Jujur saja. Sebenarnya ada apa Mas?
Tepat pukul 11.39 malam hari Ditha baru saja tiba di rumahnya. Setelah mengecek kamar Govin lalu seperti biasa sepulang kerja ia sempatkan untuk melihat anaknya itu. Dielus kepalanya tak lupa dengan kecupan di kedua pipinya.
"Mami udah pulang," kata Govin setengah
sadar ketika melihat Ibunya sedang mengelus-elus kepalanya.
"Iya sayang. Govin tidur lagi ya. Mami mau balik kamar lagi. Selamat malam sayang semoga mimpi indah," pamit Ditha lalu menutup kembali kamar anaknya.
Ditha berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Ia langsung membuka pintu kamar lalu menguncinya. Sapuan hawa dingin dari air conditioner yang dinyalakan langsung menerpa kulit tubuh Ditha ketika memasuki kamar tidur. Ditambah ia baru selesai mandi tadi di kamarnya Govin. Dan juga sepertinya seseorang sudah masuk terlebih dahulu dan menyala kencang hingga suhu terendah air conditioner ruangan kamar tidur Ditha.
Sontak saja bulu-bulu halus yang tumbuh di tubuh Ditha bergidik, Ditha langsung merasa kedinginan akan perubahan suhu ruangan yang cukup ekstrim ia dapatkan.
Dugaan yang terlintas cepat di kepala Ditha sungguh tepat. Bulu-bulu halus di tubuh Ditha sepertinya akan betah berdiri ketika kedua mata mendapati sosok yang Ditha cari-cari tengah duduk santai di tepian ranjang tidur.
Seketika tubuh Ditha menegang. Jantungnya berdegub kencang. Dadanya menjadi sesak. Ditha dilanda ketakutan dan gugup luar biasa menghadapi Akbar yang membidiknya tajam. Tatapan mengerikan bagaikan seekor singa yang siap mengaung dan menerkam mangsanya. Ditha berakhir menelan saliva dalam-dalam ketika memberanikan membalas bidikan mata yang mengintai dan mengawasi.
Ditha bergerak posesif, memeluk Akbar erat hingga Ditha refleks menjatuhkan barang-barang yang ada di tangannya itu.
"Sayang. Aku kangen," bisik Ditha manja agak mendesah di sisi telinga Akbar.
Bibir merah muda alami itu semakin dirapatkan di telinga Akbar, menggoda dengan hujaman ciuman dari bibir panas Ditha pada suami yang baru saja terduduk di tepian ranjang.
Kulit bertemu kulit. Kehangatan tubuh Akbar yang sudah lama dirindukan Ditha terasa nyata hingga memanaskan gairah Ditha, meronta-ronta ingin lebih sekadar pertemuan kulit.
Tetapi, hasrat Ditha yang meronta-ronta memiliki kendala. Tangan Ditha tertahan. Jemari yang ingin meremas lembut d**a bidang berbulu halus Akbar tak tersampaikan dikarenakan tangan Akbar menahan cepat.
"Aku capek! Hari ini banyak kerjaan di kantor. Jadi, aku mau tidur."
"Kamu kenapa si Mas? Aku udah mandi udah wangi juga tetep aja akhir-akhir ini ga pernah dilirik sama kamu. Apa aku sekarang, kurang cantik?"
"Kamu pikir saja. Sudah jam berapa ini? Kenapa ga sekalian saja menginap!" Akbar mulai emosi.
"Kamu kan tahu aku habis ngapain jam segini baru pulang. Tadi disuruh nemenin kan Mas ga mau"
"Tapi ga mesti lupa waktu juga Tha. Kamu tahu kan kamu itu sudah bersuami dan punya anak lagi."
"Aku juga tahu Mas. Aku kan ga tiap hari kerja juga. Aku bahkan sudah merelakan memangkas kerjaanku demi kalian. Tapi giliran aku baru sekali, dua kali telat pulang kamu langsung marah. Sedangkan kamu akhir-akhir ini sering pulang telat kamu anggap wajar dan biasa. Kamu nyuruh aku untuk mengerti, sedangkan kamu sendiri…."
"Berani ya sekarang kamu membatah aku? Kamu tahu aku seharian kerja capek. Masa malam harus bantuin urus anak juga? Sudahlah aku lagi capek malam ini," rutuk Akbar sambil sibuk dengan ponsel ditangannya.
Gairah yang sudah memanas meredup. Fantasi liar yang sudah menguasai pikiran segera lenyap. Bibir panas yang menempel di sisi telinga seketika mendingin bagaikan sebuah bongkahan es.
Lagi-lagi ajakan Ditha ditolak oleh Akbar dengan alasan yang sama. Ajakan minta dicumbu, minta disentuh, minta dijamah, minta dipuaskan lagi-lagi tak terpenuhi oleh suami tercinta.
Sudah hampir satu bulan belakangan ini Akbar tak meminta jatah apalagi menyentuh istri yang dinikahi selama tujuh tahun. Akbar juga tak pernah lagi menghadiahkan ciuman-ciuman mesra di pipi juga di bibir Ditha.
Keduanya memang terbilang pasangan yang sudah lumayan lama dalam sebuah mahligai pernikahan. Namun, kedekatan keduanya kini mulai memudar tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Lalu apa yang terjadi? Bukankah Ditha wanita yang Akbar pilih sendiri untuk menjadi istri? Menjadi teman hidupnya?
Kehangatan Akbar yang dirasakan sejak berpacaran hingga di awal-awal pernikahan pun tak lagi dirasakan. Rumah megah bernuansa modern yang sudah tujuh tahun menjadi atap berteduh bagi keduanya bersama buah hatinya kini tak sehangat dulu. Kamar tidur yang dulu bermandikan keromatisan, jerit kenikmatan, dan desahan saling memburu kini lenyap perlahan.
Perubahan sikap Akbar menjadi dingin, acuh pada apapun yang terjadi pada Ditha seketika semakin menimbun pertanyaan di benak perempuan cantik berkulit putih itu.
"Jujur saja. Sebenarnya ada apa Mas? Sudah satu bulan kita…"
"Kau tak dengar dengan yang aku ucapkan? Aku capek! Aku lelah seharian dihadapkan tumpukan pekerjaan!" sela Akbar membentak kasar. "Seharusnya sebagai istri kau mengerti dan memahami keadaan suami! Bukan malah merengek minta ini itu, lah!"
"Jika ada masalah dengan kerjaanmu, kau bisa membaginya denganku, Sayang. Bisa dibicarakan dengan baik-baik, tak harus memarahiku seperti ini, Sayang." Suara Ditha bergetar menyuarakan isi hati yang tersakiti.
"Kau tahu apa tentang pekerjaan? Peranmu sudah sangat enak mengurus rumah dan mengurus suami. Tugas begitu mudah saja kau tidak becus! Eh ini malah milih berkarier di luar lagi!" Akbar malah mengoreksi Ditha, tak menerima bentuk protes yang wajar Ditha suarakan.
"Aku tak tahu apapun tentang pekerjaan?” Ditha tercengang mengulangi pernyataan getir Akbar. "Mas sendiri yang mengizinkan aku untuk tetap bekerja dari pekerjaanku ini sebelum kita menikah, Sayang. Mas sendiri yang meminta aku untuk tetap mengejar karirku dan asal aku tetap ingat akan prioritas ku menjadi istri dan ibu. Lalu kenapa lagi-lagi Mas menyalahkan aku? Ini bukan pertama kalinya Mas mempermasalahkan aku yang masih tetap bekerja." Ditha embela diri dikarenakan hati tak terima disalahkan.
"Aku malas ribut. Sudah sebulan ini kita selalu meributkan hal yang sama. Aku capek! Aku mau tidur."
Tanpa peduli dengan Ditha yang berkaca-kaca dan merasa sesak akan pernyataan getirnya, Akbar merebahkan tubuhnya dengan acuh. Memaksa Ditha untuk bergeser dan memberi ruang lebih untuk tubuhnya merebah nyaman di atas ranjang. Bed cover berwarna abu-abu di bawah kaki tak luput dari perhatian Akbar. Bed cover itu ditarik dengan satu tangan untuk menghangatkan tubuhnya sendiri.
Sementara wanita cantik yang tampil seksi dengan kimono peach di sebelahnya hanya bisa mengalah. Lagi dan lagi memahami Akbar yang lelah, Ditha tak mau menyerang sosok pria yang dicintai dengan ribuan pertanyaan di dalam hati. Tak mau nantinya Akbar marah apalagi membenci Ditha yang sudah begitu tulus mencintainya.
Buliran air mata menggenangi kedua mata jatuh membasahi pipi. Tak mampu tertahan di pelupuk mata dikarenakan perihnya luka sayatan di hati akan bentakan dan pernyataan menyakitkan Akbar.
Janji yang terucap tujuh tahun lalu untuk menjadi istri baik bagi Akbar menghilangkan sisi keras kepala Ditha. Segala bayangan sosok hangat Akbar dari kenangan indah di awal pernikahan dijadikan penghibur hati Ditha hingga menjauhkan segala pikiran buruk mengenai sosok suami tercinta.
Air mata yang menodai pipi cantik Ditha diseka lembut oleh jemarinya. Perempuan cantik itu beranjak turun dari ranjang tidur.
Kedua kaki mengenakan alas sandal kamar itu melangkah menuju kamar mandi lalu membasuh wajahnya yang ternodai oleh buliran airmata. Kembali merengkuh kesegaran di wajah dengan memasang senyuman manis yang dipaksa, Ditha kembali menuju ranjang tidur dan mengistirahatkan tubuh rampingnya di atas sana. Membelakangi Akbar yang sudah terlebih dahulu terlelap ke dunia mimpi.
***
Pukul 02.54 dini hari, Ditha terbangun dari tidurnya. Tenggorokan yang terasa kering membuat Ditha beranjak dari alam mimpi yang memanjakan jiwa. Belum lagi Ditha turun dari ranjang tidur, fokus Ditha beralih cepat pada sisi ranjang tidur yang kosong. Sisi ranjang tidur yang tadi ditiduri oleh Akbar.
Rasa haus yang dirasakan pun seketika lenyap. Berganti penasaran yang datang menyerbu hati serta jiwa.
Kedua telinga Ditha masihlah sehat dan baik dalam mendengar suara apapun. Ditha pun menyegerakan turun dari ranjang tidur dan berjalan mendekati asal suara dari dalam kamar mandi. Begitu penasarannya Ditha hingga tak mempedulikan sepasang kaki yang bertelanjang kaki demi memastikan suara-suara aneh yang sudah seminggu ini Ditha perdengarkan.
Ruangan itu menyaksikan bagaimana kedua pasangan itu sedang menyelesaikan hasrat dan hasrat mereka yang sedang membara dibalik telepon. Desahan demi desahan kenikmatan terdengar dan menjadi alunan musik yang mengiringi malam syahdu penuh romantis tapi begitu menjijikan terdengar di telinga Ditha.
Telinga Ditha yang menempel di daun pintu tak lagi salah mendengar. Malah mendengar baik-baik segala pembicaraan vulgar menjijikkan di dalam kamar mandi.
Jantung Ditha tersentak. Dadanya seketika sesak, dicerup paksa oleh fakta baru yang membuat sekujur tubuhnya lemas. Kedua mata yang membeliak seketika memerah, terasa panas akan genangan butiran air mata yang kembali menggenangi.
"Besok menginap di apartemen ku dong, Sayang. Enggak enak tahu kalau dari video call terus. Aku kan enggak bisa muasin kamu, Sayang." Suara Naomi terdengar jelas menggoda Akbar.
"Kamu tenang aja sayangku besok aku akan beralasan pada Ditha kalau aku dinas ke luar kota supaya bisa menghabiskan waktu dengan kamu sayang. Udah dulu sayang bye sampai jumpa besok. Love you sayangku" Akbar mengabulkan tanpa ragu permintaan Naomi, adik tirinya sekaligus wanita selingkuhannya itu.
"Love you to Baby muach"
Hancur sudah hati Ditha mendengar segala pembicaraan menjijikkan itu. Kesabaran tak lagi tertahan. Keinginan hati menjadi sosok istri baik bagi Akbar tak lagi diinginkan. Ditha bukanlah sosok wanita bodoh yang diam saja mengetahui suami tercinta berselingkuh dan mengkhianati ketulusan cintanya.