Malam ini Emma merasakan badannya sakit semua, berasal dari kaki nya yang terluka kini menjalar ke seluruh tubuh, Emma demam. Dia mengambil sebutir obat penurun panas dari dalam kotak di rak make up nya.
Kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur. Matanya terpaku menatap jarum jam yang terus berputar. Jam Sembilan malam.
"Ngomong gak ya..." ucap Emma lirih.
Emma meraih ponselnya kemudian mengirim pesan suara ke Azizah. Beberapa saat setelah dua centang biru Azizah langsung membalas pesan suara Emma.
"Periksa ke dokter sekarang! minum obat, besok kamu harus masuk, kita ada briefing bersama mengenai Bremi yang akan trial akhir bulan ini." balas Azizah.
Emma tidak membalas pesan itu, dia menangis sambil menutup wajahnya dengan bantal. Dia sedih saja, saat sakit seperti ini, tidak ada yang peduli. Bahkan pekerjaan yang dulu dia dambakan ternyata tak seindah kenyataannya.
Kerjaannya mungkin tidak membuat sakit punggung, karena duduk berjam-jam, namun lebih dari itu, dia dikejar target,mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, ada tim nya yang melakukan kesalahan dia yang kena marah, dia yang disalahkan, dia yang di jadikan bulan-bulanan satu line.
Pekerjaannya mengharuskan Emma berkeliling setiap saat, memaksanya berkenalan dengan orang baru, tidak jarang dia diperlakukan kasar oleh karyawan lain, selalu menerima kekerasan verbal, bahkan sexuality harassment dari lawan jenis nya.
Saat yang lain bebas alpha, izin dengan alasan ini itu, dia yang sakit izin tidak masuk pun susah. Kesal dan sedih sekali rasanya.
Karena tidak tahan dengan rasa sakit nya, Emma memutuskan untuk periksa ke dokter, tapi tak satupun anak di kos nya yang bawa kendaraan sendiri. Mau naik ojek takut, sendirian, sudah malam.
"Mas Fadhil sibuk nggak?" Emma memutuskan meminta bantuan ke Fadhil, karena hanya dia yang kos nya dekat dan ada motor.
"Aku pulang Emm.. tadi sore izin pulang karena dapat kabar nenek aku meninggal, ada apa Emm?" tanya Fadhil.
"Ohh... innalilahi wa inna illahi rojiun, turut berduka cita ya mas."
"Iya Emm... kamu tadi kenapa? pasti ada sesuatu yang mau kamu omongin kan?"
"Iya mas... sebenarnya aku sakit, demam dan seluruh badan rasanya sakit, mau minta tolong antar ke dokter, tapi karena mas Fadhil lagi nggak ada di kos ya udah nggak papa mas, aku juga udah minum obat kok, palingan bentar lagi juga enakan."
"Waduh... bentar aku minta tolong temen aku jemput kamu ya, kamu siap-siap dulu nggak papa, maaf banget ya aku nggak ada pas kamu butuh."
"Duuhh nggak perlu repot-repot mas, nggak papa kok."
"Enggak kamu harus kedokter." Fadhil mengakhiri chat nya.
Tidak sampai 15 menit, Emma menerima pesan masuk.
"Aku udah ada di depan kos kamu, Fadhil minta tolong ke aku, buat antar kamu periksa ke dokter."
"Oh... iya makasih, bentar ya."
Setelah memakai jilbabnya dan meraih hoodie dari balik pintu. Emma keluar, dia baru ngeh kalau teman yang dimaksud Fadhil adalah Angga.
Manusia kulkas itu duduk diatas motornya dengan hoodie hitam bergambar logo NASA kecil di bagian d**a sebelah kanan. Emma membuka gerbang kemudian mendekat.
"Maaf mas jadi merepotkan." ucap Emma.
"Nggak kok, ayo naik.."
"Kamu biasa periksa di mana?" tanya Angga kemudian.
"Di dr. Annisa." jawab Emma.
"Ya udah kita kesana." Ucap Angga.
Angga memacu motornya dengan kencang. Membelah jalanan kota di malam hari. Namun saat sampai di tempat praktik dokter Annisa sudah tutup, satu jam yang lalu. Emma turun dari motor dan langsung duduk di teras, dia bersandar pada sebuah tiang penyangga.
Angga mendekati Emma, dia menyentuh kening Emma, dan benar saja demam nya tinggi.
"Emma... ayo naik, kita ke RS Medika, cuma disana UGD 24 jam terdekat." ajak Angga.
Emma yang tak punya pilihan menuruti perkataan Angga karena dia sudah tidak tahan dengan rasa sakitnya.
Sampai di UGD, dia langsung mendapatkan penanganan, suhu nya naik 40° c karena dia memakai pakaian yang tebal dan panas.
"Observasi selama 4 jam dulu ya mas, soalnya mbak nya suhu nya tinggi banget, dan akan saya ambil sample darahnya juga."
"Iya suster..." jawab Angga.
Kemudian perawat itu pergi untuk mengambil peralatannya.
"Emma... kamu pakai baju panjang nggak? kalau pakai mending hoodie nya di lepas aja, biar bisa cepet turun panasnya."
Emma mengangguk, dia melepaskan Hoodie nya dan melipatnya. Aman kok, karena Emma memakai piyama panjang dengan atasan yang panjang pula.
Setelah itu perawat kembali dengan membawa baki berisi peralatan infus, juga pengambil sample darah. Setelah infus terpasang dan juga darah selesai diambil sampelnya, perawat meminta Emma untuk istirahat agar segera pulih.
"Udah kamu tidur aja, nggak papa, aku yang jagain disini." ucap Angga.
"Maaf ya mas, jadi ngerepotin."
"Udahlah... dari tadi minta maaf mulu, yang penting kamu sembuh." sergah Angga.
Emma yang sudah tidak bisa membuka mata lebih lama, karena selain ngantuk, capek, sakit dia juga nggak nyaman dengan tatapan face to face dari Angga, berusaha memejamkan matanya.
Kira-kira lebih dari 15 menit kemudian, perawat yang tadi memeriksa Emma, kembali dengan membawa hasil lab. Sementara Emma sudah tertidur dengan pulasnya.
"Mas keluarga pasien?"
"Bukan..." jawab Angga.
"Oh... kalau saya ingin bicara dengan keluarga pasien, bisa minta tolong buat menghubunginya tidak mas?"
Angga tidak tahu keluarga Emma, yang dia tau cuma dua temannya Ulfa dan Seah, selebihnya ada Rio. Tapi sepertinya keadaan Emma serius, melihat perawat di depannya ingin membicarakannya dengan keluarga Emma.
"Bisa suster, saya akan menghubunginya nanti, tapi bisakah sekarang membicarakannya dengan saya, karena saya... calon suaminya." Kata Angga.
"Oh begitu... iya nggak papa mas, jadi hasil lab menunjukkan bahwa ada 4 virus penyebab Typus yang terdeksi walaupun nggak banyak ini, tapi positif dan saya sarankan untuk rawat inap." jelas perawat sambil menunjukkan hasil lab.
"Oh kalau memang harus dirawat inap nggak papa, saya akan telpon kedua orang tuanya." kata Angga memberikan keputusannya sendiri.
"Baiklah... ini mas bawa ke administrasi untuk pengisian data pasien rawat inap, kemudian kembalikan ke saya, saya ada di ruang perawat di depan ya mas..." terang perawat.
"Iya... baik suster." Angga mengerjakan step by step yang diucapkan perawat tadi. Setelah semua selesai, beberapa perawat kembali dengan membawa brankar untuk memindahkan Emma keruang rawat inap.
Merasakan tempat yang dia tiduri serasa berjalan Emma terbangun. Dia menatap sekelilingnya dengan heran.
"Aku mau dibawa kemana mas?" tanya Emma pada Angga.
"Kamu harus rawat inap."
"Lahhh kok bisa?"
"Hasil lab nya emang mengatakan kamu harus rawat inap, ada positif 4 jenis typus apa gimana tadi." jawab Angga.
"Waduuhh bakalan dibunuh sama Emakku kalau gini, mana semalam dia udah ngancem aku jangan sampai nggak masuk kerja esok hari, karena ada briefing." keluh Emma.
"Masih mikirin kerjaan aja, kalau sakit yang ngerasain kamu sendiri apa pabrik?" Sahut Angga kesal.
Mereka tiba di ruangan yang bakalan Emma tempatin beberapa hari kedepan. Brankar nya berhenti dekat tempat tidur baru ber sprei putih.
Satu ruangan hanya ada 2 bilik rawat inap yang masing-masing dipisahkan dengan pintu kaca sliding. berlapis tirai.
"Bisa turun sendiri mbak?" tanya perawat pada Emma yang melihatnya kesulitan turun dari brankarnya.
"Bisa kok bisa." jawab Emma.
Angga segera mengambil alih infus yang dipegang sendiri oleh Emma dan sebelah tangannya memegangi lengan Emma.
Sebenarnya dia lebih mudah turun dengan bantuan dari Angga, hanya dia sungkan untuk memintanya. setelah itu Angga memasang lagi infus di tiang penyangga dan membuka selimut untuk Emma.
"Ya sudah saya tinggal ya, nanti kalau infusnya habis panggil saya ya mas."
"Iya makasih suster, oh iya boleh minta surat keterangan istirahat nggak ya suster, soalnya dia harus kerja besok pagi."
"Oh bisa mas... langsung saja ke administrasi ya." kata perawat tadi.
"Jam tujuh besok pagi, ada kunjungan dokter, kalau masih ada keluhan sampaikan saja ya mbak."
"Iya makasih suster."
Angga turut keluar dari ruangan untuk ke administrasi setelah perawat tadi meninggalkan mereka. Sementara Emma masih nggak ngerti, kenapa manusia kulkas tadi nggak rundingan dulu sama dia kalau harus dirawat inap, seenaknya sendiri memberikan keputusan.
Beberapa saat kemudian Angga kembali dengan menunjukkan surat keterangan istirahat. Dia memberikan pada Emma agar bisa membacanya.
"Nih... buat izin kamu, nggak usah bingung." kata Angga.
Emma menerima surat itu dan membacanya. setidaknya dia bersyukur selama 3 hari kedepan dia bakalan terbebas dari segala keruwetan pekerjaannya.
Angga mengambil lagi kertas itu meletakkan diatas tempat tidur lalu memfotonya.
"Kenapa difoto?" tanya Emma.
"Soalnya aku juga harus izin buat jagain kamu disini." Kata Angga.
"Harus izin... kenapa harus?" Emma bertanya lagi.
"Soalnya aku bilang ke mereka aku calon suami kamu, lagian kamu mau disini sendirian?" Angga balik bertanya.
Emma menepuk jidatnya.
"Kenapa harus bilang calon suami?"
"Soalnya.. mereka bilang, ingin bicara sama keluarga kamu, dan minta aku menghubunginya, aku kan nggak tau keluarga kamu, ya aku bilang, ngomong ke aku saja, soalnya aku calon suaminya. Dan beres urusan."
"Tapi mas.. kan kamu harus kerja, udah nggak papa aku disini sendirian, aku bakalan telpon mama kok."
"Iya aku bakalan pulang kalau mama kamu sudah nyampek sini." kata Angga.
"Oh iya... surat ini aku kasih kesiapa?" tanya Angga.
"Ehmm... mas tau mbak Azizah GL A3 nggak?" tanya Emma.
"Tau yang kecil, suaranya kenceng, id card nya suka dibalik itu kan." jawab Angga.
"Iya mas hehehe, iya GL paling koplak itu GL ku." Kata Emma.
Melihat Emma tersenyum, Angga turut tersenyum, padahal selama ini dia terkesan dingin dan nggak pernah terlihat banyak interaksi dengan orang lain.
Emma buru-buru mengalihkan pandangan nya saat melihat senyum Angga, dia tidak bisa merubah jarak yang semula jauh menjadi lebih dekat hanya karena senyumannya dibalas, biarlah tetap seperti ini, apalagi mereka hanya berdua di ruangan itu. Bukannya negatif thinking dengan orang lain, namun Emma tidak biasa berduaan dengan laki-laki di tempat se sepi ini.
Selama ini memang dia tidak membatasi kontak fisik selama itu hanya telapak tangan, namun dia tidak bisa membiarkan sesuatu, yang lebih jauh lagi, itu sebenarnya alasan kenapa dia menjaga jarak, serta ada trauma tersendiri dari masalalu yang tak ingin dia angkat lagi ke permukaan.
"Ngomong-ngomong, kenapa selalu dibalik id nya, dia sering kena tegur security di depan." kata Angga.
"Mbak Azizah bilang, foto id nya jelek banget dan itu seumur hidup, sekarang kan sudah glowing jadi dia malu kalau kelihatan dulu nya kaya gimana." ucap Emma terkikik.
Tak terasa mereka bercengkerama sepanjang malam, dan tanpa rasa kantuk yang menyerang. Sehingga membuat mereka lupa untuk tidur.
Ponsel Emma bergetar di dalam saku hoodie yang ada di ujung tempat tidur. Angga mengambil lalu menyerahkannya untuk Emma. Emma melihat sudah jam 4 pagi.
"Emm kamu jadi masuk kan hari ini?" tanya suara dari seberang yang memekakkan telinga di pagi subuh ini.
"Ya Allah Mak, ini juga aku mau bilang, kalau aku dirawat di rumah sakit, dan surat izinnya nanti bakalan nyusul kok."
"Emmmaaa... kamu sakit apa? kamu nggak bisa jaga kesehatan sih, ini nanti kita harus briefing bersama juga, aku keteteran kalau kamu nggak masuk, jangan lama-lama ya cepet sembuh." Kata Azizah, lalu telepon pun terputus.
"Kann... sakit aja masih diomelin," kata Angga.
"Hehehe iya mas."
Setelah cukup lama mereka berdua asyik dengan gadget masing-masing, Emma akhirnya terlelap. dengan posisi ponsel masih dia pegang.
Angga mengambilnya perlahan lalu meletakkan diatas meja dan menyelimuti Emma. Setelah beberapa kali menguap sambil menggeliat, Akhirnya Angga pun tertidur di kursi.
Sekitar jam setengah 6 pagi, papa dan mama Emma telah tiba di rumah sakit, mereka mencari nama kamar yang disebutkan Emma via chat tadi.
Mereka masuk perlahan karena melihat Emma juga temannya yang tidak lain adalah Angga sama-sama tertidur pulas.
Mama Emma meletakkan tas nya perlahan di samping Emma, kemudian menyentuh dahi putrinya, Emma yang terkejut, langsung membuka mata dan mengucek matanya.
"Mama... papa, udah datang?" sapa Emma, sambil bangkit dari tidurnya, lalu mencium tangan orang tuanya.
"Iya sayang baru saja sampai kok." jawab mamanya.
"Siapa dia?" bisik papa Emma sambil menunjuk kearah Angga yang masih tertidur.
"Teman Emma pa, dari semalam dia nggak tidur jagain Emma, ngantar Emma periksa, kesana kemari ngurus administrasi." jawab Emma.
"Pacar?" lanjut papa nya.
"Bukan pa... teman biasa kok." jawab Emma.
"Kalau emang ada yang dekat sama kamu, bawa kerumah setidaknya papa sama Mama tahu dulu anaknya kaya gimana?" pesan papa.
"Iya pa... cuma temen kok." jawab Emma.
"Berarti belum makan dong dari semalam, dia nungguin kamu?" tanya papa Emma yang tiba-tiba iba melihat Angga yang tertidur gitu aja di atas kursi.
"Belum kayanya pa, soalnya dia terus di ruangan dan nggak kemana-mana." jawab Emma.
"Bentar ya, papa beli nasi dulu." pamit papa nya.
Sesaat kemudian setelah papa Emma kembali, bertepatan dengan Angga yang terbangun dari tidurnya, dan kaget karena orang tua Emma sudah ada disini.
Dia lantas berdiri kemudian mengucapkan sapa dan salam kepada orang tua Emma.
"Sudah bangun? sini duduk sini ayo makan." ajak papa Emma yang duduk di lantai beralaskan tikar lipat berukuran sedang itu dengan memakai seragam polisi lengkap.
"Oh... iya om terimakasih, tapi saya sudah makan kok tadi." jawab Angga.
"Halahhh jangan bohong, sini duduk, ayo sarapan bareng." kata papa Emma lagi.
"Sini..." panggil mama Emma.
Akhirnya Angga mendekat dan bergabung dengan mereka. Mama Emma menambahkan lauk dan nasi yang banyak di wadah Angga.
"Makasih Tante, ini sudah cukup kok, kebanyakan malah." ucap Angga sambil tersenyum.
"Makan yang banyak, biar nggak gampang sakit kaya dia." ucap papa Emma sambil menunjuk kearah putrinya yang sedang asyik membaca novel online.
"Iya om..." jawab Angga.
"Ngomong-ngomong om mau berangkat kerja ya ini tadi?"
"Iya sebenarnya udah harus standby menyusul adanya isu mau ada demo besar-besaran terkait UU yang baru disahkan, untuk mengamankan penjagaan."
"Ohh... iya om, mengenai itu pabrik juga akan menurunkan perwakilannya."
"Kamu ikut juga?"
"Kurang tau om, tapi kalau diminta mewakilinya, ya ikut om." jawab Angga sambil menikmati sarapannya.
"Kamu ikut juga sayang, kalau misalnya ditunjuk jadi perwakilan?" tanya mama kepada Emma.
"Tenang aja, kalau papa sama Mama nggak ngizinin, Emma juga nggak mau ikut kok." kata Emma.
Kedua orangtuanya terlihat lega sekali.
"Nama kamu siapa nak?" tanya mama Emma pada Angga.
"Angga Tante..." jawab Angga.
"Kamu nggak kerja hari ini?" tanya mama Emma.
"Sebenarnya saya kerja Tante, tapi tadi subuh sudah izin ke atasan saya buat nggak masuk, ehmm karena nemenin Emma Tante, saya nggak tahu kalau om sama Tante bakalan datang secepat ini." jawab Angga.
"Oh gitu... berarti kamu sudah izin nggak masuk kerja ya?" papa Emma memastikan sekali lagi.
"Iya om..."
"Angga, kalau om minta tolong boleh ya?" pertanyaan papa Emma membuat Angga gemetar takut kalau keberadaannya disini, adalah kesalahan sehingga dia harus diusir dari sana.
"Sebenarnya om kan mau tugas ini, dan izin dari atas nggak mudah, mama nya Emma juga nanti jam 9 ada jadwal dosen penguji, kalau misalkan hari ini, kami minta tolong kamu, buat jagain Emma bentar bisa gak ya? nanti sore, begitu selesai tugas, saya langsung kesini, gantiin kamu, biar bisa istirahat." tutur papa Emma.
"Oh... iya om Tante, nggak papa kok, biar saya yang jagain Emma." jawab Angga.
"Makasiihh loh Angga, maaf nyusahin ya." ucap mama Emma.
"Nggak papa kok Tante... nggak ngerepotin kok."
"Kamu pacarnya Emma bukan?" tanya papa Emma.
"Ehmm... b.. bukan om, saya cuma temen nya Emma kok." jawab Angga yang tahu diri dia tidak layak untuk Emma.
"Jangan takut, om cuma nanya aja, kalaupun kamu ada niat sama dia, om cuma mau kasih tau kalau pengajuan kamu, om terima dengan baik, tapi kamu kudu sabar soalnya dia keras kepala." kata papa Emma sambil menepuk-nepuk bahu Angga.
"I... iya om." ucap Angga.
"Ya udah... habiskan makannya, terus setelah itu kami tinggal ya." ucap mama Emma.
Angga melanjutkan makannya sambil sesekali dia lihat Emma yang fokus pada layar hp nya.
"Papa Emma baik bener, padahal aku belum ngajuin apa-apa tapi udah diterima." batin Angga