Usai belanja Fadhil ngajak Emma makan di sebuah kafe dengan konsep outdoor yang gak jauh dari swalayan tempat mereka makan tadi.
"Udah pernah kesini belum?" tanya Fadhil.
"Belum... Seah ngajak sih tapi belum sempat ekskusi soalnya dia lembur terus." Jawab Emma dia menata barang belanjaannya agar tidak jatuh dari motor Fadhil.
"Temen kamu yang tadi?" tanya Fadhil yang mengingat sosok teman Emma yang menerobos kamar Emma sewaktu dia jemput Emma.
"Iya hehheeh..."
"Nggak papa nih belanjaan taruh disini?" tanya Emma kemudian.
"Ya nggak papa lah, nggak bakalan ilang kok, udah masuk yuk!" Fadhil mendahului Emma jalan masuk ke Kafe dengan neon box bertuliskan D'javu cafe.
Fadhil mengambil tempat duduk dekat dinding dengan ornamen batu pualam yang mengkilat karena di terpa lampu yang berpendar diatas mereka.
Fadhil baru saja duduk, saat seseorang menyapa dan duduk disebelah nya tanpa sungkan-sungkan.
"Angga..." sapa Fadhil.
"Sama siapa kesini?" tanya Fadhil yang tak melihat ada seseorang yang membayanginya.
"Sendirian sih, tadi kebetulan lewat terus mampir, kamu siapa?" Angga balik bertanya.
Emma yang baru saja sampai, langsung duduk di hadapan mereka, Angga menoleh kearahnya dan tatapan mereka bertemu. Semacam ada Wavelenght yang menerjang hatinya. Bermula dari detak jantung tak beraturan sampai tangan yang berkeringat.
"Ini sama dia, tadi habis belanja." jawab Fadhil.
"Ohh..." gumam Angga.
Emma hanya melontarkan senyum, kemudian menyimak obrolan mereka, dia tau Angga anak Skiving karena sering lihat waktu nyusulin Seah, tapi nggak pernah sedekat ini.
Pesanan mereka datang, karena space yang sempit, pelayan nggak bisa menjangkau ke semua tempat mereka.
Kebetulan, untuk minum... Angga dan Emma memesan minuman yang sama yaitu teh manis. Emma nggak suka minuman yang macem-macem, karena selain nggak nyaman di perut kadang suka nyangkut di leher, sampai beberapa jam rasanya nggak hilang, dan itu bikin dia sudah tidur. Sedangkan Angga dia hanya ngepasin dengan duit yang ia bawa.
Pelayan datang membawa baki penuh pesanan mereka bertiga, dia tidak bisa meletakkan sendiri di atas meja melainkan menyerahkan pada pemesannya, karena fokus pada baki yang berat. Angga menerima teh hangat nya yang cenderung panas lalu meletakkan di atas meja.
Kemudian saat Emma hendak menerima teh hangatnya, Angga buru-buru mengambil alih menerima teh yang panas tadi dan meletakkan di hadapan Emma. Disusul menu yang lain.
"Makasih." ucap Emma, yang hanya dibalas anggukan oleh Angga.
Sebelum makan, Emma yang haus berniat meminum tehnya terlebih dulu, namun tak disangka teh itu ternyata lebih panas daripada dugaanya.
Dia buru-buru menelannya lalu mengipas-ngipas mulutnya.
"Panas banget, jadi kasar lidahku." ucap Emma.
Fadhil menyentuh gelas Emma, untuk memeriksa.
"Iya nih..." kata Fadhil kemudian.
"Mbak gimana sih, teh manisnya kok panas banget?" protes Fadhil kemudian.
"Oh maaf mas, apa mau saya tambahkan sedikit es?" tanya pelayan yang berada di dekat mereka.
"Enggak mbak... nggak usah kok." jawab Emma.
"La tapi gimana kamu bisa minum, kalau teh nya terlalu panas gini?" tanya Fadhil.
"Nggak papa mas nanti juga dingin pas kita udah selesai makan." ucap Emma.
Emma baru menyadari satu hal, alasan Angga buru-buru mengambil alih saat ia akan menerima teh panas tadi dari tangan pelayan, tidak lain karena Angga nggak mau dia kepanasan. Emma mengangguk-angguk sendiri.
Usai makan, mereka bertiga pulang, dan Fadhil ngantar Emma sampai depan gerbang kosnya.
"Makasih mas." ucap Emma sambil turun dari motor Fadhil sambil menenteng tas belanjanya.
"Iya sama-sama, kapan-kapan kalau misal kamu mau kemana gitu, aku bisa kok antar kamu, nggak usah sungkan." kata Fadhil.
"Iya mas..." jawab Emma.
"Boleh save nomer kamu nggak?" tanya Fadhil kemudian.
"Oh... i.. iya boleh kok." ucap Emma, lalu menyebutkan nomor nya.
"Udah aku save, kamu save juga ya." pinta Fadhil sambil menelpon nomor Emma. Emma merasakan ponsel nya bergetar, dia mengambilnya dari balik saku celana.
"Ini?" tanya Emma sambil menunjukkan display panggilan masuk dari nomor baru.
"Iya..." jawab Fadhil antusias.
"Udah aku save kok mas." ucap Emma kemudian.
"Ya udah kamu istirahat ya."
"Okke mas, aku masuk dulu." pamit Emma.
"Okkee..." kata Fadhil, dia memutar balik motornya lalu masuk ke kos nya sendiri.
Sebelum masuk kamarnya, terlebih dulu, dia menyerahkan shampo titipan Seah. yang sudah tidur dengan TV menyala.
"Kebiasaan." ucap Emma, dia mengambil remote tv kemudian mematikan tv yang sedang menayangkan sinteron striping kesukaan Seah.
"Seah... seahh... ini shampo kamu, jangan lupa kunci pintu kalau tidur." kata Emma sambil mengguncangkan badan Seah perlahan.
"Hmmmmmm..." balas Seah, Emma tau kalau Seah kecapekan karena seringnya jam lembur di departemennya.
"Yaudah aku balik ya, jangan lupa pintu dikunci tuh." kata Emma sekali lagi.
"Iya Emma bawel..." sahut Seah.
Emma meninggalkan kamar Seah lalu menutup pintunya, sebelum masuk kamar, Emma sempatkan mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Isya sebelum terserang kantuk seperti biasanya.
Keesokan harinya, begitu Emma sampai di line, dia sudah ditunggu GL nya dengan setumpuk pump dari lawan shift.
"Emm... berangkatin dulu ke molding, masa kita nggak ditinggalin apa-apa sama lawan shift, padahal kemarin kita ninggal banyak buat mereka." omel Azizah.
"Kita kerja size berapa Mak?" tanya Emma menerima tumpukan pump Armani tersebut.
"37 aja, PO berapa tadi lupa?" kata Azizah.
"PO 22 ya." jawab Emma sambil melihat stamp yang menunjukkan nomor batch produksi dan size yang tertera di balik linning.
Stamp yang dimaksud adalah cetakan angka yang terdiri dari kode-kode produksi dan nomor artikel, yang tertera dalam sebuah sepatu.
"Iya... yaudah sana buruan, tungguin loh ya, si Rio suka ngawur masanginnya." pesan Azizah.
"Emang Rio udah datang jam segini?" tanya Emma.
"Udah barusan dari sini, ambil kurangan upper, terus aku titipin 3 pasang tadi." jawab Azizah.
"Berarti di sana udah ada tiga ya?" Emma memastikan lagi.
"Iya." jawab Azizah.
Emma berangkat ke gudang untuk molding. Molding disini adalah proses press menggunakan mesin dengan energi panas dan dingin untuk membentuk bagian belakang sepatu, kususnya bagian tumit sepatu.
Disana sudah antri beberapa transfer yang nungguin mesin Rio ready.
Setelah hampir satu jam ikut dalam antrian, tiba juga giliran Emma. dia menyerahkan tumpukan upper tadi ke mesin Rio.
Upper adalah sebutan untuk material kulit yang sudah mengalami proses pengerjaan mulai dari folding, symbol dan jahit, yang sudah hampir 70% menjelang produk dikirim ke Assembly.
"Tadi mbak Azizah nitip ke kamu 3 pasang ya?" tanya Emma.
"Iya..." jawab Rio.
"Mana?" tanya Emma kemudian.
"Belum aku kerjain hehehee nungguin kamu kesini." jawab Rio dengan entengnya.
"Ya ampunnn Rio, tega banget sih kamu, bisa habis aku sama emak ku."
"Iya-iya ini aku kerjain kok." jawab Rio, dia mulai mengambil satu persatu upper Emma dan memasukkan pada mesin molding.
Dengan sigap Emma memasangkan satu persatu upper dengan pasangannya sesuai stamp masing-masing.
Tinggal beberapa pasang saja, Emma nungguin Rio menyelesaikan upper nya, tiba-tiba ponselnya bergetar. dia intip dari saku baju nya, ternyata panggilan dari Azizah.
"Tuh kan emak ku nelpon, kamu sih kelamaan." kata Emma kesal.
Rio hanya tertawa.
"Iya Mak, ini tinggal 3 pasang bentar lagi balik kok." bisik Emma begitu mengangkat ponselnya diam-diam dibalik rak upper, karena aturannya tidak boleh menggunakan hp saat jam kerja. Tapi Azizah bandel dia selalu nelpon Emma kalau ada keadaan urgent.
"Bukan itu dengerin dulu kalau aku mau ngomong." potong Azizah.
"Ehhh iya iya Mak, apaaan?" tanya Emma.
"Kamu ke cutting dies ya minta palu, kita dapat anak training baru masuk bagian PKT, nggak ada palu lagi." jawab Azizah.
PKT adalah proses pengerjaan material non jahit.
"Iyaaa..." jawab Emma. dia buru-buru mematikan ponselnya, lalu mencari nomor Fadhil, dan mengirimkan pesan padanya.
"Mas... aku minta dua palu boleh? ada anak baru di line, tapi aku gak ada palu lagi."
"Iya kamu ambil aja."
"Bisa nggak mas aja anter ke gedung aku A3 line 8?"
"Ohhh iya nggak papa."
"Makasiih ya mas, aku sibuk banget ini soalnya."
"Iya... sama-sama."
Rio memberikan sepasang sepatu terakhir kepada Emma. Emma menyimpan ponselnya lalu berniat keluar dari gudang, tapi belum sempat dia keluar, Rio menahannya.
"Emm..." panggil Rio sambil memegang tangan Emma.
"Apalagi Yo? aku buru-buru nih, lepasin nggak?!" kata Emma.
"Emm aku...." ucap Rio menggantung.
"Kamu apa? ehh tangan kamu dingin Yo, kamu masuk angin ya?" tanya Emma.
"Enggak ini kena kipas aja." jawab Rio.
Emma melihat kipas di ruangan itu mati.
"Ahh ngelawak aja kamu, tuh kipasnya mati." kata Emma melepaskan tangannya dari genggaman Rio. Dia malu kalau sampai dilihat orang, pasti dipikir macem-macem.
Saat matanya mengedarkan pandang, dia terperangah ketika menyadari sosok di balik mesin blocking di Skiving sedang memperhatikannya dari jauh.
"Mas Angga." kata Emma dalam hati.
Emma berpamitan pada Rio sambil membawa uppernya berlalu dari sana. Sampai di line dia langsung menuju ke bagian fisnishing untuk menyerahkan upper yang siap output.
Usai menyerahkan upper Emma kembali ke tempatnya untuk membuat target output perjam lalu mengedarkan nya sampai ke depan lagi.
"Emma..." panggil seseorang dibelakangnya. Sontak Emma menoleh dan matanya berbinar saat yang dilihat adalah Fadhil dengan membawa dua buah palu ditangannya.
"Oow... makasih mas, cepet juga sampeknya." ucap Emma.
"Tadi udah gak ada kerjaan soalnya, ya udah aku balik dulu ya, kalau kurang, kamu bilang aja." kata Fadhil.
"Iya mas makasih..."ucap Emma.
Azizah mendekati Emma sambil menggodanya.
"Ya ampun Emm... kamu bisa ya delivery order ke anak cutting dies?" kata Azizah sambil menerima palu dari tangan Emma.
"Aduh Mak... mungkin Allah kasian sama aku kebanyakan jalan sampai kaki bengkak, makanya dibikin lah d.o an dari cutting dies." jawab Emma dengan gampangnya.
"Kamu dapat kontaknya dia?"
"Dia yang minta..." jawab Emma.
Dia muluruskan kaki nya sejenak sambil meneguk minuman dari botolnya.
"Kok abiss..." ucapnya.
"Tadi aku yang minum hehehe." jawab Azizah.
Emma memutar bola matanya diiringi tarikan nafas yang panjang dia hafal betul kebiasaan GL nya. Baru saja dia melonggarkan sepatunya yang membuat kakinya lecet dan bengkak, dia sudah memakainya lagi.
Emma berjalan kedepan sambil membawa keranjang untuk membawa upper ke gudang buat molding, tak lupa juga botol nya yang kosong untuk diisi di depo air minum gedung A.
"Emm... jangan lupa benangnya!" teriak Azizah.
"Iyaaa..." balas Emma.
Setelah meletakkan keranjang di mesin Rio, dia kembali untuk mengambil antrian benang yang sudah ia daftarkan tadi. Lalu mengantarnya kembali ke line.
"Aduuhh sakit banget nih kaki." ucap Emma, dia berkeliling ke teman- temannya untuk bertanya adakah yang punya tissu. Namun tak ada satupun yang membawa hari ini.
"Ya udahlah...." ucap Emma dia kembali ke gudang untuk nungguin upper nya di molding.
"Yo kamu punya kursi nggak sih? aduh capek banget aku mana kaki ku sakit lagi." tanya Emma pada Rio.
"Ada bentar ya..." ucap Rio, dia meninggalkan mesin nya sampai otomatis terbuka.
"Lahhh tuh anak kemana... udah numpuk malah ngilang." gumam Emma, dia mengambil upper dari mesin yang sudah terbuka secara otomatis, lalu memasukkan kedalam keranjang.
"Niiihh kursi, biar kamu betah nungguin aku." kata Rio meletakkan sebuah kursi di dekat Emma kemudian melanjutkan pekerjaannya.
"Ellaaahhh... ngarep banget ya, aku mau nungguin kamu disini, btw thanks ya kursinya" kata Emma sambil duduk.
Akhirnya Emma seharian ini full bolak balik dari line ke gudang. Sampai-sampai dia injak bagian belakang sepatunya untuk meminimalisir rasa sakit pada tungkainya. Sebenarnya standard k3 perusahan adalah karyawan memakai sepatu tali ber sol karet. Namun pengecualian untuk transfer yang kerjaannya udah kaya setrikaan kemana-mana, diperbolehkan memakai flatshoes yang ringan, agar tidak memberatkan pekerjaannya.
Namun karena sepatu Emma masih baru dan hasil nitip ke Seah, jadilah sepatunya satu size lebih kecil dari ukuran sebenarnya.
Sirine panjang terdengar tanda istirahat berbunyi. Emma masih menunggu upper nya selesai. Sambil sesekali meneguk minum nya.
"Woiii... Yo, makan yuk." ajak Angga yang nyusulin Rio
"Bentar lagi, kurang ini aja, tungguin bentar." ucap Rio.
Angga mendekat, wajah gantengnya di penuhi keringat, karena dia bekerja dekat mesin dengan suhu tinggi dan blower besar.
"Mau minum dulu?" Emma yang kasihan lihat Angga bermandikan peluh dan kelaparan itu masih harus nunggu Rio, nanggung banget soalnya kalau mau ditinggal, cuma sepasang soalnya.
Angga menerima botol minum milik Emma kemudian meneguknya sampai habis.
"Makasih... sorry aku habisin, haus bandel." ucap Angga.
"Iya nggak papa." jawab Emma.
Melihat hal itu menimbulkan kecemburuan di hati Rio. Dia mengambil sepasang upper yang selesai di molding kemudian menyerahkan pada Emma.
"Ini udah... balik sana, makan!" kata Rio, yang dalam hatinya dia tidak ingin Angga berlama-lama dengan cewek incarannya.
"Okke makasih ya, masih banyak kok, nanti aku juga bakalan balik lagi setelah istirahat." kata Emma.
"Lama- lama cinlok beneran nih aku ke kamu." ucap Rio.
"Aku duluan ya." pamit Emma sambil membawa keranjang dan meraih botol minum yang isinya sudah habis diteguk Angga.
Angga memperhatikan Emma yang berjalan dengan menginjak bagian tumit sepatunya, terlihat luka lecet yang serius, kulit nya terkelupas dan itu pasti perih banget.
"Yo kamu duluan aja ya, aku lupa belum matiin mesin tadi." kata Angga.
"Ooh ya udah aku tunggu di kantin ya." ucap Rio.
"Okke.." balas Angga.
Dia memang balik lagi ke mesinnya, namun bukan untuk mematikannya, melainkan mengambil dua buah plester dari dalam laci mesin lalu keluar dan nungguin Emma keluar dari gedungnya.
Dia selalu menyediakan plester karena jarinya sering terluka saat mengoperasikan mesin bersuhu tinggi tersebut.
"Masa sih dia nggak keluar lagi buat makan." kata Angga dalam hati.
Dan akhirnya dari pintu lain dia melihat Emma keluar menuju musholla untuk melakukan ibadah sholat Dhuhur.
Dia masih setia menunggu, sampai saat Emma keluar sambil membetulkan letak jilbabnya, seseorang menyusul nya kemudian mereka berjalan beriringan meninggalkan area musholla, laki-laki itu tidak lain adalah Adrian.
Angga mengurungkan niatnya, dan dia menyimpan kembali plester pembalut luka yang sedari tadi dia pegang kedalam saku seragamnya.
Namun sesampainya di dekat gerbang gedung A1, Adrian berbelok dan masuk kedalam, rupanya dia lupa belum mengirim email ke manager mengenai laporan inspect yang selesai dikerjakan oleh Dita.
Emma berjalan sendirian menuju kantin, Angga hanya diam dan mengekor di belakang, dia memang suka sama Emma namun dia merasa insecure karena dirinya yang badboy. Dia bahkan menyembunyikan tatto di lengannya dari security dan HRD dengan memakai seragam berlengan tiga perdelapan yang sedikit dia gulung dua lipatan sepantas mungkin.
Sampai dikantin, Emma mencuci tangan pada tempat yang disediakan di dekat anak tangga. lalu berjalan menuju meja catering dan mengambil satu lunch box. Tiba-tiba saja ponselnya berdering.
Dia memindahkan lunch box kesebelah tangannya sedangkan tangan satunya sibuk menekan tombol answer di hp nya.
"Woiii... Emm kamu masih di kantin kan?" tanya Ulfa.
"Iya aku baru aja nyampe, mau makan kenapa?"
"Aku nitip minuman dingin ya." jawab Ulfa.
"Apa?"
"Terserah pokoknya dingin, nanti uangnya aku ganti." kata Ulfa.
Angga yang melihat Emma kerepotan membawa kotak makan sambil menerima telpon langsung berjalan mendahului Emma, kemudian mengambil kotak makan Emma lalu membawanya ke sebuah meja yang masih ada space untuk dua orang.
Emma hanya bengong, sesaat kemudian menyusul Angga untuk duduk disebelahnya.
"Iyaa bawel... yaudah aku makan dulu, assalamualaikum." Emma mematikan panggilan dari Ulfa.
"Makasih ya.." ucap Emma pada Angga.
Angga hanya mengangguk sambil melanjutkan makannya. Emma bingung dengan orang yang ada di sebelahnya sesaat care sama dia sesaat jadi manusia kulkas.
Emma yang sudah selesai makan berniat ke koperasi untuk membeli minuman dingin titipan Ulfa sekalian membeli tissu untuk mengganjal tumit sepatunya.
Namun tiba-tiba Angga berdiri dan meletakkan dua buah plester ke tangan Emma.
"Buat kaki kamu yang luka." ucapnya sambil berlalu.
"Ehh..." gumam Emma. Dia melihat dua buah plester yang baru saja ditinggalkan Angga di telapak tangannya.
"Makasih..." ucap Emma, walaupun Angga sudah pasti tidak bisa mendengarnya.