Prolog
Saat aku terpaksa harus kembali ke rumah untuk mengambil berkas-berkas kantor yang tertinggal. Istriku malah memberikan sebuah doorprize dadakan yang membuat jantungku hampir meloncat ke liang lahat. Rasanya perih sekali sampai-sampai aku harus bersandar pada tembok agar tubuhku yang lemas tidak merosot ke bawah.
Tercatat dalam The Guinness Book of World Records, sudah ketujuh kalinya, aku memergoki istriku sendiri berselingkuh dengan pria lain. Dan, hari ini adalah puncaknya. Istriku melakukan hal gila itu di kamarku sendiri.
Aku turun dari tangga untuk menuju ke dapur. Pertanyaannya mengapa aku tidak langsung menebas kepala pebinor itu, karena aku tidak ingin terjadi perang dunia ketiga jika sampai melabrak mereka. Dulu, ketika istriku menjalani debutnya berselingkuh, aku begitu kesetanan memukuli laki-laki tidak punya malu itu. Tapi istriku menangis dan lebih memilih cerai daripada melihat kekasih gelapnya terbunuh. Hal itu membuatku frustasi, yang pertama aku tidak ingin mengingkari janjiku kepada ibu mertua untuk menjaga anaknya, yang kedua aku tidak mau membuat hidup Rena, anakku, menderita karena kedua orangtuanya berpisah.
Aku harus sadar diri, jika pernikahanku ini hanyalah hasil dari perjodohan. Aku adalah anak santri lulusan dari pondok pesantren ternama di Indonesia, sementara istriku adalah anak gaul yang sudah menekuni dunia pergaulan bebas sejak SMP. Berhubung mertuaku orang berada, akhirnya aku yang notabenya sebagai anak orang miskin dijodohkan dengan Viola, istriku, untuk membimbing Viola menuju ke jalan yang lebih baik. Tapi beginilah ujung-ujungnya rumah tangga kami malah berantakan karena hubungan yang tidak dilandasi oleh rasa cinta. Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa.
"Ada apa, Tuan?" tanya Bi Ijah setelah aku sampai di dapur.
"Saya mau ngamuk, Bi," jawabku sambil memijat-mijat pangkal hidungku pening. "Bibi, keluar sebentar aja." Bi Ijah yang sudah mengerti lamgsung pergi dari dapur.
Aku menggeram kemudian membanting piring dan juga gelas dengan amarah yang sudah memuncak. Perasaanku begitu kalut. Aku membanting semua peralatan dapur itu dengan membabi buta. Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi. Aku merasa gagal menjadi calon suami yang baik. Serba salah. Karena jika aku memarahi Viola, Viola pasti akan langsung meminta cerai. Tentu saja aku tidak mau cerai dengan dirinya. Semua harta yang aku miliki adalah harta milik keluarga Viola. Hal itu membuatku harus berpikir dua kali untuk menerima tawaran cerai itu, karena aku juga harus mencukupi kehidupan kedua orangtuaku yang hidupnya susah. Tapi jika tidak cerai, kasihan dengan hatiku yang merasa sakit karena tidak pernah dihargai oleh istriku sendiri.
Astagfirullahaladzim...
***
Aku kini sudah berada di kelab malam bertemu dengan seorang mucikari yang menawarkan deretan gadis-gadis sexy yang siap aku tiduri.
Mucikari itu tersenyum menghitung segebok uang yang kuberikan. Seratus juta rupiah.
Aku meneliti setiap inchi wajah wanita jalang yang berbaris dihadapanku. Ada yang mengedipkan sebelah mata, ada yang menggoda, ada juga yang menghampiriku lalu mencoba memelukku. Namun, aku dengan cepat langsung menepisnya. Jujur saja aku merasa jijik dengan kebobrokan moral mereka.
Aku yang paham betul soal agama tak henti-hentinya beristigfar dalam hati. Pandanganku jatuh pada gadis imut yang mengenakan mini dress berwarna pink. Gadis imut itu terlihat menunduk, sangat polos, dan sangat tidak pantas bekerja sebagai p*****r.
Aku melangkah mendekatinya, tapi gadis itu malah terlihat gugup. "Siapa namamu?"
"Z... Zahra," jawabnya sambil meremas-remas pakaian yang ia kenakan.
Aku menoleh ke arah si mucikari dan memberi isyarat bahwa aku akan mengangkut gadis bernama Zahra tersebut. Mucikari itu mengangguk.
Aku dan Zahra kemudian diantar ke kamar hotel yang sudah disediakan di tempat itu. Aku duduk di ranjang, menatap gadis itu yang masih menunduk. "Cepet naik ke kasur!"
Gadis itu mengangguk pelan, lalu naik ke atas kasur dan merebahkan tubuhnya di sana dengan pasrah. Aku menyipitkan mata saat mini dress gadis itu memperlihatkan keindahan tubuhnya.
Gadis itu memejamkan matanya, mengira bahwa aku akan menciumnya. Padahal aku hanya ingin menyampirkan kerudung yang sudah aku bawa ke atas kepalanya.
Aku menghela napas lalu duduk membelakangi Zahra.
"T... Tuan tidak ingin meniduri saya?"
Aku melemparkan seulas senyum. "Duduk! Jangan berbaring seperti itu. Saya tidak kuat melihat tubuh bagian bawahmu jika kamu berbaring."
"Itu sudah tugas saya melayani Tuan."
"Setiap pelanggan punya selera yang berbeda untuk dilayani. Dan, saya meminta kamu untuk duduk."
Zahra akhirnya menurut. Ia bangkit dari posisinya lalu duduk di sebelahku. Gadis itu merangkul tubuhku, mencoba menggoda, walaupun masih terkesan sangat kaku. Karena mungkin Zahra belum memiliki jam terbang yang banyak untuk memuaskan para pelanggan.
"Nggak usah akting, saya yakin kamu itu masih amatir dan belum terlalu berpengalaman menekuni pekerjaan hina seperti ini. Duduk saja di sebelah saya, tapi sedikit jaga jarak."
Zahra sedikit kaget mendengar penuturanku.
"Umur kamu berapa?" tanyaku dengan nada lembut.
"18 tahun," jawab Zahra lirih.
Pantesan kelihatan polos, batinku sambil geleng-geleng kepala. "Sudah berapa lama kamu menekuni pekerjaan ini?"
"Seminggu."
"Buat biaya kuliah?"
"Sa... saya tidak kuliah." Zahra menunduk.
"Lalu?"
"U... untuk keperluan Bapak sama Ibu."
Asstagfirullah, aku mengusap-usap wajahku, cengo. "Ayo!"
"Mau mulai?" tanya Zahra merapatkan jaraknya denganku.
Aku tersenyum. "Saya tidak hobi bermaksiat, apalagi berzinah. Ikut saya, kamu akan saya nikahi."
Zahra terbelalak. "S... saya sudah tidak suci, Tu ... Tuan."
"Sebelum semua lebih hancur lagi jika kamu terus-terus, kan."
Yah, itulah tujuanku ke sini. Menikah lagi haha...
Bukan ingin poligami, tapi untuk mendapatkan hubungan yang halal. Aku hanya ingin memanas-manasi Viola dan membuktikan kepadanya bahwa aku juga bisa selingkuh. Aku juga ingin membuat Viola cemburu, dan melihat siapa yang akan kalah pada turnamen ini. Semoga saja Viola mengira bahwa aku benar-benar selingkuh. Semoga Viola tidak sadar kalau aku sebenarnya nikah lagi.
Dan...
Di sinilah, lomba selingkuh itu dimulai.
Bersambung...