Mertua Koplak

1386 Kata
Entah, mimpi apa Erwin semalam, sampai-sampai melakukan hal senekad ini. Kini Erwin sudah berada dihadapan kedua orangtua Zahra. "Saya akan menikahi anak bapak," ucap Erwin lantang. Ayah Zahra meghisap rokoknya perlahan, tak lama itu kepulan asap langsung mengepul di udara. "Bu, ambilin formulir!" Ibu Zahra mengangguk, kemudian berdiri mengambil sesuatu. Erwin sedikit terbelalak karena tidak paham dengan maksud ayah Zahra. Pria tampan itu melirik ke arah Zahra yang duduk di sebelahnya sambil menunduk. "Anak saya tiga. Zahra yang terakhir. Anak saya yang pertama menikah dengan pilot, yang kedua menikah dengan anggota DPR. Saya sudah membuat perjanjian dengan anak-anak saya jika sudah lulus SMA mereka harus wajib ngasih uang ke orangtua sebagai tanda bakti mereka kepada orangtua. Kalau belum nikah minimal setor uang satu juta sebulan. Kalau sudah menikah, sepuluh juta perbulan kasih ke saya," tutur ayah Zahra berhenti sejenak menatap Erwin tajam. "Apa kamu bersedia membantu Zahra berbakti kepada orangtua?" Erwin melongo. Asstaghfirullah, ucapnya dalam hati. Pantas saja Zahra menjual diri, mungkin gara-gara tuntutan dari Ayahnya. "Hey, kenapa diam?" Erwin langsung terbangun dari lamunannya lalu menatap Zahra yang masih menunduk di sebelahnya. "I... iya, Pak. Saya bersedia membayar sepuluh juta perbulan sebagai tanda bakti Zahra kepada orangtua," jawab Erwin kikuk. Ayah Zahra tersenyum puas, lalu menyesap kopi s**u yang berada di atas meja. "Bu, buatkan dia minum," ujarnya setelah istrinya datang membawa beberapa lembar kertas. "Emang dia orang kaya, Pa?" tanya Istrinya. "Belum tau. Tapi, dia tidak keberatan setor uang sepuluh juta perbulan ketika sudah menjadi suami Zahra." "Owh, nggak masalah berarti kalau dibuatin minum," ucap Ibu Zahra kemudian bergegas ke dapur. "Teh anget kasih gula dikit. Jangan kopi apalagi s**u. Rugi nanti kita," sahut Ayah Zahra dengan nada sinis. Erwin hanya mengumpat dalam hati. Orangtua macam apa ini? Tiba-tiba saja ia merasa kasihan dengan Zahra, untung saja takdir mempertemukannya. Ayah Zahra mulai memakai kaca mata minusnya untuk membaca tulisan-tulisan yang ada di kertas itu. "Masih ada persyaratan-persyaratan yang harus kamu penuhi untuk menjadi suami Zahra." Kepala Erwin sudah berasap, tinggal siap-siap menunggu untuk meledak. Sungguh di luar nalar. Orangtua nggak masuk akal! "Apa orangtuamu adalah orang kaya?" Ayah Zahra mulai mengintrogasi. Erwin sedikit berpikir. Ia bukan anak orang kaya, tapi mertuanya yang kaya raya. "Tidak, Pak," Erwin menggeleng. Ayah Zahra menyilang persyaratan nomor satu yang tertera pada formulir pendaftaran menantu. "Hartamu sekarang jika dinomilkan berapa?" "Tak terhingga." Jawab Erwin santai. Ayah Zahra sedikit terpukau lalu mencentang persyaratan nomor dua yang berhasil dipenuhi. "Kerja apa kamu?" "Saya adalah CEO di perusahaan smartphone Indophone, saya juga punya pertambangan batu-bara, saya punya sepuluh toko butik yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Kemudian, saya juga memegang saham salah satu klub bola yang berada di Inggris." Klontang! Secangkir teh hangat yang dibawa Ibu Zahra terjatuh. "Waduh ya ampun, aku buatin kopi s**u aja, ya, Pak," pekik ibu Zahra shock mendengar reputasi Erwin. Wanita paruh baya itu langsung buru-buru kembali ke dapur. Ayah Zahra tersenyum semringah. "Bagaimana bisa kamu punya harta sebanyak itu?" Erwin sedikit kikuk. Apakah dia akan menjelaskan kalau semua perusahaan yang ia kelola adalah milik mertuanya. Erwin juga tidak mungkin berbohong karena dia adalah anak santri. Mau taruh di mana wajah guru-guru ngajinya, kalau masih berbohong. "Milik mertua saya, Pak." Ayah Zahra sama sekali tidak kaget. Justru Zahra lah yang terlihat kaget. "Oke, tidak masalah kalau kamu sudah punya Istri. Kita kembali ke persyaratan nomor tiga. Berapa penghasilanmu sebulan?" "Hmm, Erwin sedikit berpikir. Sekitar satu milyar," jawabnya tenang penuh kewibawaan. "Wah, kalau gitu dia harus setor ke kita limapuluh juta, Pak," sahut Ibu Zahra yang dengan semangatnya menyuguhkan kopi s**u kepada Erwin. "Ibu!" tegur Zahra. "Kamu mau masuk syurga, nggak, Zahra? Itu untuk baktimu kepada orangtua," potong Ibu Zahra dengan entengnya. Erwin meneguk ludah, asstaghfirullah. "Bagaimana? Apa kamu setuju limapuluh juta perbulan?" tanya Ayah Zahra. "Itu belum cukup, lho, nebus satu tetes darah saat saya melahirkan Zahra," tambah istrinya. "Saya bersedia, Pak," jawab Erwin ragu-ragu. "Oke, persyaratan selanjutnya nggak usah dilanjutkan. Kapan kamu akan menikahi Zahra?" tanya Ayah Zahra melepas kaca mata minusnya kemudian menatap Erwin dengan tatapan serius. "Sekarang juga, Pak," jawab Erwin cepat. "Enggak diadakan pesta?" "Enampuluh juta perbulan." Erwin menambah bandrol harganya agar ayah Zahra menurut. "Oke, Bu, telepon Pak Penghulu!" Ayah Zahra terlonjak-lonjak girang, melakukan selebrasi seperti pemain bola yang baru saja mencetak gol, tak sabar menerima uang enam puluh juta dari menantu VVIP-nya yang tiba-tiba datang ini. *** Setelah acara nikah siri yang berlangsung di rumah Zahra selesai. Erwin langsung membawa Zahra ke sebuah apartement mewah yang berada di kawasan Jakarta Pusat. Ini memang bagian dari rencananya. Yakni, menyaingi istrinya yang kecanduan selingkuh. Daripada istrinya ditegur minta cerai, Erwin memilih menyaingi Viola selingkuh dan melihat siapakah yang akan kalah dan cemburu. Jika, istri Erwin selingkuh secara illegal. Erwin cukup cerdik untuk menyelingkuhi istrinya dengan cara halal. Yaitu menikahi Zahra terlebih dahulu. Hmm, walaupun seakan-akan Erwin merasa seperti mengontrak Zahra 60 juta perbulan karena harus membayar pajak bakti kepada orang. Anjiiirrrr, pajak macam apa tu wkwkwk. "Kamu tinggal di sini, ya," ujar Erwin lembut. Zahra hanya mengangguk, lalu kembali menunduk. Gadis itu masih mengenakan pakaian sexy-nya tadi malam. "Ayah kamu mata duitan banget, ya?" tanya Erwin pelan, tidak ingin Zahra tersinggung. "Sebenarnya dia bukan orangtua saya," jawab Zahra yang masih menunduk. "Saya hanya anak panti asuhan, yang dipungut mereka. Kedua kakak saya juga anak panti. Kami dimanja dan dibesarkan dengan kasih sayang mereka. Tapi mereka selalu bilang ke kami kalau nanti sudah lulus SMA, kami harus balas budi. Karena itu saya dan kedua kakak angkat saya bertekad untuk membahagiakan mereka walaupun bukan orangtua kandung." Erwin mengangguk mengerti. "Nggak usah menunduk terus. Kita sudah muhrim." "Aku tidak suci, Tuan." "Tak apa, masih bisa diperbaiki daripada tidak sama sekali." Erwin tersenyum lembut. "Kenapa Tuan menikahi Saya?" Itu adalah pertanyaan yang ingin sekali Zahra lontarkan sejak tadi. "Biar nggak dosa kalau kita nglakuin zinah. Kamu jangan panggil aku Tuan, tapi mas aja." "Bagaimana dengan istri Tuan?" Zahra agak merasa aneh, mereka berdua kan baru bertemu pertama kali, tentu saja tidak ada dasar cinta pada pernikahan mereka berdua. "Nanti saya kenalin kamu ke dia." Erwin tersenyum. Senyuman Erwin membuat kemarahan Zahra meleleh dan luntur diterpa angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. "Mungkin ini juga takdir. Andai saja kamu tidak bertemu dengan saya, mungkin kamu masih menjadi wanita jalang yang nggak punya harga diri di sana." "Tapi Tuan nggak mengerti keaada..." "Ssttttt, aku suami kamu, jangan panggil aku Tuan." Erwin menempelkan jari telunjuknya ke bibir Zahra. Mata teduh Erwin membuat Zahra terlihat kikuk. "Mungkin alasan orang bekerja sebagai wanita jalang, karena kondisi perekonomian iya, kan?" tebak Erwin mendekatkan wajahnya ke wajah Zahra." Tapi, apa pantas kau gadaikan agamamu hanya untuk harta yang nilainya kecil." Zahra menghela napas. "Tapi, saya punya kebutuhan, saya juga harus kirim uang ke orangtua saya. Saya bingung tidak punya pekerjaan lain. Andai saja saya telat kirim uang satu juta, anak-anak panti bakalan diadopsi sama teman orangtua saya yang otaknya picik. Mereka akan menjadikan anak-anak panti sebagai pelaku kriminalitas. Saya sebagai anak yang beruntung hidup dalam kemewahan harus bisa menyelamatkan junior-junior saya." Erwin sedikit terperangah mendengar cerita dari Zahra, tapi sesaat kemudian ia mengangguk-angguk paham. "Dan sekarang tidak perlu khawatir. Saya akan setor uang 60 juta perbulan." Erwin tersenyum. "Besok saya akan kembali ke sini, kamu yang baik-baik, ya, di rumah." Erwin mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. "Atm ini tidak akan habis jika kamu gunakan untuk keperluan memasak." Erwin memberikannya kepada Zahra. "Saya pulang dulu." Erwin menjulurkan tangannya yang disambut Zahra dengan mencium tangannya. Zahra mendengus setelah Erwin hilang dari pandangannya. Rasanya baru kemarin ia jadi p*****r, tapi kenapa sekarang dia sudah menikah. Perputaran siklus kehidupan cepat sekali, deh, ah! *** Jam sudah menunjukkan pukul 00.03 dini hari. Erwin membuka pintu kamar dan mendapati istrinya sedang tertidur pulas. Erwin melangkah perlahan agar istrinya tidak terbangun. Tangan Erwin gemetar saat hendak mengusap-ngusap rambut istrinya. "Apa kita akan masuk neraka sama-sama?" tanya Erwin lirih, walaupun istrinya sedang tertidur. "Kamu sudah gagal menjadi istri yang baik. Aku juga sudah gagal menjadi imam yang baik. Aku yang akan menanggung dosa-dosa zinahmu, dan kamulah yang menyerertku ke neraka. Jadi, sebelum itu terjadi mari kita bersenang-senang." Erwin beranjak dari duduknya, pergi dari kamar istrinya menutup pintu dengan pelan. Kemudian berjalan menuju ke kamar putri kecilnya. Erwin memilih tidur dengan Rena, putri kecilnya yang masih kelas satu SD. "Maafin Papa yang membuat keluarga ini berantakkan, ya, Sayang," Erwin mengecup kening putrinya lembut. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN