Previously on Call Your Name...
Hampir saja Fitri kehilangan masa depannya karena teman sekelasnya yang bernama Harry. Kalau saja bukan karena Virgo yang menolongnya, mungkin Fitri sudah hancur di tangan laki-laki b******k itu. Sialnya, karena Fitri pingsan dan Leo tidak mungkin mengantar gadis itu pulang ke rumah, Virgo terpaksa membawa Fitri menginap di rumahnya. Setelah menjelaskan duduk perkaranya kepada Nelson dan Cesya, gadis itupun akhirnya tidur di kamar Virgo sementara dia tidur di kamar tamu.
Suasana menjadi heboh ketika Fitri terbangun keesokan harinya dan mendapati Virgo masuk kedalam kamar dalam keadaan tidak berbusana. Hanya ada sebuah handuk kecil yang melilit pada pinggang laki-laki itu. Fitri menuduh Virgo sudah melakukan hal yang tidak-tidak padanya yang kemudian dianggap angin lalu oleh Virgo.
Leo merasa ada yang aneh pada diri Ravina. Sepupunya itu tiba-tiba jadi sedikit pendiam semenjak pulang dari pesta Harry. Ravina sempat berkata bahwa dia bertemu seseorang di pesta tersebut, namun tidak menyebutkan siapa orangnya. Yang jelas, Leo sedikit khawatir dengan perubahan sikap Ravina itu.
Di sisi lain, Liz bertemu dengan seorang laki-laki yang langsung membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Gadis itu berharap bahwa dia bisa bertemu lagi dengan orang tersebut dan bisa berkenalan langsung. Yang Liz tidak tahu, kemungkinan besar itu adalah awal dari masalah-masalah percintaan yang akan dia hadapi dan membuatnya menangis serta sakit hati ke depannya.
Saat mendatangi rumah Leo di sore harinya, Fitri mendapati Leo sedang galau di taman belakang rumah laki-laki itu. Fitri duduk di samping Leo dan ikut memainkan kedua kakinya didalam kolam renang seraya mendengarkan curhatan Leo mengenai Lilian. Lilian adalah gadis manis yang tidak pernah tertarik pada Leo sehingga membuat laki-laki itu kebingungan. Alhasil, di satu kesempatan, Leo menjahili Lilian dan membuat gadis itu menangis. Fitri mendengarkan semua itu dengan seksama. Sampai kemudian, gadis itu terpeleset dan jatuh kedalam kolam renang...
Part 3-You Can Run, But You Can’t Hide
Napasnya terasa sesak dan dia butuh banyak oksigen detik ini juga. Dia berusaha berontak, mendorong, mencakar dan melakukan hal-hal anarkis lainnya agar orang yang berada tepat di atas tubuhnya saat ini, yaitu Virgo, segera menyingkir sekarang juga! Kedua matanya masih membelalak hebat dan dia juga sekuat tenaga berusaha memalingkan wajah agar bibir malangnya itu bisa terlepas dari lahapan bibir Virgo. Sayangnya, kekuatan yang dia punya tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki oleh laki-laki berhati dingin dan menyebalkan tersebut. Dia hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan bahwa saat ini, detik ini, bibirnya sedang diobrak-abrik oleh orang yang dicapnya sebagai musuh abadi sejak kecil karena sikapnya yang terlalu sok itu, hingga dia merasa bibirnya mulai panas dan membengkak.
Lalu... seseorang menepuk pundaknya.
“Wooooy!!! Ipit!!!”
Leo?
“Leo?” panggil Fitri itu dengan nada melamun. Kedua matanya mengerjap dan gadis itu menyapukan pandangannya ke setiap sudut taman belakang. Tempat dimana dia dan Leo sedang membahas Lilian juga Virgo. Lalu, bukankah dia terpeleset hingga akhirnya jatuh kedalam kolam renang? Bukankah si kunyuk Virgo yang menolongnya dan memberinya napas buatan lantas langsung menciumnya tanpa ampun ketika kedua matanya terbuka dan dia tersadar dari pingsannya? Kenapa sekarang justru Leo yang berada di sampingnya? Kemana Virgo? Dia juga ingat bahwa dia melihat Ravina dan Liz. Dimana kedua sepupunya itu sekarang? Dan kenapa dia tidak basah kuyup?
“Iye, ini gue, sepupu lo yang paling ganteng,” sahut Leo bete. “Lo ngelamunin apaan, sih? Gue sampai manggil nama lo berulang-ulang dari tadi!”
“Kok... gue nggak kecebur? Bukannya tadi gue kecebur dan ditolong sama si kunyuk Virgo, ya?”
“Wah....” Leo berdecak dan meletakkan telapak tangan kanannya di kening Fitri yang langsung ditepis oleh gadis itu. “Panas kayaknya nih orang.”
“Gue serius, Yo! Gue juga inget ada si Ravina sama Liz. Kemana mereka?”
“Pit... dengerin gue, ya....” Leo menarik napas panjang dan memegang kedua bahu Fitri dengan tegas. Ditatapnya kedua mata Fitri dengan tatapan kasihan hingga membuat gadis itu jengkel dan langsung mengenyahkan kedua tangan Leo dari pundaknya. “Elo dari tadi disini sama gue. Berduaan aja. Nggak ada Virgo, Ravina ataupun Liz, seperti apa yang tadi lo bilang ke gue. Kita berdua lagi bahas soal Virgo sama Lilian, inget? Lo nuduh gue cemburu sama Virgo karena dia ngerangkul Lilian keluar kelas dan gue nuduh lo yang cemburu sama Lilian karena gadis itu dibawa pergi sama Virgo. Soal Ravina sama Liz... mereka emang ada disini, tapi lagi nonton di ruang tamu. Kan, elo sendiri yang bilang tadi kalau Ravina ngabisin jatah cemilan gue yang ada di kulkas.”
“Tapi, habis itu gue kepeleset, Yo! Gue kecebur ke dalam kolam dan ditolong sama sohib rese lo itu! Dan dia... dia....” Fitri menimbang-nimbang, apakah dia harus memberitahu Leo perihal napas buatan yang berakhir dengan ciuman panas Virgo pada dirinya. “Dia... gitu, deh! Pokoknya, dia nolongin gue.”
“Ngaco, lo!” Leo mendengus dan berdecak. Dia bangkit berdiri, mengulurkan tangan kanannya dan membantu Fitri untuk berdiri. Ketika keseimbangan tubuh Fitri sedikit goyah, Leo merangkul pinggang gadis itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke dalam kolam. “Nah, itu tadi elo hampir jatuh. Hampir, loh, ya... karena gue langsung nahan tubuh lo. Ngerti? Nggak ada ceritanya lo udah nyebur ke kolam terus ditolong sama Virgo. Orang dari tadi nggak ada siapa-siapa disini selain kita berdua, juga.” Leo mencium pipi Fitri sekilas dan membawa tubuh gadis itu agar menjauh dari kolam. “Masuk, Pit... udaranya mulai dingin. Makan malam disini aja sekalian, nanti gue kasih tau Emak gue.”
Ketika tubuh Leo menghilang dari pandangannya, Fitri termenung. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan mengerutkan kening. Kalau memang benar apa kata Leo, bahwa sedari tadi hanya ada mereka berdua di taman rumah laki-laki itu, lantas, kenapa dia bisa berhalusinasi dan berkhayal bahwa ada Virgo disini? Kenapa dia berkhayal dia jatuh kedalam kolam dan ditolong oleh laki-laki menyebalkan itu? Kenapa juga... sial! Fitri memejamkan kedua matanya dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya hingga tangannya yang sudah putih itu semakin putih lagi. Kenapa juga dia harus berkhayal Virgo memberinya napas buatan dan... menciumnya?
Bahkan rasanya, bibir Virgo itu seperti masih menempel dengan erat pada bibirnya. Sentuhannya yang lembut, dalam, basah dan sedikit liar. Perpaduan yang unik hingga sanggup membuat banyak kupu-kupu berterbangan didalam perutnya saat ini!
“Gue pasti udah sinting!” sungut Fitri tegas pada dirinya sendiri. Ketika kedua matanya terbuka, gadis itu menahan napas dan tubuhnya mundur ke belakang secara refleks. Kemudian, sebuah tangan yang kokoh melingkari pinggangnya, menahan tubuh gadis itu agar tidak terus mundur dan kemungkinan besar akan masuk dengan indahnya kedalam kolam.
“Kalau mau bunuh diri, gue saranin jangan nenggelamin diri kedalam kolam renang. Nggak elit dan cemen banget, soalnya. Mending, lo sayat nadi di leher lo. Lebih cepat ketemu sama raja neraka dan nggak akan ngerasain sakitnya.”
Itu... Virgo!
ASTAGA! Apa dia sekarang mulai memikirkan laki-laki itu hingga menciptakan sebuah delusi?
INI NAMANYA BENCANA!
“Kenapa? Mulai suka sama gue, Fit?”
Uh-oh... Fitri menaikkan satu alisnya dan langsung mendorong tubuh Virgo agar berjauhan dengan tubuhnya. Virgo yang saat ini berada tepat di depannya, yang menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, yang menaikkan satu alisnya, yang melipat kedua tangannya di depan d**a dan yang tersenyum sinis ke arahnya adalah Virgo yang asli! Bukan delusi semata, seperti yang dia alami beberapa saat yang lalu.
“Kiamat udah dekat kalau lo ngarep begitu.” Fitri mendengus dan memasang benteng yang selalu dia pakai kalau bertemu dengan Virgo. Tidak sulit, karena semua yang ada pada diri Virgo selalu membangkitkan emosinya dan selalu membangunkan macan tidurnya.
“PIIIIT?! ELO NGAPAIN, SIH, MASIH DI TAMAN? SI VIRGO UDAH GUE SURUH MANGGIL ELO, KAN?! NAH... YANG ITU BARU BENERAN ADA VIRGO! YANG ELO OMONGIN DARI TADI KALAU—“
“GUE MASUK SEKARANG, YO!” Fitri langsung memotong rentetan kalimat yang diteriakkan oleh Leo itu, setelah sebelumnya menyipitkan mata dan menatap tajam Virgo yang hanya membalas dengan kerutan di kening dan tarikan bahu tak acuh.
###
Lampu didalam kamarnya masih menyala, karena Lilian masih sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Menjelang kelulusan, Lilian disibukkan dengan berbagai macam tugas dan tambahan-tambahan materi dari para guru. Belum lagi berbagai macam les yang dia ikuti agar bisa lulus dengan nilai yang memuaskan dan membanggakan bagi keluarganya. Jadi, tidak ada lagi yang perlu dia pikirkan selain pelajaran, termasuk soal percintaan.
Sayangnya, gadis itu mulai terusik.
Dia mengenal Leo ketika mereka duduk di bangku kelas dua. Leo adalah orang yang baik dan ramah pada siapa saja, termasuk pada dirinya. Lilian memang harus mengakui hal itu. Hanya saja, gadis itu tidak suka dengan sifat Leo yang menganggap semua gadis di sekolah memuja dirinya. Meskipun hal itu memang terbukti, tetapi Leo tidak perlu secara terang-terangan membenarkan hal tersebut dengan cara mendekati siapapun gadis yang mencoba menarik perhatiannya.
Oh, dia bukan cemburu. Jangan pernah menganggap bahwa dia cemburu pada setiap gadis yang mendekati dan yang didekati oleh laki-laki itu. Lilian sama sekali tidak pernah punya pikiran ke arah sana. Semua urusan Leo tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Lilian selalu memperhatikan Leo. Ah, bukan satu, tetapi dua.
Pertama, Leo mengingatkannya pada almarhum sang Kakak. Seorang Kakak yang sangat lembut, menyayanginya, selalu menjaga dan melindunginya, juga seorang playboy. Meskipun sifat Kakaknya yang terakhir itu sama dengan sifat Leo, namun Lilian tidak yakin Leo memiliki semua sifat yang tadi disebutkannya pada diri sang Kakak. Hanya sifat yang terakhir itulah, yang membuat Lilian rindu pada almarhum Kakaknya, Lucky. Karena, cara Leo mendekati para gadis di sekolah mereka itu sangat mirip dengan cara Lucky mengambil hati para gadis di sekitarnya.
Yang kedua... Lilian menarik napas panjang dan menelungkupkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya yang berada di atas meja. Gadis itu membuka laci meja belajarnya, mengambil selembar foto dari dalam sana lalu menatap foto tersebut dengan tatapan lembut. Jari telunjuknya mengelus wajah seseorang yang sedang tersenyum simpul disana, membuat senyumnya ikut mengembang juga. Inilah salah satu alasan mengapa Lilian harus memperhatikan Leo juga.
“Kenapa lo harus sahabatan sama laki-laki macam Leo? Dia itu kebagusan buat berteman sama lo!” Lilian menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Dia menaruh foto itu di atas meja dan memiringkan kepalanya. “Leo itu jahat, loh... buktinya, dia sengaja nyembunyiin ponsel gue demi kesenangan dia semata. Supaya dia membuat perbandingan tersirat kalau gue adalah anak yang biasa-biasa aja, anak dari keluarga sederhana yang ada didalam kelas.”
Setetes airmata jatuh membasahi pipi Lilian, disusul dengan tetesan-tetesan airmata lainnya. Gadis itu menghembuskan napas dengan berat dan menghapus airmata yang membasahi wajahnya. Hatinya masih sedikit sakit dengan insiden siang tadi didalam kelas, waktu Leo menyembunyikan ponselnya. Dia memang sengaja menarik diri dari Leo, tidak mau bertegur sapa, tidak mau berbicara bahkan tidak mau terlibat dengan apapun yang ada sangkut-pautnya dengan Leo. Mungkin, itulah yang membuat Leo akhirnya memutuskan untuk menjadikannya bahan lelucon di depan teman-teman mereka yang lain.
Sudah sejak kelas satu, Lilian memendam perasaan ini pada orang yang berada di foto tersebut. Tapi, Lilian tahu kalau dia tidak pernah ‘terlihat’ oleh laki-laki itu. Karena, sudah ada gadis lain yang sanggup menarik perhatiannya. Seorang gadis yang selalu ‘dilihat’ oleh laki-laki tersebut. Inilah alasan kedua, kenapa dia harus memperhatikan Leo, demi mencoba menarik perhatian orang yang disukainya itu.
“Gue suka sama lo, Virgo....”
###
“Lo berdua datang ke rumah gue tanpa diundang, kenapa gue harus nganterin lo berdua pulang, sih?”
Omelan Leo itu tidak digubris oleh Ravina. Pun dengan Fitri yang asyik memainkan ponselnya. Leo berdecak jengkel dan melirik ke kursi penumpang di belakang. Disana, Ravina sedang mendengarkan musik di ponselnya—yang menyebabkan gadis itu tidak mendengar gerutuan dan omelan Leo tadi—dan Fitri yang tersenyum sendiri ketika sedang menatap layar ponselnya. Laki-laki itu mendesis dan melirik ke samping. “Lo juga, kenapa nggak sekalian pulang aja pake mobil lo? Kenapa lo malah ikutan nebeng di mobil gue?”
“Gue masih mau main, jadi, gue mutusin buat nemenin lo nganterin Ravina.” Virgo tersenyum kecil, membuat Leo mendesah berlebihan.
“Juga nganterin Ipit. Elo nggak lupa, kan, kalau dia ada di kursi belakang bareng Ravina.”
“Oh... ada orang lagi selain Ravina di belakang, Yo? Gue pikir, kita cuma bertiga.”
“Berhenti!”
Ucapan tegas yang dilontarkan oleh Fitri itu membuat Leo dan Virgo saling tatap. Leo memberi isyarat pada Virgo bahwa ini semua adalah kesalahan laki-laki itu hingga Fitri akhirnya ngambek dan meminta untuk diturunkan di jalan sepi ini. Padahal, jarum jam sudah menunjukkan angka delapan. Kalau dia menurunkan Fitri disini, sama saja dengan dia menyodorkan gadis itu kedalam bahaya. Sementara itu, Leo juga tahu kalau Fitri sudah ngambek dan moodnya kacau, gadis itu akan berubah jadi keras kepala.
“Pit... nggak usah ngambek gitu, lah... si Virgo, kan, cuma bercanda....”
“Gue bilang berhenti, Yo! Buruan, berhenti!” Fitri menatap kedua mata Leo dengan garang melalui kaca spion tengah mobil tersebut. Mau tidak mau, Leo menepikan mobil sesuai permintaan Fitri dan berharap bisa membujuk gadis itu diluar nanti, kalau Fitri memang benar-benar akan turun.
“Fit? Mau kemana, lo? tanya Ravina heran, ketika melihat sepupunya itu sudah membuka pintu mobil. Leo juga sudah melepaskan sabuk pengaman dan sudah turun dari mobil. Dia berniat untuk mencegah gadis itu turun dan berusaha untuk membujuknya.
Ketika Leo sudah berada tepat di depan Fitri yang baru saja membuka pintu mobil, Virgo menoleh ke belakang dan berkata, “Dasar cewek. Diledekkin sedikit aja langsung ngambek sampai minta diturunin di tengah jalan. Cewek model elo itu yang harusnya dikerasin supaya nggak manja dan ambekkan!”
“Dih... ngapain banget gue ngambek sama lo?” tanya Fitri berang. Otomatis, Leo langsung mengerjapkan kedua matanya dan mengerutkan kening.
“Loh? Kalau elo nggak ngambek, terus kenapa elo minta gue berhentiin mobil?”
“Gue pengin roti bakar, tau! Tuh, ada di belakang, tuh!” sungut Fitri kesal dan langsung mendorong tubuh Leo agar dia bisa turun. Leo langsung membulatkan mulut dan manggut-manggut nggak jelas, sementara Ravina tertawa geli. Virgo sendiri hanya melirik Fitri yang berlari-lari kecil ke arah tenda penjual roti bakar melalui kaca spion mobil. Tatapan Virgo berubah menjadi tajam saat dilihatnya Fitri sedang berbicara dengan seorang laki-laki yang kemungkinan besar lebih tua dari gadis itu. Sialnya, Virgo merasa bingung ketika dia merasa sangat jengkel dan kesal ketika melihat Fitri dan lawan bicaranya itu tertawa.
“Yo....”
“Hmm?”
“Itu... si Fitri lagi ngobrol sama siapa?”
Leo yang masih berdiri di depan pintu mobil untuk menunggu Fitri, menoleh dan menyipitkan mata. Ketika tatapannya bertumbukkan dengan tatapan lawan bicara Fitri, laki-laki itu tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda sapaan.
“Siapa, Yo?”
“Hmm? Mantan pacarnya si Ipit.”
“Mantan? Kok akrab bener?”
“Si Ipit sama mantannya nggak pernah musuhan semenjak putus. Malah menurut gue, Ipit sama mantannya itu makin dekat setelah putus. Aneh, kan?”
“Kapan mereka pacaran? Kok, gue nggak pernah tau si Fitri pernah punya pacar? Gue pikir, nggak akan ada yang mau sama cewek galak kayak gitu.”
“Kalau nggak salah mereka pacaran pas kelas satu. Kelas dua, mereka putus,” balas Leo, lalu mengerutkan keningnya. “Lagian, ngapain si Fitri harus ngasih tau ke elo kalau dia pacaran? Lo juga, kenapa jadi kepo banget kayak gini?”
“Cuma heran aja. Kok, cewek segalak dia bisa ketawa kayak tadi dan bisa punya pacar. Nggak masalah, kan, kalau gue heran?”
Tidak ingin ambil pusing dengan pertanyaan Virgo, Leo memutuskan untuk masuk kedalam mobil dan menunggu Fitri selesai dengan pesanannya. Tak lama, gadis itu muncul dan masuk kedalam mobil. Fitri masih saja tersenyum dan sorot matanya tampak berbinar-binar, membuat Leo menggelengkan kepalanya dan meledek gadis itu yang ditanggapi dengan malu-malu.
Tak ada yang tahu kalau saat ini, Virgo rasanya ingin berteriak dengan sangat keras, menyuruh Fitri untuk berhenti tersenyum dan tertawa seperti itu lagi. Sepertinya, Virgo sendiri juga tidak tahu kenapa dia bisa semarah dan sekesal ini hanya karena hal sepele tersebut, sampai kemudian, saku celananya bergetar dan SMS yang diterimanya membuat laki-laki itu hampir tersedak air liurnya sendiri.
From: Ravina
Cemburu? Hahaha...
Virgo ternyata bisa cemburu juga, ya? Dan ajaibnya, yang bikin Tuan Virgo cemburu adalah Nona Fitri... si cewek galak yang dicap sebagai musuh abadi
Tidak mungkin dia cemburu! Ini pasti cuma rasa kesal karena tidak ingin melihat orang yang selama ini selalu diganggunya bisa tertawa karena orang lain.
Dia tidak mungkin cemburu!
Fitri sama sekali bukan tipenya.
###
Harusnya, dia sudah bisa melupakan semuanya. Nyatanya, dia memang bisa. Atau, setidaknya itulah hal yang dia yakini selama ini. Melupakan semua hal yang terjadi di masa lalunya. Saat dia masih duduk di bangku kelas satu, dua tahun yang lalu. Sampai akhirnya, dia harus bertemu muka lagi dengan orang tersebut malam itu, di pesta ulang tahun temannya Leo.
“Kenapa coba gue masih mikirin pertemuan yang nggak disengaja itu?” tanya Ravina pelan kepada dirinya sendiri. Kesal pada kesialan yang saat ini menimpa dirinya. Kesal karena dia harus bertemu lagi dengan Rado.
“Rav?”
Panggilan bernada heran itu membuat Ravina menoleh dan tersenyum tipis. Leo muncul di depannya sambil mengerutkan kening dan duduk di samping gadis itu. Suasana di taman kota terlihat lengang, membuat Leo meningkatkan kewaspadaannya. Biasanya, jalanan itu tidak pernah terlihat lengang atau sepi seperti saat ini.
“Ngapain disini? Bukannya langsung pulang ke rumah,” ucap Leo seraya memiringkan kepalanya. Sifat cerewet Ravina menghilang entah kemana, membuat Leo teringat lagi akan sikap gadis itu pada saat dirinya mengantar Ravina pulang dari pesta Harry.
“Mejeng,” jawab Ravina kalem dan terkikik pelan ketika melihat tampang masam Leo.
“Serius, deh, Rav...Lo kena—“
Suara Leo terhenti di udara ketika dia mendengar gemuruh di kejauhan. Suara yang saling sahut-menyahut dan melontarkan berbagai macam teriakan. Leo dan Ravina menoleh dan keduanya sedikit terkejut. Tak lama, senyum menghiasi bibir Ravina.
“Mau nemenin gue maun sebentar?” tanya gadis itu sambil mengedipkan matanya dan menunjuk ke arah kejauhan dengan menggunakan dagu. Leo menarik napas panjang dan berdecak jengkel. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menemani Ravina.
Atau Oom Elang akan membunuhnya saat tahu Ravina pulang dalam keadaan tidak utuh!
Leo tidak sempat berpikir banyak ketika Ravina bangun dari duduknya dan berlari ke arah kelompok remaja yang sedang melakukan aksi tawuran itu. Darah sang Ayah yang dulunya senang tawuran hingga dijuluki Raja tawuran itu sepertinya mengalir kuat didalam dirinya. Tidak ada rasa takut, juga rasa khawatir akan keramaian yang diciptakan dari sekelompok orang-orang yang kini saling melempar batu dan saling menghujamkan benda-benda tajam satu sama lain.
Ravina masuk kedalam medan perang dan ikut melempar beberapa batu besar yang tercecer. Dia tidak tahu harus berpihak pada kubu yang mana karena dia memang tidak mengenal dua sekolah yang sedang berperang itu. Samar, dia bisa melihat Leo berlari ke arahnya dan menghajar beberapa orang yang berniat menyerangnya. Ravina juga sempat melayangkan beberapa tinju dan tendangannya kepada orang-orang yang berniat melumpuhkannya.
Tiba-tiba, bahu kanannya ditarik paksa. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, gadis itu hanya bisa terkesiap saat melihat sebuah kepalan tangan melayang tepat di depan wajahnya. Dia menutup mata namun merasa ganjil saat tidak merasakan apa-apa pada wajahnya. Harusnya, detik ini dia sudah terkapar di aspal atau kalau memang bernasib sial, dia mungkin sudah pingsan.
Begitu kedua matanya terbuka, dia hanya bisa melongo. Kemudian, ketika terdengar sebuah teriakan yang kencang, disusul seorang laki-laki berlari ke arahnya dengan membawa sebuah kayu, Leo yang entah muncul darimana langsung menghadiahi orang tersebut dengan tendangan memutar. Leo memang tidak suka dengan yang namanya tawuran seperti kedua orangtuanya dulu, saat mereka masih SMA. Leo lebih senang mendekati gadis-gadis yang memujanya. Namun, hal itu tidak bisa menutup kenyataan bahwa Leo adalah pemegang sabuk hitam Taekwondo dan jago berkelahi.
Seakan belum cukup, kini, Ravina merasa lengannya dicengkram kuat dan dia ditarik paksa untuk menjauhi arena tawuran. Gadis itu memberontak dan berteriak memanggil nama Leo. Dia bisa melihat Leo sedang menghajar beberapa orang yang menyerangnya.
Cukup jauh dia ditarik, sampai akhirnya Ravina melepaskan diri dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Gadis itu memasang wajah garang, bersiap untuk memarahi siapapun yang berani membawanya kabur, ketika tiba-tiba orang tersebut memutar tubuh dan menatapnya dengan kening berkerut tidak senang.
“Kamu itu cewek dan kamu nggak seharusnya ikut tawuran! Otak kamu ditaruh dimana, hah?!”
Untuk sesaat, Ravina tidak bisa berkata-kata. Gadis itu hanya bisa terdiam dan menatap sosok di depannya dengan datar. Wajah orang tersebut mengalami beberapa luka. Sudut bibirnya masih berdarah. Kemeja kotak-kotak yang dipakainya berantakan. Celana putih panjangnya terlihat kotor.
Lalu, seulas senyum merendahkan terbit di bibir gadis itu.
“Kamu nggak berhak ngatur hidup aku. Kisah kita udah selesai dua tahun yang lalu,” ucap Ravina tegas. “Rado Azkansyah.”
###