PENASARAN

982 Kata
Anita Benar-benar sikap ngaret alias sering sekali telat ini tidak pernah bisa aku hilangkan. Apapun kondisinya, seberapa pentingpun acaranya, pasti aku harus selalu terlambat. Namun terkadang beberapa kejadian terlambat malah mendatangkan keberuntungan untukku. Seperti keterlambatanku 3 bulan yang lalu saat baru pertama kali masuk kuliah. Akibat terlambat dan buru-buru, aku tidak sengaja menabrak seorang senior di kampus yang kini menjadi orang yang kusukai. Iya, aku mengaku memang ini masih rasa suka sebelah alias cinta bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi, aku masih bisa berharap kan? Siapa tahu lama kelamaan Kak Bimo akan menyukaiku juga. Bimo nama senior itu, nama lengkapnya Sadrabimo Bakti. Dia mahasiswa Fakultas Kedokteran, tidak satu fakultas denganku. Namun sejak kejadian aku mematahkan raketnya dulu, aku tahu bahwa dia anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Klub Bulutangkis. Awalnya, aku sempat kesal dengan kegigihannya meminta ganti rugi karena raketnya yang patah. Eh akhirnya, karena suatu kejadian aku malah menjadi penasaran dan menyukainya. Hingga akhirnya aku memutuskan ikut masuk ke klub yang sama. Flashback On “Lo kan? Maba PR yang tadi pagi nabrak gue?” tanya seorang laki-laki yang mendadak menghadangku yang ingin segera pulang. Setelah lelah duduk seharian dan mendengar berbagai penjelasan di hari pertama orientasi mahasiswa baru ini, rasanya aku ingin segera pulang. Aku ingin mandi dengan air hangat, membaringkan tubuh di kasurku, dan terlelap. Namun sepertinya keinginanku harus tertunda beberapa saat karena laki-laki ini. Aku kebingungan memandangnya dan masih belum mengerti apa yang dia maksud. Hingga akhirnya laki-laki itu mengangkat raket patah di depan wajahku. “Ini raket gue patah... jangan pura-pura nggak inget ya lo... tadi katanya lo mau ganti, raket mahal lho ini...” ucap laki-laki itu dan akhirnya aku ingat. Tadi pagi aku memang menabraknya karena terburu-buru. Menyebalkan sekali laki-laki ini, perkara raket patah saja sampai harus ditagih seperti ini. “Memang berapa sih harga raketnya? Hitung-hitungan banget jadi cowok...” jawabku kesal. “Mahal... sebenarnya gue nggak yakin lo bisa ganti...” jawabnya masih tidak memberi tahu harganya. “Kasih tahu aja berapa harganya... gue transfer nih sekarang...” jawabku sambil mengeluarkan handphone dan akan mentransfer biaya ganti rugi melalui mobile banking yang baru Mama pasangkan ke rekening pribadiku. “Satu juta lima ratus ribu...” ucapnya pelan dan membuatku terbelalak kaget. “Eh mau nipu gue lo ya... Mentang-mentang gue maba, lo kira gue bisa dipalak gini?” aku marah dan segera melontarkan tuduhanku kalau laki-laki ini adalah pemalak mahasiswa baru yang pernah diceritakan beberapa temanku di SMA dulu. Segera setelah itu, aku mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu dan menarik telapak tangan pria itu. Aku menaruh selembar uang seratus ribu itu di telapak tangannya dan berkata “Nih seratus ribu... cukup buat beli dua raket di syopi... udah ya... lain kali jangan malak maba lagi... malu jadi senior...” Aku berlalu pergi setelahnya. Hanya kekesalan yang kurasakan pada sosok senior itu. Bahkan namanya saja aku tidak ingat. ***** Hari ini adalah hari terakhir masa orientasi mahasiswa baru. Akhirnya satu minggu ini bisa kulewati juga. Bahkan hari ini aku bisa lebih leluasa sedikit, karena hari ini hanya akan ada booth berbagai UKM yang menerima pendaftaran mahasiswa baru yang ingin bergabung. Aku dan Siska yang cukup akrab selama masa orientasi ini cukup semangat mengunjungi setiap booth untuk mencari klub yang menarik. Saat sedang berkeliling, karena asik sendiri aku terpisah dari Siska. Kondisi lapangan luas kampus yang dipadati oleh ribuan mahasiswa baru, membuatku sedikit kebingungan. Lama kelamaan aku pun terdesak dan memasuki kerumunan cukup banyak orang di sisi lain lapangan. Tidak berapa lama, suara musik terdengar. Aku melihat sebuah band tampilan di sebuah panggung di tengah lapangan. Ternyata ada pertujukan dari UKM kesenian yang sedang menampilkan bakat setiap anggotanya. Aku tidak terlalu tertarik dengan UKM ini, jadi aku mencoba keluar dari kerumunan. Sayangnya, usahku gagal. Jangankan untuk keluar, berbalik badan saja aku tidak sanggup. Suasana riuh semakin terjadi. Kini bahkan kerumunan penonton mulai melompat berjingkrak-jingkrak. Aku ketakutan karena semakin lama aku merasa tubuhku semakin dipepet seseorang dari arah belakang. Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku, gemetar dan keringat dingin memikirkan kemungkinan ada orang yang berusaha melecehkanku. Hari ini aku yang memakai rok sedikit di atas lutut pun merasa menyesal, karena sekarang aku merasakan tangan kasar menyentuh bagian pahaku yang tidak tertutup rok. Aku bersuara lirih dan mencoba menengok kebelakang “jangan...” Tetapi sepertinya si pelaku pelecahan itu tidak menghiraukannya. Kini bahkan tangan lainnya menggenggam tangan kiriku yang kulilitkan di depan tubuhku. “lepas...” lagi aku bersuara sambil mencoba melepas tangan yang menggenggam lenganku tadi. Usahaku tidak berhasil. Tangan itu sangat erat menggenggamku bahkan tangannya yang berada di pahaku kini sudah mengelus pahaku semakin naik. Aku ingin menangis saat ini. Aku pun menangis dan memejamkan mataku mencoba tidak menerima kenyataan atas perilaku yang kuterima ini. Hingga kemudian sebuah tangan lain muncul. Tangan itu menarik tangan kananku yang bebas dengan cukup kuat. Tarikannya membuat tubuhku bergeser cukup jauh ke sisi kanan. “Ke mana saja dari tadi dicariin...” ucap seseorang yang menarikku tadi. Aku pun mendongakkan wajahku melihat siapa yang baru saja menyelamatkanku dari pelecehan tadi. Dia laki-laki senior itu. Si pemilik raket dulu. ***** Si pemilik raket itu membawaku menjauh dari kerumunan pertunjukkan UKM kesenian. Dia terus menarikku dan kemudian berhenti di sebuah booth yang dihiasi dengan banyak raket dan kok. “Bagi kursi satu dong...” ucapnya pada seseorang yang menjaga booth dan orang itu langsung menyerahkan tempat duduknya. Dia menarik kursi itu agak ke dalam booth dan mendudukanku di atas kursi. Selanjutnya, dia pergi selama beberapa menit dan kembali dengan penuh keringat di wajahnya dan membawa sebotol air mineral. “Minum nih... Masih panik?” tanyanya. Aku mengambil air mineral yang diberikannya. Meneguknya beberapa kali, menutup kembali botol itu, dan kemudian menangis kencang. Aku menangisi kebodohanku yang hampir saja terjebak di situasi di mana aku tidak bisa melawan saat dilecehkan. Aku menangis karena lega, bisa berada di sini setelah diselamatkan oleh laki-laki itu. Aku mulai penasaran siapa laki-laki ini sebenarnya. Flashback Off
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN