INDIRA SEPTA ARIYANI
Aku menghela nafas dari ketidaksanggupanku untuk move on dari hari minggu. Aku begitu jatuh cinta dan tergila-gila pada hari Minggu. Bagaimana ini? Aku merasa berdosa telah begitu setia mencintai hari Minggu.
Aku mungkin tidak akan menghela nafas jika saja jadwalku di hari Senin tidak gila-gilaan padatnya. Jadwalku disekolahan dari jam 06.20 sampai jam 13.50. Iya jam 06.20 karena hari Senin aku harus melaksanakan piket salam pagi, berdiri didepan gerbang sekolah sambil tersenyum manis menyambut siswa-siswi yang datang. Eitss tenang aja, senyum manisku asli kok, gak palsu apalagi ditambah racun.
Setelah jam 13.50? Aku tetap dan masih saja menghela nafas karena pulang sekolah aku hanya sempat makan lalu jam 15.30 kembali pergi ngeles sampai jam 21.30.
Yang membuat aku tetap menghela nafas. Nafas mulu ya dari tadi? Tapi seriusan deh bernafas kan penting banget. Salah satu ciri makhluk hidupkan ya bernafas!
"Dira!" sapa riang sahabatku Erlin.
Nah ini nih yang membuat aku menghela nafas. Aku ingin jeda diantara jam 14.00 sampai jam 15.00 itu untuk aku istirahat tanpa gangguan. Namun mau selelah apapun, aku tetap menyambutnya, dia sahabatku satu-satunya sih. Aku dulu adalah orang yang sangat introvert, tidak mudah bagiku untuk membangun relasi dan bersosialisasi dengan makhluk hidup yang dinamai manusia.
"Kenapa sih?" tanyaku sambil memakan roti yang ku olesi dengan selai coklat dan ditaburi meses diatasnya dan menyerahkan setangkup roti miliku yang lain untuknya.
"I found my Red" ucapnya bahagia.
"Yakin banget neng he's your Red?"
"Matanya ituloh" jawabnya berbinar
Aku hanya mengangguk-angguk, iyain ajalah udah. Sama orang jatuh cinta mah kamu bisa apa?
Meskipun aku juga bingung, bisa gitu ya? Coba sini yang pernah jatuh cinta cerita sini emang bisa jatuh cinta cuma ngeliatnya sekilas doang?
Sahabatku ini jatuh cinta pada pandangan pertama dijalanan, saling berpapasan sekilas, namun Erlin hanya menatap mata pria itu dan ketika pria itu berlalu, Erlin menatap punggung pria itu yang mengenakan baju warna merah. Udah itu doang kata kuncinya. Baju warna merah sama tatapan mata?!
Buset deh, aku aja bingung mau nyari dimana laki-laki dengan kriteria begitu. Hebatnya itu adalah pertemuan 5 tahun lalu dan Erlin masih saja mencari sosok itu yang ia namai Red. Artinya si merah.
"Dia kerja di Rumah Sakit. Namanya Azka, dokter saraf yang menangani aku waktu aku ketiban dus-dus yang isinya buku-buku super tebal. Umurnya 35 tahun. Semenjak itu aku jadi sering konsul ke sana"
Aku melotot menengetahui umur pria itu. What? 35 tahun?! Oke oke...bagi pria itu sih biasa. Pria berumur 35 tahun didekati wanita berumur 25 tahun mungkin masih normal. Aku memposisikan diriku sebagai wanita lajang berumur 35 tahun, ya ampun aku pasti sudah mendapat predikat perawan tua dan tidak ada laki-laki yang ingin mengikatku dalam ikatan pernikahan. Tidak adil bukan?!
"Kamu nggak mikir apa Er, ntar kalau kalian nikah, lalu punya anak, anaknya umur 10 tahun eh dianya udah hampir setengah abad" aku mengerut dengan pemikiranku sendiri.
"Kagaklah, kalau jodoh apa mau dikata" jawab Erlin enteng.
Aku kembali hanya sanggup mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan temanku tercinta. Kalau udah cinta mah bebas aja mau kemana, kagak keliatan juga. Cintakan buta.
"Tapi, dia dingin banget. Disenyumin nggak senyum, dichat nggak dibales" bahu Erlin merosot mengingat kekejaman sikap Azka padanya.
"Dikasih cinta kagak dibalas ya" sambungku asal. Perlu diketahui, mulutku ini memang suka asal mangap, yang penting ngomong.
Erlin hanya mengangguk menanggapi celetukanku.
Aku mengambil hp Erlin yang tergeletak didekatku. Membuka kuncinya dan melihat kontak wa Erlin. Ternyata Erlin menyimpan nomor handphone Azka dengan nama kontak 'Red'.
Aku mulai mengetik dan mengirim pesan pada Azka.
Pak
Bapak
Pak Dokter yang tampan, baik hati dan tidak sombong
Pesan berderet itu aku kirimkan disatu waktu. Satu menit kemudian aku melihat centang biru yang bertanda dokter tersebut sudah membaca pesan itu namun karena tidak ada tanda-tanda balasan aku pun mengiriminya pesan lagi.
Duileh pak
Pesan saya cuma diread doang
Cukup pesan saya aja ya yang bapak abaikan
Perasaan saya jangan.
Aku mengirimnya sambil cekikikan mengundang curiga Erlin.
"Kamu ngapain sih?"
Erlin mengambil hp nya dalam genggamanku, matanya membulat sempurna membaca pesan yang ku kirimkan pada Azka.
"DIRA!" pekiknya tertahan.
"Udah diread ini nggak bisa ditarik lagi pesannya" Erlin menatap horror ke arahku.
"Ya udah sih, biasa aja. Gak usah malu-malu kucing gitu. Kalau suka perjuangin. Kalau dia sedingin es di kutub utara. Ya itu derita kamu naksir sama laki-laki model begitu. Udah tau dia model begitu, berarti usaha kamu juga harus XXL, kalau perlu 5L. Eh ukuran baju paling besar apa sih?"
Pertanyaanku malah berbalas lemparan bantal dari Erlin.
"Aku serius kali, kalau dia sedingin es dikutub utara, jadilah secerah matahari. Biar dia mengalami pemanasan global, kan lama-lama cair"
"Bencana dong kalau gitu" timpal Erlin atas saranku dan aku hanya tertawa lepas.
"Tapi aku kesal, masa setiap kerumah sakit, aku tuh ngedengar samar-samar suster dan perawat-perawat disana ngegosipin aku suka sama itu dokter"
Aku mengernyit "gosip dari mana? Bukannya itu fakta ya?"
"Tapi kan malu"
Aku menepuk jidatku sendiri "Ya ampun Er, kalau aku jadi kamu ya. Aku bakal langsung mengklarifikasi gosip itu menjadi sejelas fakta. Aku bakal langsung bilang 'Memangnya kenapa kalau saya naksir sama dokter Azka. Saya wanita dewasa yang masih muda nan imut-imut sementara dokter Azka lelaki dewasa yang udah kelewat matang namun dianugrahi muka awet muda. Ada yang salah dari seorang wanita jatuh cinta dengan seorang laki-laki?' gitu Er, harus berani . Berjuang Er! Sekarang kalau wanita terlalu malu-malu bisa jadi perawan tua, yang penting jangan malu-maluin Er"
Mungkin aku yang dulu juga seperti Erlin, bagiku pantang seorang wanita berjuang untuk mendapatkan laki-laki. Namun zaman sudah berubah. Jika melihat data BPS, jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki dan melihat fakta yang ada dari perkembangan zaman, sainganku untuk mendapatkan laki-laki bukan hanya dari kalangan wanita namun juga merambat ke kalangan pria yang krisis identitas! Duhai hidup dizaman serba modern ini ribet euy!
Erlin menarik nafas, "Kamu tau kan rekan kerjaku yang super cantik itu juga pernah mendekati dokter itu, tapi malah ditanggapi dingin dan seringnya nggak ditanggapi kayak aku gini"
"Mungkin dia kagak suka cewek cantik kali" jawabku asal dan kemudian merasa horror dengan jawabanku sendiri. Mana ada pria yang nggak suka perempuan cantik! Oh ada, kalangan pria yang juga menyukai pria!
"Er, dia nggak..."
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Erlin menyela dengan cepat "Nggak, dia nggak gay"
Aku menghela nafas lega.
"Bahkan gosip yang beredar dia udah punya tunangan" ucap Erlin lesu.
"Ohhhh...baru gosip juga belum fakta, ngomong-ngomong tolong dipastikan ya tunangannya perempuan"
"DIRAAAA!" Teriakan Erlin menggelegar.
Aku tertawa melihat reaksi Erlin. “Er, minta dong nomornya. Seru juga nih kayaknya. Menantang banget, unik pula”
“Ambil aja sana” Aku mengambil hp Erlin begitu mendapatkan izin dari sang pemiliknya.
“Orangnya sekalian ya aku ambil?” tanyaku dengan niat bercanda.
“Ambil aja kalau bisa” ucap Erlin acuh.
“Udah belum? Aku mau pulang nih” Erlin mengintip hp nya sendiri.
“Udah nih. Makasih, ntar aku coba deh, tapi kalau luluh ya buat aku dong” ucapku asal.
“Pagar makan tanaman banget, Dir” sindir Erlin tanpa nada jengkel ataupun negatif lainnya.
“Teman makan teman. Malas banget disamain sama pagar. Pagar itu benda mati, aku ini benda hidup” kilahku.
“Sama sih, males banget disamain sama tanaman, wong aku wanita cantik begini bukan tumbuhan” balas Erlin sambil mengibaskan rambut pendeknya yang tegerai indah.
“Eh..Er, pinjam hp dong. Kita chat dia sekali lagi” pintaku sambil menampilkan senyum lebar yang membuat Erlin menatapku dengan tatapan horor.
“Nggak usah gila deh!” komentar Erlin yang sudah hapal dengan kegilaanku.
“Ayolah, sekali aja” pintaku lagi dan Erlin menyerahkan handphonenya dengan takut-takut.
Pak, saya mau jadi istri Anda.
Anda mau nggak jadi suami saya?
Aku mengirimkan pesan tersebut dari hp Erlin ke Azka.
“Kamu ngetik apa?” tanya Erlin dan mendekat melihat isi pesanku.
“DIRA!!!!!” teriak Erlin untuk kesekian kalinya sambil memukul lenganku dengan guling yang ia pegang.
“Aduh sakit, Lin. Tuh dibalas!” ucapku mengalihkan perhatian Erlin.
“Pasti ditolak lah” jawab Erlin pasrah.
“Duh Dira, aku nggak punya muka lagi deh ini untuk kerumah sakitnya” rengek Erlin.
“Ya udah kalau nggak punya muka lagi kerumah sakitnya, coba cari muka dirumahnya” jawabku yang mendapatkan delikan kesal dari Erlin.
“Dia balas apa?” tanya Erlin.
“Nggak” jawabku. Azka menjawab dengan jelas dan singkat.
Aku kembali mengetik.
Nggak nolak maksudnya, pak?
Azka membalas.
Nggak mau.
Aku kembali mengetik untuk mempromosikan diri ku sendiri.
Kalau sama teman saya mau? Dia juga lagi nyari suami. Namanya Indira Septa Ariyani. Cantik loh gak kw kw cantiknya.
Azka hanya membaca pesan itu dan kemudian foto profilnya menghilang.
“Lin kok foto profilnya ngilang dan aku nggak bisa ngirim pesan lagi, cuma centang satu doang ini” tanyaku bingung.
“DIRA! Itu artinya diblokir, b**o!” ucap Erlin emosi.
“Ya Allah Dira! Kamu ambil deh tuh makhluk kutub satu, aku udah nggak minat. Nggak berani mau miara yang begituan!” ucap Erlin akhirnya menyerah dan aku hanya tersenyum tanpa dosa.
Aku mengantar Erlin pulang sampai didepan pintu. Begitu punggung Erlin menghilang dari bayanganku, aku menutup pintu dan kembali kerumah.
“Kalian ngomongin apa sih, Dir? Seru banget kayaknya”
Aku duduk disamping mamanya yang sedang menonton drama korea yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV Indonesia.
“Biasa mah, kalau perempuan jomblo ya ngomongin pria yang potensial untuk dinikahi. Tapi pria itu nyaris bujang lapuk, bujang tua” ucapku sambil menyomot kripik pisang yang toplesnya dipeluk oleh mamah sendiri.
“Hush, nggak boleh gosip. Dosa. Siapa bujang lapuknya?”
Aku memutar bola matanya malas, tadi yang bilang jangan ngegosipin orang siapa?
“Itu loh mah, duh siapa ya tadi namanya. Pokoknya adalah seorang dokter yang masih lajang diusianya yang udah 35 tahun. Spesialis saraf di salah satu Rumah Sakit Kota yang terkenal ituloh”
Mama mengalihkan tatapan matanya dari televisi kearahku. Maklum iklan, makanya mama rela mengalihkan pandangan matanya “Oh, mama ada ngejodohin kamu dengan salah satu anak tetangga Tante Heni. Anak tetangga tante Heni itu kerja juga di Rumah Sakit itu. Dokter juga”
Aku terkejut sekaligus tertarik dengan informasi yang aku dapatkan. “Oh ya? Kapan mah? Kok mamah nggak pernah cerita?”
“Bulan lalu kalau nggak salah, mama lupa terus mau cerita sama kamu. Kemarenkan mama kerumah tante kamu itu, eh pas ada tetangga tante kamu main kerumah Tante Heni, Tante Dona. Tante Dona cerita tentang anaknya, lalu mama juga cerita tentang kamu. Eh tante Dona malah pengen jodohin kamu dengan anaknya. Mama iyain aja sih waktu itu”
Aku melongo mendengar cerita mama, semudah itu mama menyerahkan anak perempuan semata wayangnya. Sungguh sulit untuk kupercaya. “Nama anaknya tante Dona siapa Ma? Lalu dia dokter apa?”
“Nggak tau, mama lupa” jawab Mama enteng. Sementara aku harus mengubur dalam rasa penasaranku. Sekarang aku paham otak sengklekku ini turunan dari siapa. Dari Mama tercinta.bernafas!
"Dira!" sapa riang sahabatku Erlin.
Nah ini nih yang membuat aku menghela nafas. Aku ingin jeda diantara jam 14.00 sampai jam 15.00 itu untuk aku istirahat tanpa gangguan. Namun mau selelah apapun, aku tetap menyambutnya, dia sahabatku satu-satunya sih. Aku dulu adalah orang yang sangat introvert, tidak mudah bagiku untuk membangun relasi dan bersosialisasi dengan makhluk hidup yang dinamai manusia.
"Kenapa sih?" tanyaku sambil memakan roti yang ku olesi dengan selai coklat dan ditaburi meses diatasnya dan menyerahkan setangkup roti miliku yang lain untuknya.
"I found my Red" ucapnya bahagia.
"Yakin banget neng he's your Red?"
"Matanya ituloh" jawabnya berbinar
Aku hanya mengangguk-angguk, iyain ajalah udah. Sama orang jatuh cinta mah kamu bisa apa?
Meskipun aku juga bingung, bisa gitu ya? Coba sini yang pernah jatuh cinta cerita sini emang bisa jatuh cinta cuma ngeliatnya sekilas doang?
Sahabatku ini jatuh cinta pada pandangan pertama dijalanan, saling berpapasan sekilas, namun Erlin hanya menatap mata pria itu dan ketika pria itu berlalu, Erlin menatap punggung pria itu yang mengenakan baju warna merah. Udah itu doang kata kuncinya. Baju warna merah sama tatapan mata?!
Buset deh, aku aja bingung mau nyari dimana laki-laki dengan kriteria begitu. Hebatnya itu adalah pertemuan 5 tahun lalu dan Erlin masih saja mencari sosok itu yang ia namai Red. Artinya si merah.
"Dia kerja di Rumah Sakit. Namanya Azka, dokter saraf yang menangani aku waktu aku ketiban dus-dus yang isinya buku-buku super tebal. Umurnya 35 tahun. Semenjak itu aku jadi sering konsul ke sana"
Aku melotot menengetahui umur pria itu. What? 35 tahun?! Oke oke...bagi pria itu sih biasa. Pria berumur 35 tahun didekati wanita berumur 22 tahun mungkin masih normal. Aku memposisikan diriku sebagai wanita lajang berumur 35 tahun, ya ampun aku pasti sudah mendapat predikat perawan tua dan tidak ada laki-laki yang ingin mengikatku dalam ikatan pernikahan. Tidak adil bukan?!
"Kamu nggak mikir apa Er, ntar kalau kalian nikah, lalu punya anak, anaknya umur 10 tahun eh dianya udah hampir setengah abad" aku mengerut dengan pemikiranku sendiri.
"Kagaklah, kalau jodoh apa mau dikata" jawab Erlin enteng.
Aku kembali hanya sanggup mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan temanku tercinta. Kalau udah cinta mah bebas aja mau kemana, kagak keliatan juga. Cintakan buta.
"Tapi, dia dingin banget. Disenyumin nggak senyum, dichat nggak dibales" bahu Erlin merosot mengingat kekejaman sikap Azka padanya.
"Dikasih cinta kagak dibalas ya" sambungku asal. Perlu diketahui, mulutku ini memang suka asal mangap, yang penting ngomong.
Erlin hanya mengangguk menanggapi celetukanku.
Aku mengambil hp Erlin yang tergeletak didekatku. Membuka kuncinya dan melihat kontak wa Erlin. Ternyata Erlin menyimpan nomor handphone Azka dengan nama kontak 'Red'.
Aku mulai mengetik dan mengirim pesan pada Azka.
Pak
Bapak
Pak Dokter yang tampan, baik hati dan tidak sombong
Pesan berderet itu aku kirimkan disatu waktu. Satu menit kemudian aku melihat centang biru yang bertanda dokter tersebut sudah membaca pesan itu namun karena tidak ada tanda-tanda balasan aku pun mengiriminya pesan lagi.
Duileh pak
Pesan saya cuma diread doang
Cukup pesan saya aja ya yang bapak abaikan
Perasaan saya jangan.
Aku mengirimnya sambil cekikikan mengundang curiga Erlin.
"Kamu ngapain sih?"
Erlin mengambil hp nya dalam genggamanku, matanya membulat sempurna membaca pesan yang ku kirimkan pada Azka.
"DIRA!" pekiknya tertahan.
"Udah diread ini nggak bisa ditarik lagi pesannya" Erlin menatap horror ke arahku.
"Ya udah sih, biasa aja. Gak usah malu-malu kucing gitu. Kalau suka perjuangin. Kalau dia sedingin es di kutub utara. Ya itu derita kamu naksir sama laki-laki model begitu. Udah tau dia model begitu, berarti usaha kamu juga harus XXL, kalau perlu 5L. Eh ukuran baju paling besar apa sih?"
Pertanyaanku malah berbalas lemparan bantal dari Erlin.
"Aku serius kali, kalau dia sedingin es dikutub utara, jadilah secerah matahari. Biar dia mengalami pemanasan global, kan lama-lama cair"
"Bencana dong kalau gitu" timpal Erlin atas saranku dan aku hanya tertawa lepas.
"Tapi aku kesal, masa setiap kerumah sakit, aku tuh ngedengar samar-samar suster dan perawat-perawat disana ngegosipin aku suka sama itu dokter"
Aku mengernyit "gosip dari mana? Bukannya itu fakta ya?"
"Tapi kan malu"
Aku menepuk jidatku sendiri "Ya ampun Er, kalau aku jadi kamu ya. Aku bakal langsung mengklarifikasi gosip itu menjadi sejelas fakta. Aku bakal langsung bilang 'Memangnya kenapa kalau saya naksir sama dokter Azka. Saya wanita dewasa yang masih muda nan imut-imut sementara dokter Azka lelaki dewasa yang udah kelewat matang namun dianugrahi muka awet muda. Ada yang salah dari seorang wanita jatuh cinta dengan seorang laki-laki?' gitu Er, harus berani . Berjuang Er! Sekarang kalau wanita terlalu malu-malu bisa jadi perawan tua, yang penting jangan malu-maluin Er"
Mungkin aku yang dulu juga seperti Erlin, bagiku pantang seorang wanita berjuang untuk mendapatkan laki-laki. Namun zaman sudah berubah. Jika melihat data BPS, jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki dan melihat fakta yang ada dari perkembangan zaman, sainganku untuk mendapatkan laki-laki bukan hanya dari kalangan wanita namun juga merambat ke kalangan pria yang krisis identitas! Duhai hidup dizaman serba modern ini ribet euy!
Erlin menarik nafas, "Kamu tau kan rekan kerjaku yang super cantik itu juga pernah mendekati dokter itu, tapi malah ditanggapi dingin dan seringnya nggak ditanggapi kayak aku gini"
"Mungkin dia kagak suka cewek cantik kali" jawabku asal dan kemudian merasa horror dengan jawabanku sendiri. Mana ada pria yang nggak suka perempuan cantik! Oh ada, kalangan pria yang juga menyukai pria!
"Er, dia nggak..."
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Erlin menyela dengan cepat "Nggak, dia nggak gay"
Aku menghela nafas lega.
"Bahkan gosip yang beredar dia udah punya tunangan" ucap Erlin lesu.
"Ohhhh...baru gosip juga belum fakta, ngomong-ngomong tolong dipastikan ya tunangannya perempuan"
"DIRAAAA!" Teriakan Erlin menggelegar.
Aku tertawa melihat reaksi Erlin. “Er, minta dong nomornya. Seru juga nih kayaknya. Menantang banget, unik pula”
“Ambil aja sana” Aku mengambil hp Erlin begitu mendapatkan izin dari sang pemiliknya.
“Orangnya sekalian ya aku ambil?” tanyaku dengan niat bercanda.
“Ambil aja kalau bisa” ucap Erlin acuh.
“Udah belum? Aku mau pulang nih” Erlin mengintip hp nya sendiri.
“Udah nih. Makasih, ntar aku coba deh, tapi kalau luluh ya buat aku dong” ucapku asal.
“Pagar makan tanaman banget, Dir” sindir Erlin tanpa nada jengkel ataupun negatif lainnya.
“Teman makan teman. Malas banget disamain sama pagar. Pagar itu benda mati, aku ini benda hidup” kilahku.
“Sama sih, males banget disamain sama tanaman, wong aku wanita cantik begini bukan tumbuhan” balas Erlin sambil mengibaskan rambut pendeknya yang tegerai indah.
“Eh..Er, pinjam hp dong. Kita chat dia sekali lagi” pintaku sambil menampilkan senyum lebar yang membuat Erlin menatapku dengan tatapan horor.
“Nggak usah gila deh!” komentar Erlin yang sudah hapal dengan kegilaanku.
“Ayolah, sekali aja” pintaku lagi dan Erlin menyerahkan handphonenya dengan takut-takut.
Pak, saya mau jadi istri Anda.
Anda mau nggak jadi suami saya?
Aku mengirimkan pesan tersebut dari hp Erlin ke Azka.
“Kamu ngetik apa?” tanya Erlin dan mendekat melihat isi pesanku.
“DIRA!!!!!” teriak Erlin untuk kesekian kalinya sambil memukul lenganku dengan guling yang ia pegang.
“Aduh sakit, Lin. Tuh dibalas!” ucapku mengalihkan perhatian Erlin.
“Pasti ditolak lah” jawab Erlin pasrah.
“Duh Dira, aku nggak punya muka lagi deh ini untuk kerumah sakitnya” rengek Erlin.
“Ya udah kalau nggak punya muka lagi kerumah sakitnya, coba cari muka dirumahnya” jawabku yang mendapatkan delikan kesal dari Erlin.
“Dia balas apa?” tanya Erlin.
“Nggak” jawabku. Azka menjawab dengan jelas dan singkat.
Aku kembali mengetik.
Nggak nolak maksudnya, pak?
Azka membalas.
Nggak mau.
Aku kembali mengetik untuk mempromosikan diri ku sendiri.
Kalau sama teman saya mau? Dia juga lagi nyari suami. Namanya Indira Septa Ariyani. Cantik loh gak kw kw cantiknya.
Azka hanya membaca pesan itu dan kemudian foto profilnya menghilang.
“Lin kok foto profilnya ngilang dan aku nggak bisa ngirim pesan lagi, cuma centang satu doang ini” tanyaku bingung.
“DIRA! Itu artinya diblokir, b**o!” ucap Erlin emosi.
“Ya Allah Dira! Kamu ambil deh tuh makhluk kutub satu, aku udah nggak minat. Nggak berani mau miara yang begituan!” ucap Erlin akhirnya menyerah dan aku hanya tersenyum tanpa dosa.
Aku mengantar Erlin pulang sampai didepan pintu. Begitu punggung Erlin menghilang dari bayanganku, aku menutup pintu dan kembali kerumah.
“Kalian ngomongin apa sih, Dir? Seru banget kayaknya”
Aku duduk disamping mamanya yang sedang menonton drama korea yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV Indonesia.
“Biasa mah, kalau perempuan jomblo ya ngomongin pria yang potensial untuk dinikahi. Tapi pria itu nyaris bujang lapuk, bujang tua” ucapku sambil menyomot kripik pisang yang toplesnya dipeluk oleh mamah sendiri.
“Hush, nggak boleh gosip. Dosa. Siapa bujang lapuknya?”
Aku memutar bola matanya malas, tadi yang bilang jangan ngegosipin orang siapa?
“Itu loh mah, duh siapa ya tadi namanya. Pokoknya adalah seorang dokter yang masih lajang diusianya yang udah 35 tahun. Spesialis saraf di salah satu Rumah Sakit Kota yang terkenal ituloh”
Mama mengalihkan tatapan matanya dari televisi kearahku. Maklum iklan, makanya mama rela mengalihkan pandangan matanya “Oh, mama ada ngejodohin kamu dengan salah satu anak tetangga Tante Heni. Anak tetangga tante Heni itu kerja juga di Rumah Sakit itu. Dokter juga”
Aku terkejut sekaligus tertarik dengan informasi yang aku dapatkan. “Oh ya? Kapan mah? Kok mamah nggak pernah cerita?”
“Bulan lalu kalau nggak salah, mama lupa terus mau cerita sama kamu. Kemarenkan mama kerumah tante kamu itu, eh pas ada tetangga tante kamu main kerumah Tante Heni, Tante Dona. Tante Dona cerita tentang anaknya, lalu mama juga cerita tentang kamu. Eh tante Dona malah pengen jodohin kamu dengan anaknya. Mama iyain aja sih waktu itu”
Aku melongo mendengar cerita mama, semudah itu mama menyerahkan anak perempuan semata wayangnya. Sungguh sulit untuk kupercaya. “Nama anaknya tante Dona siapa Ma? Lalu dia dokter apa?”
“Nggak tau, mama lupa” jawab Mama enteng. Sementara aku harus mengubur dalam rasa penasaranku. Sekarang aku paham otak sengklekku ini turunan dari siapa. Dari Mama tercinta.