Kerusakan 10
.
Pintu ditutup, lalu dikunci dari dalam. Loqestilla meletakkan jari telunjuknya di depan bibir dan bergumam ssst, memberi petunjuk pada 12 anak di ruangan tersebut untuk diam.
Tanpa berkata apa pun lagi, Loqestilla pergi ke depan papan tulis dan menuliskan beberapa soal matematika. Setelahnya, ia hanya berkata, “Kerjakan ini, ya.”
Murid-murid mengangguk tanpa banyak bertanya.
Di tempat duduknya, Venecia juga mulai mengeluarkan buku dan peralatan tulis yang lain. Ia mencatat dengan giat setiap tulisan yang tertera pada papan tulis hitam, mengikuti setiap huruf dan angka yang dicetak dari tangan Loqestilla.
Namun, setelah Loqestilla selesai dengan semua hal di depan papan, ia bergerak ke dekat Venecia. Dengan senyum lembut seperti Ibu Bulan, ia berkata, “Venecia, mari obati lukamu dulu. Setelah itu, kau bisa kembali belajar.”
Bukan hanya Venecia, bahkan murid yang lain pun menghentikan aktivitas mereka. Mata menyorot Loqestilla dengan rasa penasaran tak tertahan. Tentu saja terkejut, karena ini pertama kali ada seorang guru yang memperhatikan muridnya sebegini ramah. Mr. Albanero biasanya membiarkan saja murid yang terluka karena hukuman. Bahkan jika dianggap membangkang, masih juga diutus untuk tugas lain yang lebih berat.
Semua murid pernah merasakannya, karena Mr. Albanero memang seperti itu, mudah tersinggung, kadang pilih kasih, suasana hatinya pun naik turun.
Di hari yang mendung, di mana suasana hati seseorang jadi cepat murung dan bersedih, Mr. Albanero tidak akan segan memukul lengan dan kaki menggunakan rotan atau penggaris kayu dari mahoni. Bahkan di hari yang cerah ceria, yang seharusnya membuat orang merasa bahagia, Mr. Albanero masih bisa menghukum anak berusia lima tahun untuk membersihkan kamar mandi seorang diri.
Hari ini juga seperti itu, kan? Padahal matahari sedang bagus-bagusnya, bersinar seperti dewa, tapi Mr. Albanero bisa dengan mudah mencambuk kaki muridnya menggunakan setongkat rotan.
Mengapa kepribadian itu berbeda seratus delapan puluh derajat dari Miss Loqestilla? Guru baru yang satu ini terlalu lembut, pengertian, dan bahkan selalu siap badan ketika muridnya mendapat masalah. Seandainya Mr. Albanero juga seperti itu … mungkin tidak akan ada murid yang punya bekas cambukan, mungkin akan ada banyak kesempatan bagi gadis-gadis desa mendapat suami kaya di masa depan karena kaki dan tangan masih mulus tanpa gores luka. Namun, semua itu hanya angan-angan, bukan? Sudah terlambat beratus-ratus hari.
“Angkat celanamu, Venecia.” Loqestilla kembali bicara, memecah keheningan dan kebekuan yang sempat membuatnya agak salah tingkah. Ia sendiri tidak tahu mengapa murid-muridnya tiba-tiba memandangnya seperti benda asing.
Pada akhirnya, dengan gugup dan sedikit malu, Venecia cepat-cepat menggulung celananya.
Loqestilla mengeluarkan sebuah cepuk kecil dari kantung gaunnya. Ketika ia berjongkok dan ingin mengoleskan salep di dalam cepuk, Venecia tiba-tiba menghentikannya.
“Ja-jangan Miss Loqestilla. Biar saya melakukannya sendiri. A-Anda seorang guru, saya tidak berani menerima kebaikan seperti ini.”
Mendengar itu, Loqestilla hanya bisa menelengkan kepalanya. Telinga rubahnya sedikit bergerak-gerak. “Memangnya kenapa? Kau kan muridku, apa salahnya aku mengobati lukamu?”
Dengan wajah merah hampir keunguan, Venecia berseru, “I-itu alasannya, karena Anda guru, tidak sepatutnya Anda melakukan hal-hal ini kepada murid.”
Logika seperti apa ini? Loqestilla hanya bisa membatin canggung. “Baiklah kalau begitu,” ujarnya pengertian. Ia pun memberikan cepuk obatnya pada Venecia, lalu berkata, “Gunakan dengan baik, ya. Kau bisa menyimpannya, dan bantu temanmu jika mereka juga terluka.”
Venecia mengangguk bersemangat. “Baik, Miss Loqestilla. Terima kasih banyak.”
Ketika Loqestilla berbalik, dan akan menuju meja guru yang berada di depan, Venecia memanggilnya kembali. “Miss Loqestilla.”
“Ya?”
“Punggung Anda … terluka.”
Namun, Loqestilla hanya memberi senyum kecil. “Bukan apa-apa. Luka seperti ini sudah biasa,” jawabnya tenang.
Mendapat senyuman yang begitu ramah, Venecia hanya bisa kembali diam. Seraya memandangi punggung gurunya yang tampak lembut sekaligus kuat, sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benak bocah itu.
Kapan aku bisa membalas kebaikan, Anda?
.
***
.
Loqestilla sudah sering terluka, tetapi rasa sakit bukan hal yang bisa membuat seseorang bisa terbiasa. Bahkan tusukan duri pun masih dapat membuatnya merasa tidak berdaya. Hanya saja, Loqestilla selalu dapat bertahan dan bersabar hingga luka yang menggores tubuh benar-benar hilang. Kemampuannya menyembunyikan perasaan juga sering kali membuat orang-orang percaya bahwa dia memang tidak merasakan apa-apa.
“Ah, sial sekali.”
Di perjalanan pulang ke estat Earl of Lunadhia, Loqestilla hanya bisa mengumpat pelan.
Rupanya, pukulan Ferguso tidak main-main sakitnya. Pantas saja Venecia begitu gembira ketika dia menyelamatkan muridnya itu. Terlebih, karena luka di tubuh Loqestilla mudah sembuh, sekarang luka tersebut malah menimbulkan rasa gatal yang menyiksa. Proses mengeringnya belum sempurna, dan ia juga belum sempat membersihkannya. Beberapa kali ia ingin menggaruk punggungnya, tetapi sulit sekali menjangkau bagian-bagian tertentu.
“Lord Neuri sangat tidak pandai dalam menunjuk guru. Bagaimana bisa manusia semacam Ferguso bisa menjadi guru.” Karena kesal, taring yang biasanya tersembunyi sampai sedikit keluar. Rasanya ingin sekali mencincang seseorang dan meminum darah mereka.
Namun, sekarang ia sedang menjadi orang baik, bukan penjahat. Ia tidak bisa sembarangan mengisap darah orang-orang di sekitarnya. Terlebih, selama ini ia juga selalu diawasi Neuri, sehingga tidak mudah baginya bergerak sembarangan. Selain itu, kesalahan yang dilakukannya akan berakibat langsung pada Lord Lunadhia tersebut, efeknya bahkan bisa merantai hingga ke warga desa dan semua orang di Lunadhia. Loqestilla harus lebih menjaga tingkah lakunya.
Di jalan setapak menuju estat milik Neuri, Loqestilla cukup menikmati pemandangan rimbun di sekitarnya. Pepohonan lebat, semak belukar, dan bahkan sesekali ada tupai atau pun monyet yang mengintipnya dari balik pohon. Jika bukan dia yang lewat, hewan-hewan tersebut mungkin akan leluasa bergerak ke sana - ke mari tanpa rasa takut maupun waspada.
Hanya saja, mereka sangat cerdik. Tahu betul mana makhluk yang harus dihindari sekuat hati.
Menghela napas, hari ini pun Loqestilla hanya bisa memakan belalang. Lagi pula, ia juga sedikit sungkan pada Neuri. Hutan di sini milik Earl of Lunadhia, berarti hewan-hewannya pun berstatus sama. Jika Loqestilla memakan mereka tanpa izin, sama saja dia telah mencurinya. Bukan berarti ia tidak pernah mencuri, hanya … Neuri adalah majikannya, penolongnya. Ia tidak suka mencuri dari orang baik.
Soal belalang … sepertinya Neuri tidak mempermasalahkannya. Loqestilla sudah sering dan dengan terang-terangan mengunyah belalang di depan Neuri, tapi dibiarkan begitu saja.
Akhirnya, untuk mengusir rasa bosan di perjalanan, ia pun mencari-cari apa saja yang bisa disantap. Tidak jauh darinya, ada jaring laba-laba yang cukup besar. Di tengahnya, ada indukan laba-laba yang sangat menggiurkan.
Hanya saja, ketika Loqestilla akan mengambil laba-laba tersebut dari semak-semak, telinga berbulunya mendengar sesuatu. Asalnya tidak jauh dari tempatnya sekarang.
Seperti suara langkah kaki, beberapa orang, dan sangat berhati-hari.
Loqestilla pun diam sesaat, berpura-pura tidak merasakan apa-apa dan tetap mengambil laba-laba di sana dengan gaya yang sangat alami. Baru ketika ia akan memasukkan camilannya ke dalam mulut, sebuah anak panah melesat tepat ke belakang kepalanya.
Tentu saja Loqestilla menghindar. Selain itu, ia tidak bisa bertarung di tempat yang begini mencolok, jadi ia pun memilih melarikan diri ke tempat yang lebih gelap dan tersembunyi.
Sambil berlari tidak terlalu cepat, ia menyempatkan diri mamakan hidangannya. Mengunyah laba-laba seraya berlari begini, mirip seperti memakan gulali sambil bermain petak umpet. Sangat menyenangkan sekaligus mendebarkan. Bibir Loqestilla tertarik sedikit ke atas.
Dalam proses kejar-kejaran tersebut, lagi-lagi anak panah dilesatkan. Sesekali Loqestilla menghindar, sesekali pula ia menangkis serangan tersebut menggunakan sabetan-sabetan angin.
Mata Loqestilla membelalak ketika melihat beberapa anak panah yang dihindarinya menancap tak tentu arah dan membakar tempat itu dengan api hijau.
Sial sekali, Loqestilla harus berurusan dengan pengguna sihir.
Akhirnya, ia pun mempercepat lajunya. Berlari ke hutan Lunadhia lebih dalam. Lesatan-lesatan anak panah tersebut masih terus mengejarnya tanpa henti.
Setelah mencapai rawa-rawa, Loqestilla berhenti. Ia berbalik dan menangkis semua anak panah yang dihujankan padanya dengan sabetan-sabetan angin miliknya. “Ada urusan apa dengan saya?” tanyanya kalem. Senyumnya mengembang manis, menyerupai gadis perawan yang baru saja disapa pemuda kota.
Dari balik bayang-bayang, beberapa orang pun mulai terlihat. Mereka semua menggunakan pakaian hitam, menutup dari ujung kaki hingga kepala. Busur panah berada di tangan, dan sebuah anak panah sudah disiagakan.
Loqestilla menggaruk tengkuknya, terkekeh kecil. Seekor katak melompat di atas kakinya, tapi ia mengusirnya. Dia tidak terlalu suka katak.
Di saat perhatian Loqestilla teralih, lesatan anak panah menuju ke arahnya kembali. Meskipun begitu, Loqestilla menangkisnya lagi dan lagi. Bahkan karena ia mulai kesal, ia melakukan serangan dengan melemparkan pisau-pisau angin ke beberapa orang yang masih diam membisu tersebut.
Pisau-pisau angin Loqestilla berhasil ditangkis dengan sebuah sihir pelindung. Loqestilla pun menghentikan sejenak serangannya.
Mata yang merah dan jeli itu mengawasi setiap gerak gerik orang-orang di depannya. Ia menghitung jumlah lawannya dengan cepat, ada lima yang menampakkan diri, tapi dari suara langkah yang terdengar sejak tadi, seharusnya ada dua lagi. Mereka pasti bersembunyi, berusaha menyerang tanpa diketahui.
“Saya tidak mengenal kalian, mengapa saya diserang?” Loqestilla bertanya kembali, masih sama ramahnya dengan tadi.
Sayangnya, orang-orang serba hitam itu juga tidak ada yang mau membuka mulut sama sekali. Ah, betapa menjengkelkan.
“Kalian benar-benar membuat saya kehilangan kesabaran. Saya sudah bersikap ramah, tapi kalian mengabaikan saya begitu saja. Betapa tidak sopan.”
Seperti tidak mengindahkan ocehan Loqestilla, orang-orang misterius tersebut kembali menembakkan anak panah.
Loqestilla juga kembali menangkis semua serangan yang diberikan. Hanya … hanya saja kali ini ia sangat jengkel. Begitu marah dan ingin memaki. Seumur hidupnya, ia sangat benci pada orang yang tidak bisa diajak bicara, terlebih orang yang selalu mengabaikan pertanyaannya. Dibanding diabaikan, Loqestilla lebih suka dijawab dengan kasar atau hinaan. Karena dia pikir, orang-orang tersebut lebih menghargai dirinya meskipun dengan cara yang buruk.
Pada akhirnya, Loqestilla mengeluarkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh. Tangannya bergerak-gerak mengendalikan angin, memerintahkan udara di sekitarnya untuk berguncang dengan beringas dan menyerang musuh-musuhnya. Saat ia melakukannya, bahkan perisai sihir yang dibentuk pun mampu dirusak hingga tercerai berai. Rumput-rumput di sekitar bahkan tercabut hingga akar-akarnya.
Melihat betapa kuat lawannya, orang-orang berbaju hitam mulai melancarkan serangan dengan lebih berani. Panah-panah dilapisi sihir dan racun, perisai sihir dibuat lebih tebal dan kuat.
Loqestilla membuang napas kasar, mulai marah. “Sangat persisten, sangat persisten.”
Sambil tertawa lebar, dengan taring yang sudah memanjang, Loqestilla berlari menyongsong lawan-lawannya. Di kedua tangannya terbentuk pedang angin yang sangat tebal, digunakan untuk menyabet tameng sihir yang begitu kokoh. Ia melakukannya dengan sangat bersemangat, brutal seperti singa lapar.
Bahkan lima orang di sana hampir tidak bisa menahan serangan Loqestilla yang seperti itu.
Dari kejauhan, dua lesatan anak panah mengarah ke tubuh Loqestilla. Namun, dengan mata yang mengkilat dan wajah seperti setan, Loqestilla menangkis serangan tersebut.
Kemudian, di sekitar tubuh Loqestilla mulai terbentuk lebih banyak angin, berputar di sekitarnya hingga membuat si rubah betina tersebut hampir tidak terlihat.
Berpasang mata di sana, lebih waspada. Namun, karena terlalu fokus pada putaran angin tersebut, mereka tidak menyangka jika Loqestilla sudah berpindah tempat.
Rubah merah tersebut bergerak secara diam-diam dan cepat, menerjang dari belakang dan menggorok setiap leher dengan ke sepuluh kuku jarinya.
Satu per satu orang-orang tersebut tumbang, bahkan yang berada di balik semak kini tinggal jasad yang tergeletak tanpa daya. Darah mengalir dari leher yang terpotong separuh.
Loqestilla mengembus napas lega. Pelan-pelan, ia memeriksa satu orang di sana. Ketika ia membuka penutup wajah, sebuah telinga runcing tersembul dengan jelas.
“Elf?” gumamnya.
Mengapa para elf ini ingin membunuhnya? Apa mereka salah orang?
Perlahan, Loqestilla mengingat-ingat kembali. Sepertinya dia memang punya urusan dengan para elf yang tinggal di Ivoria. Wilayah itu sangat jauh dari Lunadhia, butuh sekitar dua minggu dengan menaiki kapal penumpang.
“Mereka memang gigih, mengejarku sampai ke sini. Padahal di sini wilayah kepulauan, sangat kecil dan terpencil.”
Loqestilla hanya menggaruk tengkuknya. Sekarang, ia harus memikirkan bagaimana ia menyembunyikan jasad-jasad ini supaya tidak ditemukan siapa pun.
Namun, dengan wajah yang ceria dan bahagia, ia akhirnya mengambil keputusan. “Kumakan saja mereka,” kekehnya.
Saat itu langit sudah berubah senja. Warna jingga kemerahan menebar seperti karpet raksasa di angkasa. Perlahan-lahan, kilau kekuningan menembus daun-daun dan pepohonan. Menciptakan suasana hangat yang mendamaikan.
Namun di sini, di dalam hutan yang sepi dan lembap, seorang manusia separuh rubah tengah bersenang-senang dengan caranya sendiri. Di saat orang lain akan menyesap teh atau kopi, wanita berambut merah tersebut menyesap pekatnya darah yang amis dan berbau besi.
Wajahnya sangat cerah, senyumnya merekah bagai bunga usai tersiram hujan. Matanya bahkan hampir memutih karena terlalu senang.
Mungkin karena sudah terlalu lama ia tidak merasakan makanan seenak ini, sehingga dia benar-benar sangat menikmati. Mungkin hampir satu bulan, ia berpuasa dan hanya memakan makanan biasa.
Jika dipikir-pikir, makanan terakhirnya juga berasal dari darah elf. Elf laki-laki yang tampan dan sangat baik.
“Valens Forrest,” ujarnya tiba-tiba. Menghela napas, Loqestilla menghentikan sesapannya sejenak. Tinggal dua orang lagi yang harus dimakan, dan sejujurnya dia sudah merasa kenyang.
Lagi pula, para elf ini mengingatkannya pada teman lamanya.
Valens Forrest.
“Sayang sekali, kau harus pergi dengan cara seperti itu, Valens. Padahal kukira, kita bisa berteman lebih lama.”
Loqestilla mengembus napas untuk ke sekian kali. Meskipun perutnya sudah sangat penuh, tapi ia terus saja memakan sajian yang tersisa. Lagi pula, ia juga tidak tahu sampai kapan bisa makan seperti ini lagi.
Namun, lebih dari itu, seharusnya Loqestilla berpikir lebih jauh. Akibat dari perbuatannya ini, seharusnya ia perhitungkan sejak kini.
Seharusnya ia juga ingat, bahwa julukan untuknya adalah Bencana Merah. Di mana ia berbijak, selalu ada kerusakan di tempat itu. Bahkan bunga yang putih dan suci, bisa menjadi merah dan terendam darah.
Seorang kenalan lama bahkan pernah membuatkannya sebuah puisi. Bunyi puisi tersebut adalah;
‘Ketika seseorang dengan angin merah menghampiri
Larilah, larilah bahkan hingga ke ujung dunia
Apabila kamu terperangkap
Bahkan hatimu yang manis
Akan terasa amis’
.
TBC
09 Juni 2020 by Pepperrujak