"Terserah diri lo deh, gue capek kalau disuruh berdebat sama orang yang keras kepala seperti diri lo itu. Lo tahu nggak sih kalau gue capek banget?" Tanya Diandra lalu menghela napas.
"Gue nggak tahu karena lo nggak ngomong," jawab Dafa apa adanya.
Dari hal itulah yang membuat Diandra sedikit kesal karena dengan cara itulah seakan dirinya sudah tidak peduli lagi. Terkesan cuek memang membuat orang lain seperti diabaikan dan kehadirannya seperti tidak dianggap. Senyum getir pun tercetak di bibir Diandra dengan tatapannya yang berkaca-kaca.
"Gue nggak tahu lagi apa yang ada di dalam kepala lo."
"Paling ada otak dan lain-lain," ucap Dafa masih terlihat santai.
"Hm, terserah lo!"
"Oke, gue mau jalan lagi, pegangan karena gue nggak mau dianggap modus lagi."
Tanpa banyak berbicara lagi, Diandra pun langsung berpegangan di kedua bahu Dafa. Dia tidak berani pegangan di bagian pinggang karena takut dianggap modus. Apalagi kalau nanti malah kembali lagi terjadi seperti hal tadi, dia benar-benar tidak mau karena nanti yang ada malah terjadi keributan atau malah rasa canggung, meskipun pada kenyataannya hal itu tidak sengaja. Namanya juga orang aneh, banyak sekali hal-hal yang harus diselesaikan dan bahkan juga harus dilakukan agar tidak terjadi keanehan.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan untuk mencapai ke tempat tujuan. Tidak ada perbincangan lagi di antara mereka, hanya ada suara bising yang disebabkan dari angin. Untung saja mereka menggunakan helm, sehingga suara angin tersebut tidak terlalu mengganggu pendengarannya. Polusi udara akibat kendaraan yang berlalu lalang pun sedikit membuat napas Diandra sesak, tapi dia sadar bahwa posisinya sekarang sedang berada di jalan yang tentunya hak untuk dilewati oleh setiap orang, bukan malah hanya untuk dirinya saja. Oleh karena itu, Diandra hanya pasrah dan dia menutup hidungnya guna menghindari batuk akibat polusi tersebut. Andai menggunakan masker saja maka Diandra tidak akan seribet hal tersebut.
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di tempat tujuan. Dafa berhenti tepat di depan halaman rumah Diandra. Dia memang sengaja tidak langsung masuk ke dalam halamannya karena takut dianggap tidak sopan, apalagi semenjak tadi Diandra memang seperti sengaja memojokkan dirinya baik masalah besar maupun masalah kecil. Tidak heran sih kalau perempuan itu suka berkata dan bertingkah seperti hal tersebut, dia memang lebih memilih untuk mengalah daripada harus ribut, padahal nanti endingnya pasti akan baikan atau bisa dikatakan bahwa laki-laki selalu sama. Entahlah hal apa yang seringkali mendasar pada diri mereka, apalagi hal tersebut cukup aneh saja.
"Mampir dulu!" Ajak Diandra menatap Dafa dingin. Kini wajahnya tanpa ekspresi, seperti halnya orang yang menyimpan dendam. Namun, sedikitpun Dafa tidak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja dia menganggap Diandra seperti orang gila yang mood nya mudah berubah.
Bayangkan saja, dia suka marah-marah tidak jelas, ngambek tidak jelas, atau bahkan malah diam termenung seperti orang yang paling tersakiti di dunia ini. Wajahnya saja terkadang terlihat seperti di imut-imutkan. Jika Dafa orangnya suka keributan sih maka dia akan melayani Diandra yang dianggapnya hanya butiran debu. Andai saja Dafa tidak memikirkan harga dirinya maka sekali senggol saja Diandra akan kalah, hanya saja dia masih sangat menyayangi harga diri agar bisa disegani oleh orang lain.
Perempuan yang mau menang sendiri dan egois sudah biasa Dafa temui di beberapa tempat, khususnya tempat belajar mengajar atau biasa disebut dengan nama sekolah, baik itu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, maupun Kampus. Semua sama, hanya saja bagaimana seseorang dalam menghadapi permasalahan tersebut. Selama masa sama-sama makan nasi maka Dafa tidak akan takut dengan ancaman yang seringkali diutarakan oleh orang lain.
"Ngapain?" Tanya Dafa pura-pura tidak tahu, dia hanya ingin tahu saja bagaimana perilakunya Diandra yang sebenarnya. Ada sedikit rasa keingintahuan yang besar karena selama sekolah, dia baru mengenal Diandra. Jika dilihat dan dirasakan sih orangnya agak asyik, tapi ada sesuatu yang disembunyikan dan hal itulah yang membuat Dafa sangat penasaran dengan cara menyelidikinya. Bukan menyelidiki seperti tetangga yang suka ngerumpi, tapi menyelidiki dengan cara berpikir panjang agar tidak ketahuan.
"Lo pikir kalau bertamu mau ngapain?" Tanya Diandra nyolot.
"Banyak kok alasannya dan bahkan kalau gue sebutkan satu persatu maka nggak akan ada selesainya. Bisa sih, hanya saja membutuhkan banyak waktu yang lama."
"Mau lama mau dekat intinya sama," kata Diandra lalu menghela napas. Hari ini kesabarannya benar-benar diuji ketika bertemu dengan orang yang tidak tanggung jawab seperti halnya Dafa. Entahlah hal itu memang disengaja atau hanya perasaan Diandra saja yang sangat sensitif. Andai saja dirinya tidak bisa mengontrol emosinya maka nanti yang ada malah dirinya yang mudah emosi dan akan melampiaskannya kepada orang lain. Biasanya sih dilakukan dalam keadaan di luar kesadaran. Oleh karena itu, Diandra seringkali merasa bahwa hidupnya terasa aneh saja. Sebab, gerakan tubuhnya itu seakan seperti diprogram oleh keadaan yang entah dia tidak tahu bagaimana awal mulanya.
Sudah beberapa kali Diandra mengalami hal tersebut. Dia juga tidak pernah menceritakannya kepada orang lain karena menurutnya akan sulit dipercaya oleh orang lain saja karena memang di luar logika, sehingga sampai detik ini lah hanya dirinya saja yang tahu. Dia paham hal itu karena mendengar cerita dari teman-temannya yang tidak sinkron dengan apa yang dirinya lakukan. Namanya juga kehidupan, hal aneh itu sudah seringkali terjadi bahkan bisa lebih parah.
"Terus mau lo apa?" Tanya Dafa langsung ke intinya saja karena dia memang orangnya tidak suka basa-basi. Obralan langsung ke inti adalah keinginannya karena tidak terlalu banyak membuang-buang waktu. Selama ini, masih banyak orang yang melakukan hal tersebut. Biasanya sih karena malu-malu atau memang sengaja dan termasuk tipikal orang yang suka menggunjing. Orang yang suka menggunjing biasanya suka menggunakan waktu untuk basa basi untuk bisa ikut bergabung dalam sebuah pembicaraan. Selama ini, Dafa benar-benar menghindari hal-hal tersebut. Dia memiliki hati yang sensitif, sehingga apa pun yang dilakukan maupun dikatakan jika tidak sesuai dengan keinginan maka dirinya pun mudah emosi. Perlu diingat bahwa yang dilakukan seseorang pasti memiliki tujuan, sehingga hidup di dunia ini harus sangat hati-hati. Salah sangka ataupun salah sasaran saja sangat bahaya.
Lagi-lagi Dafa tersenyum tipis, lalu dia berkata, "Ingat ya jangan sampai mudah di sakiti."
"Ngomong apa sih? Gue nggak paham banget dan entahlah akan terjadi atau malah selama ini."
"Lo tuh ya menyebalkan banget. Lo mikir nggak sih kalau semua laki-laki yang ada di kampus maupun SMA tuh sama. Iya gue tahu banget kalau semua laki-laki itu fokus dengan pasangannya hanya satu saja, akan tetapi untuk cabangnya dibuka dimana-mana," ujar Diandra berusaha mengingat perilaku laki-laki yang pernah berusaha untuk mendekatinya.
"Mana sempat gue berpikir seperti hal gituan. Gue nggak ada waktu buat gituan kali."
"Ya sudah kalau seperti itu." Diandra pasrah.
Diandra menarik paksa tangan kanan Dafa agar bisa berduaan. Mereka berdua memang benar-benar jarang melaksanakan hal-hal aneh, bahkan gandengan antara laki-laki dengan perempuan saja tidak pernah sama sekali. Oleh karena itu, Dafa cukup terkejut ketika tangan kanannya ditarik oleh Diandra. Rasanya bahwa Dafa sedang diperlakukan sangat posesif. Dia tidak tahu lagi mengapa dirinya yang harus mengalami hal tersebut, padahal teman satu kelasnya masih ada selain dirinya. Padahal sebenarnya Dafa sendiri kurang suka terhadap hal-hal yang terlalu banyak orang. Semakin banyak orang dalam kelompok memang oke sih, tapi soal sikap dan kebiasaannya itu loh yang terkadang dapat memberikan pengaruh. Masih mending kalau pengaruh hal positif, bayangkan saja bagaimana jika pengaruh hal negatif. Entah bagaimana nanti nasibnya karena sulit untuk dijelaskan.
"Gue mau pulang dulu ya. Lagian ini sudah hampir jam tiga, keburu nanti jalannya macet. Gue paling malas kalau terjebak macet."
"Tapi nggak baik loh, mampir cuma ngeteh atau ngopi gitu biar ngilangin dahaga. Lagian kan lo juga yang bilang mau bantuin gue buat nganterin sopir gue ke sekolah lo. Buat ngambil motor gue," jelas Diandra. Harapannya sih Dafa mau karena dia juga ingin merasakan apa itu arti mencairkan es batu tanpa diberikan panas.
"Hm, baiklah." Akhirnya mau tidak mau maka Dafa sudah benar-benar luluh. Kini raut wajah Diandra terlihat ceria. Perubahan raut wajahnya benar-benar beda jauh.
Diandra terlihat manis ketika memperlihatkan senyuman manisnya. Sejak awal bertemu, baru kali ini lah Dafa melihat senyuman Diandra yang menurutnya begitu manis, tapi tetap tidak bisa mengalahkan senyuman Ana. Melihat senyuman Diandra membuat Dafa mengingat wajah imut Ana yang terlihat sangat polos. Dafa merasa kalau Ana anaknya sangat jujur karena dari gerak-gerik tubuh dan tutur katanya cukup terlihat baik. Dari hal itulah yang membuat Dafa merasa ada yang mengganjal, yaitu ketika Ana tersenyum maka aura nya itu sangat terasa.
"Nggak usah bengong. Ayo, kita masuk sekarang. Motornya nyalakan dan parkirkan di pojok halaman sana karena nanti biasanya yang bagian tengah buat parkir mobil," jelas Diandra menunjukkan arah yang dirinya maksud.
"Tapi kan di rumah lo ada garasi, kenapa nggak langsung dimasukkan saja?" Tanya Dafa agak bingung.
"Iya memang ada, tapi dipakai kalau mobil atau motor nya sudah benar-benar nggak akan dipakai, contohnya seperti pada malam hari."
"Oh gitu, ya sudah gue mau masuk dulu, lo duluan saja nggak apa-apa asalkan gue nggak ditinggal di dalam," pinta Dafa.
Diandra menunjukkan jari jempolnya. "Oke."
Dafa langsung melajukan motornya menuju tempat yang tadi ditunjuk Diandra. Setelah selesai memarkirkan motornya. Dia pun mendekati Diandra yang sedang berkacak pinggang, dia memang sengaja melakukan hal tersebut agar salah satu temannya tidak melakukan hal buruk tersebut.
"Ayo, kita masuk sekarang!" Ajak Diandra. Baru saja melangkahkan kaki, dia malah menjerit. "Kyaaa!"
"Diandra!" Pekik Dafa.