Bab 1. Gadis Belia
“Kamu bisa apa?” tanya Aksara dengan nada meninggi. Dilihatnya gadis belia di depannya yang tengah memilin ujung baju ketakutan. Aksara tidak menyangka, jika asisten rumah tangga yang bertahun-tahun menjadi bawahannya merekomendasikan gadis kecil itu untuk menjadi babysitter anaknya. Bukan hanya itu, gadis yang dianggap ingusan itu juga harus mengurus semua isi rumah.
“Saya bisa memandikan anak bayi, menyuapinya makan dan memenuhi kebutuhannya, Tuan. Saya juga sudah terbiasa memasak dan membersihkan rumah.”
“Gadis kecil sepertimu?” Lelaki itu terkekeh.
Celine menduduk.
“Siapa namamu? Celine?”
“Iya, Tuan.”
“Berapa usiamu?”
“Tujuh belas tahun, Tuan.”
“Apa hubunganmu dengan Mbok Atun.”
“Saya keponakannya, Tuan.”
“Pantas dia mendatangkan kamu dan langsung ijin mendadak. Ternyata kamu masih saudara.” Lelaki itu menggeleng dengan mengumpat kasar mantan asisten rumah tangganya.
“Maaf, sebelumnya, Tuan. Apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Celine dengan nada ketakutan.
“Kamu masih sangat muda. Apa kamu yakin bisa mengurus anak saya yang baru beranjak dua tahun.”
“Saya yakin bisa, Tuan. Saya sudah terbiasa mengurus adik-adik saya sedari kecil.”
“Adik kamu beda dengan anak saya. Dia itu pewaris perusahaan Aksara. Perusahaan besar.”
“Maaf, Tuan.”
“Saya tak ada pilihan lain untuk tidak menerimamu. Bekerjalah! Tapi ingat, goresan sedikit di tubuh anak saya, maka kamu akan tahu akibatnya.”
“Baik, Tuan.”
Lelaki itu menoleh ke jam mahal yang melingkar di lengannya. Urusan penting yang menantinya, tak memberi waktu lama untuk mewancarai babysitter baru itu. Hanya menunjuk kamar jagoannya dan berlalu begitu saja.
“Maaf, Tuan.”
“Ada apa lagi?” tanya Aksara geram. Ia menghentikan langkah kakinya dengan wajah yang ditolehkan ke belakang. Duda berumur tiga puluh tahunan itu mulai kehilangan kesabaran.
“Maaf, Tuan. Saya hanya mau memberikan bekal ini untuk Tuan. Kata Simbok ….”
“Gak perlu kamu jelaskan,” ucap Aksara yang mengambil kotak makan itu dan langsung berlalu.
Celine memegang dadanya. Detakan jantungnya tak berirama seperti biasa. Bertemu Aksara, membuat aliran darah itu berpacu lebih kencang. Apalagi ketika bentakan itu terdengar. Tubuhnya menegang, kesusahan untuk bergerak.
Bukan mau Celine bekerja di umur sedini ini. Keadaan memaksanya untuk melakukan hal tersebut.
Tidak ada pilihan lain. Kedua adiknya yang kini mulai memasuki bangku sekolah, mulai membutuhkan dana berlebih. Ia tak bisa jika terus-terusan menjadi buruh cuci yang upahnya tak seberapa.
***
Di sisi lain, Aksara mulai tak tenang. Bagaimana mungkin ia menyerahkan anaknya kepada gadis ingusan yang tak tahu apa-apa itu? Apalagi ia tak melihat kinerja gadis itu sedetik pun.
Di sela meetingnya, ia terus menatap jam di lengannya, rasanya tak etis jika meninggalkan pertemuan penting dengan kolega bisnisnya itu begitu saja. Segera ia meninggalkan ruangan ketika pertemuan itu usai. Dirogohnya ponsel di sakunya dan disambungkan panggilan itu ke telfon rumah. Ya, ia lupa menanyai nomor telfon gadis asing itu.
“Selamat pagi," ucap dari sebrang sana.
“Ini saya.”
“Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
“Apa Denim sudah bangun?”
“Sudah, Tuan.”
“Apa dia menangis?”
“Tidak, Tuan.”
“Apa dia sudah mandi?”
“Sudah, Tuan.”
“Apa ia sudah makan?”
“Sudah, Tuan.”
“Kamu itu robot atau apa? kenapa diajak ngomong dari tadi jawabnya hanya iya dan tidak,” ucap Aksara kesal.
“Berapa nomor telfonmu!”
Celine mengucapkan 12 digit nomornya yang hafal di luar kepala. Nomor yang masuk di ponsel jadul miliknya. Ponsel melegenda.
“Saya telfon ke ponselmu saja.”
“Baik, Tuan.”
Tak selang lama bunyi tulalit itu terdengar. Ponsel berbentuk kubus dengan warna hitam itu menampakkan cahaya kuning agak gelap. Salah satu sisi layarnya memang sudah retak.
“Kenapa nggak bisa dihubungi via Whatshap? Saya mau video call dengan anak saya.”
“Maaf, Tuan. Saya tidak punya aplikasi itu.”
“Segera instal!”
Tak ada jawaban yang terdengar di telinga Aksara. Sedangkan Celine kini membisu bingung berucap.
“Kenapa? Tidak punya paket data? Rumah saya ada jaringan wifinya. Pakai saja paswordnya nama anak saya.”
“Bukan seperti itu, Tuan.”
“Lalu apa?”
“Ponsel saya tidak bisa mengakses whatshap. Tidak terdapat jaringan internet.”
“Ya Tuhan. Merek ponselmu apa? Tipe apa?”
Celine menyebutkan sebuah merek ponsel terkenal pada jamannya. Merk hp yang kini sepi pasaran dan sepi peminat. Bahkan bisa dibilang merk tersebut mulai kehilangan kepercayaan konsumennya. Tak lagi menjadi alat komunikasi canggih seperti beberapa merk lainnya yang terus mengikuti arus jaman.
“Buang ponselmu! Tak guna.”
“A-apa, Tuan?” tanya Celine gugup. Ia tak berani menolak permintaan tuan barunya. Namun, ia juga sayang dengan benda elektronik yang selalu jadi rebutan kedua adiknya itu. Ya, adik Celine yang mulai duduk di bangku sekolah SD itu memang sering berebut untuk memainkan permainan legend. Permainan cacing yang akan kalah ketika kepala itu menyenggol tubuhnya.
***
Aksara mulai membuka bekal makanan dari babysitter barunya. Nasi goreng minimalis tanpa sosis, tanpa ayam. Bahkan telur pun tak ada. Ya, hanya ada nasi yang digoreng dengan racikan bumbu. Dilihat saja sangat tak berselera.
“Bagaimana kamu mengurus saya dan anak-anak saya, kalau menyajikan makanan saja tidak becus seperti ini? Apa ini yang kamu bilang memasak?” ucap Aksara bermonolog.
Usai kerja nanti, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk memecat Celine. Gadis itu masih terlalu dini untuk mengurus rumah besarnya. Apalagi mengurus anaknya yang masih balita. Aksara sama sekali tak mempercayai gadis itu.
Dilihatnya kembali jam yang melingkari lengannya, Pikirannya sudah mulai kacau membayangakan apa yang terjadi dengan putra kesayangannya. Satu-satunya kenangan yang istrinya berikan untuknya. Ya, istri Aksara meninggal ketika melahirkan Denim.
“Bas, kita pulang sekarang!” ucap Aksara kepada supirnya.
"Ini baru jam makan siang, Pak.”
“Terserah saya.”
“Ba- baik, Pak.”
Baskoro mulai melajukan kendaraan. Namun, tiba-tiba ekor mata Aksara tertuju ke kotak makan yang belum disentuh sedikit pun isinya. Bentuk nasi goreng yang pucat, tanpa adanya protein sedikit pun itu sama sekali tak menggugah selera makannya.
“Tadi ikut sarapan masakan Celine nggak, Pak?” tanya Baskoro kepada Tuannya. Ya, hanya dialah yang berani berbicara panjang kali lebar dengan lelaki arogan itu.
“Nasi goreng? Kenapa?”
“Beuh, enak banget, Pak. Masakan mbok Inah lewat,” ucap Baskoro antusias.
“Saya tak tertarik, lihatnya saja nggak menarik.”
“Justru itu, Pak. Nasi goreng Celine mengingatkan saya saat di kampung. Masakan orang desa itu enak lo, Pak.”
“Gak yakin.”
“Ya terserah Bapak.”
Mendapati argument seperti itu, kini tangannya mulai meraih kotak makannya. Ia membuka wadah makan dan sedikit menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Awalnya ia tak yakin, hingga makanan bumbu ndeso itu masuk ke mulutnya. Aksara baru tersadar dengan apa yang diucap supirnya.
Makanan yang di anggap pucat dan tampilan tak menarik itu nyatanya memiliki rasa yang luar biasa. Berkali-kali ia mengecap makanan tersebut untuk memastikan. Tapi, perpaduan bumbu di dalamnya benar-benar pas. Tanpa sadar kotak makan yang dibawanya telah kosong, hanya meninggalkan sedikit minyak dari sisa penggorengan.