus, malah menunduk memperhatikan noda minuman di bajunya, akhirnya bertabrakan dengan seseorang hingga dia hampir saja terjatuh. Untungnya dia pintar menjaga keseimbangan tubuhnya.
"Awh..." Ellina mengaduh kesakitan. Benar dia tidak jatuh, tapi bahunya sakit akibat tertabrak dengan alat musik cello yang di bawa di punggung pria yang dia tabrak.
Ellina baru saja hendak bersuara, tapi niatnya batal ketika si pria pergi begitu saja dari hadapannya. Ellina melongo, "Huh? Yang benar saja, apa dia tidak bisa berkata maaf sekali saja? Ckck... Dia bukan pria yang baik!" Dumalnya kesal setengah mati.
Ellina melihat kepergian pria itu hingga menghilang di balik tembok. Dia tiba-tiba kepikiran sesuatu, "Hm, aku baru tau ada mahasiswa yang ikut kelas alat musik Cello? Bukannya yang daftar kemarin hanya dari para perempuan? Atau... dia pindahan?"
Terlalu lama berpikir, Ellina sadar jika dia harus membersihkan pakaiannya yang kotor, dia pun segera melanjutkan niatnya ke toilet.
"Akhirnya!!!"
Seru Ellina merenggangkan kedua tangannya dengan senang. Zia menggeleng kepala mendengarnya sembari memasukkan notebook nya ke dalam tas. Mata kuliah terakhir memang sudah selesai, dan inilah yang Ellina tunggu-tunggu sejak tadi.
"Ayo, Zia!" Ellina menenteng tasnya, melangkah riang di iringi dengan nyanyian ringan dari bibirnya.
Zia yang tertinggal cukup jauh karena langkah lebar Ellina, berniat segera menyusulnya. Namun, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.
"Zia, Tunggu!"
Zia berhenti dan menoleh pada orang yang memanggil. "Ya?" Dia adalah Hejin, orang Korea yang kuliah di sana dan merupakan ketua angkatan untuk kelas mereka.
"Maaf, bolehkah aku minta tolong? Bantu aku simpan buku-buku ini ke perpustakaan, aku tidak bisa mengangkatnya sekaligus." Kata Hejin meminta tolong.
Zia melihat ke arah pintu, di mana Ellina sudah tak terlihat lagi di dalam kelas. Menghembuskan napas dalam, akhirnya dia memutuskan membantu Hejin membawa sebagaian buku ke perpustakaan.
Sebuah notif masuk ke ponsel Ellina, dia pun berhenti tepat di luar pintu gedung fakultas untuk memeriksa ponselnya. Satu pesan dari Zia masuk dan menjelaskan kenapa sampai sekarang Ellina tak menemukan keberadaan pengawalnya itu. Ternyata Zia sedang membantu Hejin.
Zia menyuruh Ellina menunggu di mobil.
"Huh, Tumben sekali Zia mau membantu orang lain?" Kekeh Ellina sembari membalas singkat pesan dari Zia.
Dari belakang ada seseorang berjalan menghampiri dan menyapa Ellina. Orang itu tak lain adalah Willy.
"Kau belum pulang?" Tanya Willy sesampainya di hadapan Ellina. Matanya tak berhenti celingak-celinguk ke sana kemari seperti mencari sesuatu.
Ellina yang tau lantas tertawa kecil, "Dia tak ada di sini, kau tenang saja."
Tentu saja seorang Willy sangat mengantisipasi keberadaan Zia. Setelah kejadian hari itu, Willy tak pernah mendekati Ellina ketika bersama Zia, itu untuk memastikan dirinya masih dalam keadaan baik-baik saja.
Willy mengelus d**a dan bernapas lega. "Hufft... Baguslah, kematianku artinya bukan hari ini. Temanmu itu sedikit mengerikan, dia seperti ... Monster saat marah. Mungkin saja leherku bisa patah sekali di tarik tangannya," Ellina tak bisa lagi membendung tawanya saat Willy mengejek Zia. Ellina pun setuju dengan perkataan Willy, jika Zia memang mengerikan.
Zia memang melarang nya untuk dekat dengan Willy karena alasan dia adalah orang berbahaya. Tapi, entah kenapa Ellina tidak merasakan aura kejahatan dari pria di hadapannya ini. Ellina yakin, seorang Willy hanyalah pria culun, kutu buku dan punya selera humor yang sama dengannya.
"Walaupun seperti itu Zia tetap temanku, dia juga pengawal pribadiku. Dan yang perlu kau tau, dia tidak seburuk yang kau pikirkan," Ellina menjeda ucapannya sejenak. Matanya memandang jam di pergelangan tangan, "Oke, aku duluan. Bye!"
Sebelum Ellina pergi, Willy lebih dulu menahannya. "Eh, tunggu! Kau ingin ke parkiran, kan? Aku ikut bersamamu, motorku juga ada di sana."
Ellina tak mengatakan apapun langsung pergi begitu saja. Tanpa dia jawab pun Willy tau jawabannya. Kini mereka bersama-sama menuju parkiran kampus. Di pertengahan jalan, Ellina berhenti tiba-tiba ketika mendengar bunyi nada dering ponselnya. Willy pun spontan ikut berhenti dan memperhatikan Ellina sedang mengambil ponsel dari kantong celana. Namun, sebelum ponsel itu di genggamnya malah terjatuh ke tanah. Ellina menunduk untuk mengambil, tapi ternyata Willy pun ikut menunduk untuk membantunya, alhasil kepala mereka saling terbentur.
"Aauw!"
Keduanya meringis.
"Apa-apaan, sih, Will! Aku bisa sendiri!" Omel Ellina mensinis Willy yang malah cengengesan. Itu membuat Ellina makin kesal dan geram seperti ingin melempar Willy dengan tasnya, "Haha... tidak lucu!"
Ellina berjongkok segera mengambil ponsel dan mengangkat dering panggilan terakhir dari Zia.
"Ya, Halo Zia?"
"...."
"Belum, hampir sampai."
"...."
"Yayaya, dasar cerewet! Sudahlah kau cepatlah datang, aku tunggu di mob—"
Dor!
Suara tembakan itu membuat Ellina shock seketika menghentikan ucapannya saat melihat sebuah peluru tertancap di tanah tepat di hadapannya. Sambungan telfon yang belum usai membuat Zia ikut mendengar hal tersebut. Dengan nada terkejut dia lantas bertanya kepada Ellina apa yang sedang terjadi. Namun dia tak mendapatkan respon apapun dari Ellina.
"Lari bodoh! Kau ingin mati berdiam diri di sini!" Willy dengan gerakan cepat menarik lengan Ellina membawanya berlari menunduk. Di belakang mereka tembakan beruntun mengejarnya dengan sangat bruntal. Membabi buta tak berhenti hingga ketika mereka akan tiba di parkiran Willy memberi instruksi pada Ellina untuk melompat dengan langkah yang besar. "Sekarang!"
Tembakan itu berhenti saat mereka berhasil berlindung di samping sebuah mobil. Keduanya mengambil napas sangat rakus karena lelah berlari-larian.
"Hampir saja kita mati!" Eluh Willy menyeka keringat di dahinya.
"Target mereka adalah aku," Ungkap Ellina sangat yakin. Dadanya kembang kempis menghirup rakus udara di sekitarnya. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu saat festival bunga sakura, orang misterius yang hampir menembaknya kala itu.
"Dia pasti orang yang sama. Yah, tidak salah lagi, " gumamnya yang hanya dirinya dengar.
"Sepertinya dugaan mu benar, kau target mereka. Tapi apa yang kau telah lakukan hingga mereka datang ke sini untuk membunuhmu?" Willy menatap Ellina.
"Apa kau seorang penjahat?"
"Will, hentikan omong kosong mu! Apa aku terlihat seperti penjahat di matamu?" Ellina tanpa sadar hampir berdiri.
"Awas bodoh, Kepalamu bisa saja berlubang jika tertembak. Kau ingin mati?!" Willy segera menarik tangan Ellina untuk menunduk, kemudian melototi nya karena telah bertindak gegabah, "Sudahlah, aku tidak ingin kita berkelahi di situasi seperti ini, dan—Maafkan perkataan ku tadi."
Ellina bersandar di mobil seraya menghembuskan napas, saat ini dia sedikit tenang setelah Willy meminta maaf. "Hm, aku maafkan dan terima kasih sudah menolong ku tadi."
Willy bernapas berat dan ikut bersandar, "Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Jadi berdoalah semoga ada yang menolong kita."
TBC