"Aku pengen dianter sama Mama, sama Papa," ucap Rena ditengah-tengah kunyahannya. Gadis kecil itu sedang melahap roti tawar yang diolesi selai strowberry bersama kedua orangtuanya.
Erwin melirik ke arah Viola sekilas, yang masih fokus menyantap makanannya. "Sa..."
"Pilhannya hanya dua, kamu mau dianterin sama Mama aja, apa sama Papa?" tanya Viola ketus. Erwin langsung terdiam kemudian meneguk air putih di atas meja.
"Papa sama Mama udah putus, ya, kok nggak pernah akur, sih?" Rena mengerucutkan bibirnya hingga beberapa senti.
"Kita udah nggak temenan lagi, Sayang." Viola menyunggingkan seulas senyum miring ke arah Erwin.
"Papa, tembak Mama lagi, dong, biar balikkan." Rena memohon kepada Erwin, yang dibalas Erwin dengan senyuman.
"Mama, udah bisa move on," sela Viola sinis. "Kamu mau diantar Mama apa Papa?"
"Dua-duanya." Rena melipat kedua tangannya di depan d**a. Sifat keras kepalanya begitu mirip dengan Viola.
"Rena!"
"Kalau nggak mau, Rena beliin Papa baru lagi gimana?"
Viola menyeringai. "Itu, Mama punya banyak stok Papa baru."
"Beneran, Ma?" Rena antusias, kemudian melirik ke arah Erwin. "Papa juga nyari Mama baru dong, biar seru."
"Rena..." tegur Erwin lembut. "Nggak boleh bilang kayak gitu."
"Ya, udah. Cepetan Mama anterin sini, Mama juga ada urusan." Viola menarik tangan Rena.
"Nggak cium tangan sama Papa, kayak di film-film?" Rena terhenti lalu menoleh ke arah Erwin.
"Nggak usah!" Viola membuang pandangannya dari Erwin.
Erwin menghela napas, membiarkan mereka berdua pergi dari hadapannya. Lelaki itu memijat-mijat pangkal hidungnya pusing. Kenapa hidupnya menjadi semengerikan ini, diinjak-injak oleh sang istri. Andai saja jika istrinya tidak kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Mungkin, semua akan baik-baik saja. Istrinya tidak akan membangkang, juga tidak akan terang-terangan selingkuh seperti ini. Erwin mendadak menjadi lelaki yang rapuh. Padahal dulu hubungannya dengan Viola bisa dikatakan harmonis. Viola benar-benar memperlakukan Erwin sebagai seorang suami. Pelanggaran-pelanggaran terhadap akidah juga bisa ditanggulangi. Walaupun Viola tidak mencintainya. Mereka berdua juga menyayangi Rena. Sampai pada akhirnya datang sebuah bencana berwujud mantan yang menghancurkan segalanya. Bahkan, Erwin merasa gagal menjadi seorang suami, ia juga merasa gagal menjadi seorang manusia yang harusnya mampu menjalankan perintah-perintah Tuhan. Seperti menjaga istri dari perbuatan dosa, misal.
Dan kini, alih-alih mencegah dan menghentikan perbuatan maksiat yang dilakukan istrinya, Erwin malah menyaingi Viola selingkuh dengan menikahi Zahra diam-diam.
Drrrttt... Drrrttt...
Ponsel yang ada di saku celananya berdering. Buru-buru Erwin meraihnya, dahinya mengerut setelah mengetahui siapa yang memanggilnya. "Hallo?" ucapnya setelah mengangkat ponsel tersebut.
"Tuan, aku masak telur tapi telurnya gosong. Udah gitu tangan aku kena minyak panas lagi," ucap Zahra di seberang sana.
"Jangan panggil aku Tuan. Aku suamimu. Apa kamu nggak bisa masak?"
"Enggak, ini gimana ngangkatnya dari wajan? Aku takut pakai spatula ntar kecipratan minyak lagi."
Erwin menghela napas. "Pelan-pelan ..., ya, udah nanti aku mampir ke situ."
"Bukannya kerja ke kantor?"
"Nanti mampir ke situ dulu bentar." Erwin mematikkan ponselnya setelah sebelumnya mengucapkan salam kepada Zahra. Pria berumur 28 tahun itu bergegas menuju ke mobil.
Saat diperjalanan. Erwin berhenti di sebuah restoran untuk memesan makanan siap santap untuk Zahra. Tapi kakinya membeku seketika, setelah melihat Viola duduk bersama seorang laki-laki familiar yang tidak asing lagi di mata Erwin. Lagi, lagi, dan lagi Viola bersama mantan kekasihnya.
Biasanya Erwin akan menghindar dan pura-pura tidak tau. Meskipun mereka berselingkuh di rumah sendiri. Tapi kali ini berbeda. Erwin ingin sekali menghampiri Viola. Ia sudah jengah dengan semua drama yang telah terjadi. Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, Erwin berjalan menghampiri Viola.
"Mas Erwin?" Viola tampak terkejut setelah menangkap sosok Erwin yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Erwin tersenyum getir. "Nanti biar aku yang bayarin."
Tentu saja Viola dan selingkuhannya terkejut. Mereka pikir Erwin akan marah-marah, dan pastinya Viola akan menantang untuk bercerai sekalian. Tapi ternyata respons Erwin berbeda.
"K... kalian c... cocok." Erwin meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia kembali tersenyum. Walaupun hatinya menangis detik itu juga.
Erwin berlalu dari hadapan mereka membeli makanan untuk Zahra sekaligus membayarkan makanan yang mereka pesan. Setelah itu Erwin kembali sambil membawa seporsi makanan, sambil tersenyum ke arah Viola. "Lanjutin, ya, semoga hari-hari kalian selalu menyenangkan." Erwin pergi meninggalkan mereka yang masih membeku di tempatnya.
"Kapan kamu sama dia cerai?" tanya selingkuhan Viola yang membuat Viola langsung terbangun dari lamunannya.
"Nggak gampang." Viola menghela napas lalu menggeleng pelan.
"Harusnya dia marah liat kamu selingkuh sama aku."
"Tapi kamu lihat sendiri, kan, dia malah seperti itu. Dulu pertama kali dia memergoki kita selingkuh, dia ngamuk-ngamuk. Aku langsung nantang dia cerai. Terus dia diem sampai sekarang nggak mau ngungkit-ngungkit hal itu lagi. Aku juga nggak bisa bilang sama Mama Papa aku buat minta ceria sama dia. Karena Erwin terlalu baik untuk ditinggalkan." Viola mimijat-mijat keningnya pusing.
Rustam, selingkuhan Viola, menaikkan sebelah alisnya. "Berarti dia ngincer harta kamu?" tebaknya.
"Enggak, dia cuma tidak mau ingkar janji sama Mama-Papaku untuk jagain aku, dan meluruskan hidupku. Jalan satu-satunya hanya satu. Buat dia marah lalu menggugat cerai aku. Dengan begitu kedua orangtuaku pasti setuju. Tapi, masalahnya dia nggak pernah marah." Viola menggebrak meja geregetan. Membuat beberapa orang di restoran itu menoleh.
***
Erwin sudah sampai di sebuah apartement megah di kawasan Jakarta Pusat. Saat memasuki ruangan itu tubuhnya langsung membeku setelah melihat Zahra sudah duduk di meja makan dengan beraneka ragam makanan lezat yang sudah dihidangkan di atas meja.
"Tuan."
Erwin langsung terbangun dari lamunannya. Kantong plastik yang berisi makanan yang akan ia berikan kepada Zahra terjatuh ke lantai. Mungkin, tidak pede karena merasa kalah lezat dengan makanan yang dihidangkan Zahra di atas meja.
Erwin berjalan dengan kaki gemetar menghampiri Zahra. Matanya mulai mengeluarkan air. Andai saja Viola yang melakukan ini pasti semuanya akan terasa sempurna.
"Tuan," panggil Zahra lagi.
Erwin buru-buru menyeka air mata yang menetes ke pipinya, lalu tersenyum ke arah Zahra. "Aku suamimu, jangan panggil aku tuan," ucapnya kemudian duduk berhadapan dengan Zahra.
"I... iya Tuan," gagap Zahra sambil menunduk malu-malu.
Erwin menghela napas. "Panggil aku Mas, kalau sampai manggil aku tuan lagi. Bakalan aku hukum."
"I... iya."
"Kamu pinter berbohong. Katanya gak bisa masak, sampai kena minyak panas. Aku sempet khawatir lalu beliin kamu makanan siap saji. Sampai ke sini, ternyata udah ada banyak makanan."
"B... biar suprise Tuan, eh maaf, Mas, iya Mas."
Erwin terkekeh. "Karena kamu sudah membohongi suami, kamu harus dapet hukuman."
Zahra melongo. "Hu... hukuman?"
"Iya, skot jump 10 kali," titahnya lalu tersenyum ke arah Zahra. Sungguh Zahra keliatan sangat polos dan belum pantas untuk menjadi Ibu rumah tangga. Umurnya saja masih 18 tahun. Hmm, mungkin baru lulus SMA.
"Ta... tapi..."
"Gak ada tapi-tapian. Ingat! Kalau kamu bisa bikin suami bahagia itu dapat pahala, kalau kamu gak mau menuruti perintah suami itu dosa."
"Ba... baik, Tu... tuan." Zahra dengan polosnya menuruti perintah Erwin.
"Duapuluh kali!" tambah Erwin.
"Ha?" Zahra yang bersiap-siap akan skot jump melongo.
"Sudah kubilang, kan, kalau manggil Tuan lagi dapat hukuman."
Zahra menyipitkan matanya lalu mulai melakukan skot jump. Gadis itu masih mengenakan piama tidur berwarna putih dengan corak biru tua dengan rambut yang dikuncir ekor kuda yang terombang-ambing tak tentu arah saat melakukan skot jump. Namun baru lima kali ia melompat katak Erwin sudah berdiri di depannya.
"Cukup."
Zahra berdiri sambil menyeka peluh di dahinya kemudian menunduk, tidak berani menatap wajah Erwin. "S... saya belum menyelesaikan hukuman Tu... eh, Mas," jawabnya kikuk.
"Turuti perintah suami."
Zahra masih belum berani menatap wajah tampan Erwin. Ia tetap menunduk, walaupun jarak di antara keduanya hanya berjarak beberapa senti. Sampai pada akhirnya sebuah kain menutupi kepalanya. Membuat Zahra langsung mendongak.
"Pakai kerudung, ya," Erwin menyampirkan keredung itu ke puncak kepala Zahra. Tapi, Zahra segera menghentikkan tangan Erwin.
"Aku belum siap, M... Mas."
"Emangnya kematian akan tanya kamu sudah siap apa belum?"
Zahra terdiam.
"Pernah diputusin sama cowok?" tanya Erwin lembut. Walau sejujurnya ia tidak pantas menanyakan pertanyaan yang harusnya ditanyakan oleh anak muda.
"Pe... pernah," angguk Zahra kemudian menunduk. Jantungnya berdebar-debar kencang ketika menatap manik mata coklat milik Erwin yang begitu meneduhkan.
"Kenapa dia mutusin kamu?"
"Mungkin, karena udah nggak suka."
Erwin tersenyum. "Ketika seorang laki-laki disuguhi dua permen yang satu dibungkus, yang satu tidak bungkus. Kira-kira dia pilih yang mana?"
"Ya... yang dibungkus."
"Nah itu, pasti yang tidak dibungkus dibiarin aja dikerubungi semut."
Zahra terdiam.
"Kerudung melindungi kehormatanmu. Kamu itu perempuan, kamu indah, kamu kuat, kamu mahal."
"Tapi... aku sudah tidak suci lagi." Mata Zahra sudah mulai berair. Teringat dengan profesi menjijikannya sebelum dinikahi Erwin.
"Sssttttt..." Erwin menyentuhkan jari telunjuknya ke bibir Zahra. "Kenapa harus mengungkit-ungkit masa lalu, kalau kamu masih bisa merubah masa depanmu."
"Tuhan itu maha pengampun. Kamu berjalan ke arah Tuhan. Tuhan langsung lari menyambutmu."
Zahra meneguk ludahnya dengan susah payah. Saat Erwin melanjutkan memakaiakan kerudung ke kepala Zahra.
Erwin tersenyum melihat Zahra terlihat begitu cantik dengan kerudung merah yang ia gunakan. Hal yang ingin ia lakukan terhadap Viola. "Boleh aku cium kamu?"
Zahra mendongak malu-malu. "I... iya."
***
Setelah menemani Zahra makan, Erwin langsung bergegas ke kantor. Erwin mengundang beberapa orang bertubuh kekar untuk datang ke kantornya, bukan sebagai client, melainkan sebagai tamu.
"Kalian berlima awasi selingkuhan Viola, sementara sisanya buntuti Viola kemana pun dia berada. Jika mereka bertemu lagi. Langsung hubungi saya."
"Ba... baik, Pak." Jawab sepuluh orang itu serempak.
Bersambung..
Vote dan comment nya ditunggu ya