RED - 6 : Moon Goddess

1907 Kata
Kerusakan 6 . Usai cuti kemarin, akhirnya Loqestilla kembali pada pekerjaannya sebagai guru. Menyenangkan, karena selain dapat menghirup wewangian segar dari anak-anak didiknya, pagi ini juga hujan tidak datang. Hari yang sempurna. “Hari ini tidak hujan, bagaimana jika kita bermain di luar?” tanya Loqestilla usai doa pagi kepada Moon Goddess. Murid-muridnya saling melihat, lalu mengedikkan bahu. Kemudian Venecia sebagai murid paling tua, memberikan pendapatnya. “Tapi Miss, Kita di sini bukan untuk bermain, melainkan belajar. Mr. Albanero akan marah jika tahu kita bermain di jam belajar.” Loqestilla mengernyit, tampak berpikir kembali. “Kalau begitu, mari belajar di luar. Kalian suka menggambar, ‘kan? Ayo menggambar pemandangan.” Lagi-lagi para murid saling berpandangan. Setelahnya, mereka mengangguk. Bibir Loqestilla melengkung ke atas. Ia kemudian menggiring anak didiknya ke bukit belakang sekolah. Di bawah pohon ek besar, mereka duduk dengan kertas dan pensil di tangan. Seraya menemani murid-muridnya membuat sketsa, Loqestilla melahap belalang-belalang kecil yang hinggap di pakaiannya. Tingkahnya itu dipergoki oleh Venecia, tak urung menimbulkan kerutan-kerutan di dahi serta rasa jijik yang tergambar jelas di wajah. “Miss Loqestilla memakan belalang?” tanya sang murid takut-takut. Meskipun suaranya seperti cicitan, tapi jelas dapat didengar semua yang ada di sana. Kepala Loqestilla meneleng, sedangkan anak-anak lain yang mendengar segera mengalihkan pandang kepada Atsune betina itu. “Ya, kenapa?” “Apa rasanya enak?” taya Venecia lagi. Tanpa sadar meneguk ludah dengan jeda yang cepat. “Ya, kurasa.” Mata Loqestilla menerawang ke depan. Berpikir, apakah jawabannya tadi tepat atau tidak. Dia seekor rubah, dan menurutnya, belalang adalah camilan yang tidak spesial tetapi sering dinikmatinya karena mudah dijumpai. Namun, kali ini dia harus memberikan jawaban sebagai seorang guru, guru untuk manusia. Menurut pengalamannya selama ini, kebanyakan manusia tidak memakan belalang. Banyak yang jijik, dan merasa bukan serangga yang layak dikonsumsi. Namun, di beberapa tempat, ada juga manusia yang menikmatinya sebagai santapan sehari-hari. Akhirnya, karena tidak begitu tahu harus menjawab seperti apa, Loqestilla hanya memberi tambahan informasi kecil. “Tapi kalian tidak boleh mencobanya sebelum dimasak.” “Bisa dimasak?” “Ya. Di beberapa tempat, belalang goreng dijadikan santapan sehari-hari setelah dimasak. Biasanya digoreng atau dipanggang. Aku pernah mencoba yang digoreng dan diberi bumbu, rasanya seperti udang, kurasa. Dan proteinnya tinggi. Cocok untuk anak-anak. Itu pun jika kalian tidak punya alergi.” “Apa belalang di sawah bisa dimasak?” seorang anak yang lain bertanya antusias. “Tergantung jenisnya. Lain kali, bawalah belalang yang ingin kalian makan. Akan kuberitahu apakah bisa dimakan atau tidak.” Venecia mengangguk. Murid-murid lain juga mengangguk lebih antusias lagi. Pengetahuan baru dari Miss Loqestilla ini entah mengapa terdengar menyenangkan untuk dibagikan pada sebagian besar orang. Terutama kepada warga desa. Mungkin belalang goreng bisa menjadi alternatif santapan di musim-musim tanpa panen. Lagi pula, bukankah rasanya seperti udang? Pasti enak, ‘kan? . *** . Sayang sekali kebahagiaan Loqestilla dan murid-muridnya di bawah pohon ek itu langsung lenyap ketika mereka berjalan kembali ke kelas. Rupanya, Mr. Ferguso Albanero sudah berdiri dengan tatapan memusuhi di depan pintu masuk. Tatapan matanya sengit dan seolah ingin menggigit. Murid-murid yang sudah tahu tabiat Ferguso sehari-hari, langsung mengkerut takut di belakang tubuh Loqestilla. “Miss Loqestilla, saya ingin bicara berdua dengan Anda,” ujar pria ikal itu dengan nada dingin dan jengkel. Meskipun begitu, Loqestilla tetap memberi senyum terbaiknya. Ia mengintruksi murid-muridnya untuk masuk ke kelas. Setelahnya, ia mengikuti Ferguso yang berjalan lebih dulu ke bawah pohon flamboyan yang sedang tak berbunga. Di bawah naungan ranting dan dedaunan flamboyan, angin berseliweran. Ferguso dan Loqestilla berdiri berhadapan. “Kelakuan Miss Loqestilla, tidak bisa saya benarkan.” Ferguso memulai perbincangan dengan perkataan menusuk dan kurang bisa dipahami. Di depannya, Loqestilla hanya menelengkan kepala ke kiri. “Kelakuan saya?” Ferguso mendecih kecil, dalam hati menyumpah serapah sikap polos Loqestilla yang terkesan mengada-ada. “Miss Loqestilla mengajak anak-anak keluar ruangan di jam pelajaran!” tegasnya. “Ooh.” Loqestilla mengangguk dua kali. “Tapi, kami belajar di luar. Bukan sedang bermain.” Bisa Loqestilla lihat sentakan kecil di bahu Ferguso. Dalam hati, rubah betina itu memprediksi bahwa Ferguso sebenarnya tahu bahwa tuduhannya terbukti keliru, tetapi demi tingginya harga diri, Ferguso tidak akan sudi mengatakan ucapan maaf padanya. “Apa yang bisa dipelajari anak-anak itu di luar ruangan? Bersenang-senang seperti hewan liar?” Nada suara Ferguso meninggi. Mata besarnya memincing, dan gigi geraham saling bergesekan menahan geram. “Tugas guru di sini bukan hanya mengajarkan mereka pengetahuan, tapi juga tata krama, kedisiplinan. Menjadikan mereka pribadi yang bermartabat!” Semburan kemarahan Ferguso membuat telinga Loqestilla berkedut beberapa kali. Wajahnya tetap tenang meskipun dimurkai sedemikian rupa, bahkan ia sempat memberi senyum kecil kepada lawan bicaranya. Namun, dalam hati yang paling dalam, atsune betina itu sedang membara hatinya. Sudah kebiasaan, kemarahannya sebenarnya mudah sekali tersulut sejak ia masih kecil. Ibunya pernah mengatakan bahwa menyimpan kemarahan, dan bahkan memendam dendam adalah sifat dasar Loqestilla. Sekelebat ingatan pun sempat membayang di kepala. Ingatan tentang api yang menyala-nyala, suara lonceng yang berdentang-dentang memanggilnya, aroma dupa, kuku yang dipotong dan dimasukkan ke dalam mangkuk tanah liat, dan sejumput rambut yang ditetesi darah. Dulu, dulu sekali, ia dan ibunya sering melakukan hal itu untuk memanggil sesuatu. Sampai sekarang, dia tidak tahu apa yang dipanggil, tapi bisa dirasakan di aliran darahnya, menggerogoti jiwa murninya. Namun, berkat hal itu pula ia jadi bisa lebih menahan diri, mampu menyimpan amarah seberapa pun tingginya, mampu memendam dengki seberapa pun inginnya. Siapa sangka jika hal itu sangat berguna di kehidupan Loqestilla sekarang ini. “Dengarkan saya, Miss Loqestilla. Jika ingin menjadi guru di sini, mohon ikuti peraturan yang sudah ada. Saya tidak suka inovasi yang tidak perlu.” Setelahnya, Ferguso pergi begitu saja. Meninggalkan Loqestilla yang memandangi punggung kurus berompi abu-abu. “Saya mengerti, Mr. Albanero.” Kata-kata itu diucapkan begitu pelan, dengan senyum kecil yang punya seribu arti. Kedua tangan dimasukkan ke dalam kantung gaun, lalu mengepal hingga kuku yang menancap menciptakan luka berdarah. Sempat terlintas dalam pikiran Loqestilla bahwa kuku tersebut digunakan untuk mencabik-cabik dan menguliti seseorang. . *** . Sore hari, Loqestilla tidak lekas kembali ke kastil Earl of Lunadhia. Dia pergi ke ladang jagung milik warga desa, menemui Neuri yang memang sudah membuat janji. Ketika Loqestilla datang, para pekerja segera mengerubunginya. Sebagian besar penasaran melihat seorang manusia bertelinga rubah yang tampak menawan. Belum lagi, siluman rubah itu juga seorang guru, profesi yang teramat dikagumi di Lunadhia. Bahkan sebelum Loqestilla memperkenalkan diri, semua orang sudah tahu namanya. Popularitas berlebihan ini, membuat hati Loqestilla berbunga. Dia suka dikagumi, suka dipuji. Sayangnya ia tak begitu pandai menghadapi antusiasme yang diberikan untuknya. Ternyata, hal itu diketahui Neuri, sehingga dengan bijaksana sang tuan tanah mampu menyingkirkan kerumunan. Memberi ruang bagi Loqestilla untuk mengambil napas sekaligus menghindar. Neuri pun mengajak Loqestilla ke menara pengawas di tengah-tengah ladang. Menara tersebut punya banyak anak tangga, mungkin tiga ratus lebih, tidak ada yang benar-benar menghitungnya. Bentuknya mirip mercusuar, dengan puncaknya adalah sebuah patung Dewi Bulan yang dipuja masyarakat Lunadhia. Patung tersebut cukup menarik perhatian Loqestilla, sehingga ia pun tidak ragu untuk bertanya. “Itu Moon Goddess, dewi yang kami semua sembah di sini,” tutur Neuri kala menjawab pertanyaan Loqestilla. Sayangnya jawaban tersebut sedikit membuat si rubah mengernyit. “Moon Goddess? Tapi itu bukan patung Dewi Artume, jadi siapa nama Moon Goddess yang Anda sekalian sembah?” “Namanya Dewi Kuu. Dewi tersebut sudah disembah masyarakat Lunadhia sejak dahulu kala,” jawab Neuri. “Lalu, siapa itu Dewi Artume yang Miss Loqestilla maksud?” “Artume adalah Dewi Bulan yang dipuja Kaum Manusia Serigala. Di beberapa wilayah, mereka juga menyembah Artemis. Saya tidak tahu apakah Artume dan Artemis adalah dewi yang sama, tetapi para werewolf sangat bergantung pada dewi tersebut.” Neuri mengangguk kecil, tanpa sadar ia tersenyum samar. Entah mengapa perasaannya lega luar biasa. Mungkin karena pertanyaan yang selama ini mengganjal dan belum sempat ditanyakan pada pendeta, telah terjawab dengan sangat jelas. Rupanya, Moon Goddes memang berupa-rupa jenisnya. Bahkan namanya pun sangat berbeda. Lalu, siapa Moon Goddess yang b*********a dengan Dewa Serigala? Mungkinkah bukan Dewi Kuu, melainkan Artume? Jadi, pada siapa Neuri selama ini menyembah? Karena masih penasaran, Neuri tidak bisa menghentikan dirinya untuk kembali bertanya. “Apakah Miss Loqestilla tahu, seperti apa kisah Dewi Artume sehingga bisa disembah oleh para werewolf?” Loqestilla tidak lekas menjawab, cukup lama ia mengingat-ingat mengenai kisah Dewi Artume yang pernah didengarkan dari temannya dulu. “Seingat saya, dia adalah dewi dari para binatang sekaligus Dewi Perburuan. Mungkin karena hal itulah dia dipuja kaum Manusia Serigala. Kadang, orang-orang menganggapnya sebagai Dewi Perawan karena disamakan dengan Artemis. Seperti yang saya katakan tadi, Artume dan Artemis sering disamakan, tetapi kebenaran tersebut juga masih dipertanyakan.” Mendengar hal itu, Neuri pun terdiam. “Jika dia Dewi Perawan, artinya dia belum pernah b*********a dengan siapa pun?” Loqestilla mengedikkan bahu. “Anda pasti tahu apa itu arti perawan, bukan?” Neuri mengangguk kecil. Setelahnya, ia mengambil napas dalam dan mendebas pelan. “Dalam buku catatan yang pernah saya temukan, Dewi Kuu juga dilambangkan sebagai dewi yang terlahir dari telur itik yang jatuh ke abyss ketika diletakkan di lutut Dewi Ilmatar. Putih telur menjadi bulan, dan kuning telur menjadi matahari. Hanya saja ….” Hanya saja, mengapa cerita Dewi Kuu yang tersebar di Lunadhia begitu berbeda. Meskipun tahu ada banyak perbedaan antara buku yang ia baca dan cerita yang beredar di masyarakat, tetapi sampai sekarang pun Neuri tidak berhasil menemukan garis simpulnya. Terlebih, persenggamaan Dewi Bulan dan Dewa Serigala tersebut, sudah dituturkan langsung oleh pendeta kuil. Mana mungkin pendeta kuil berbohong. Sekali lagi, Neuri mengembus napas kasar. “Sepertinya Anda sedang memikirkan banyak hal, My Lord?” Neuri tersentak, sadar bahwa dari tadi ia terlarut dalam pikiran rumitnya sendiri. Ia pun akhirnya hanya memberi senyum kecil kepada Loqestilla. “Bukan apa-apa, Miss Loqestilla. Saya memang kadang suka tiba-tiba melamun.” Loqestilla mengangguk-angguk saja, sadar bahwa Neuri tidak ingin ditanya lebih lanjut. “Maaf karena pembicaraan kita sangat ngelantur, padahal saya berniat memberi tahu tugas-tugas Anda di sini, Miss Loqestilla.” Menggeleng kecil dan tersenyum manis, Loqestilla menyahut, “Tidak masalah, My Lord. Saya senang Anda mau berbincang-bincang dengan saya sampai sejauh ini.” “Ya, saya juga. Mungkin lain kali, kita bisa berbincang lebih banyak lagi. Setelahnya, Neuri tak lagi berusaha meneruskan percakapan tanpa tujuan. Ia pun memulai memberi penyuluhan mengenai ladang-ladang jagung dan bagaimana Loqestilla harus mengerjakan bagiannya. . *** . Sebelum pulang ke kastil, Neuri dan Loqestilla sekali lagi dikerumuni warga sekitar. Rasa antusias yang sejak tadi tersulut, sampai sekarang masih juga belum susut. Bahkan, seorang ibu-ibu tua memeluk Loqestilla erat seolah memperlakukan anaknya yang baru pulang dari merantau. Hanya saja, kali ini Neuri tidak tampak ingin membantu Loqestilla. Ia menyingkir bersama kepala desa, serius membicarakan hal-hal penting yang sepertinya jauh lebih berguna. Namun, dalam hati juga sedikit terhibur melihat bagaimana Loqestilla diseret ke sana- ke mari oleh wanita-wanita tua yang bahagia. Menjelang senja, Neuri akhirnya berbaik hati mengajak Loqestilla kembali. Dalam perjalanan di atas perahu, Neuri tidak tahan untuk bertanya. "Anda tampak senang, Miss Loqestilla?" Penuh semangat, Loqestilla mengangguk. "Ya, ya. Saya sangat senang," ujarnya dengan mata berbinar. "Saya sangat suka berbicara dengan orang-orang, terlebih dengan wanita-wanita yang baik dan ramah." Neuri mengangguk, sekaligus ingin terkekeh geli tapi ditahan sekuat hati. "Anda tipe yang suka bersosialisasi." Dengan bangga, Loqestilla menjawab. "Ya, saya sangat suka berada bersama banyak orang, berkumpul, berbicara. Aaah, mereka semua terlihat sangat menggugah." "Hm?" "Maksud saya, mereka sangat menggugah hati saya. Semangat orang-orang tersebut, mudah menular kepada saya." Kali ini Neuri benar-benar terkekeh. "Anda suka menggunakan kata-kata yang agak ambigu. Kadang saya tidak mengerti, sebenarnya Anda membicarakan orang lain atau makanan." Loqestilla menggaruk belakang kepalanya seraya nyengir lebar. "Meskipun kosa kata saya cukup banyak, tetapi mengasosiasikan seseorang seperti makanan sepertinya sudah menjadi kebiasaan," ucapnya malu-malu. Neuri tersenyum pengertian. "Jika saya sebuah makanan, bagaimana Anda akan mendifinisikan saya?" Loqestilla terdiam, bahunya meluruh, tawa di bibirnya menghilang seketika. Ia memandangi Neuri sangat lekat, sangat lekat dan mendalam. Tanpa sadar, ia meneguk ludahnya. "Mungkin seperti ... seperti wine yang disimpan selama berabad-abad dalam ruangan rahasia. Merah dan wangi, ketika dicecap sangat menggetarkan hati." Mendengar bagaimana Loqestilla mendeskripsikan dirinya, entah mengapa sedikit membuat Neuri malu. Ia berdehem dibuat-buat. "Apakah itu hal yang baik?" Loqestilla mengangguk bersemangat. "Sangat baik, sangat baik, sangat baik. Hal yang baik harus diucapkan tiga kali." Tanpa bisa menahannya, Neuri tertawa. "Anda sangat menyenangkan untuk diajak bicara, Miss Loqestilla." Kali ini, Loqestilla tidak bisa menjawab dengan apa pun lagi. Ia ikut tertawa bersama Neuri, seolah menyembunyikan tegukan-tegukan kecil yang sejak tadi dilakukannya. Angin dingin saat senja menerpa kulit Loqestilla, cukup berkhasiat meredakan panas di kerongkongan dan keinginan membara. Sekali lagi, dia harus bersabar, harus lebih sabar untuk mendapatkan sesuatu yang didambakan. . TBC 05 Juni 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN