Part 25

1774 Kata
Hampir saja Diandra terjatuh kalau tidak ada Dafa, dia berhasil ditangkap Dafa, seperti film di sinetron maupun bioskop. Tatapan mereka pun sangat dekat, hingga akhirnya Dafa tersadar dan segera membantu Diandra bangun. Mereka berdua menjadi sama-sama canggung, padahal hanya tidak sengaja saja. Dia pun sedikit meringis karena tidak menyangka saja kalau pada akhirnya akan terjadi seperti hal tersebut. Jika disuruh untuk memilih maka sedikitpun mereka berdua tidak ingin melakukan hal seperti tadi, hanya saja tadi keadaannya reflek. "Maaf," ucap Dafa tidak enak sendiri. Tangan kanannya juga garuk-garuk kepala karena menahan rasa malu. Sebab hal ini kali pertama dia menatap perempuan dari jarak dekat. Jantungnya pun cukup berdebar karena dia sedikit grogi. "Nggak apa-apa, gue yang seharusnya bilang terima kasih," kata Diandra berusaha untuk mencairkan suasana. Dia juga tidak suka hal-hal yang membuat canggung. Sebab, hal yang canggung hanya akan membuat bibirnya sulit untuk berucap. Dia pun tersenyum getir mengingat kebodohannya dalam berjalan yang tidak hati-hati. Andai saja dia teliti dan hati-hati ketika berjalan maka hal seperti tadi tidak akan terjadi kepada dirinya. "Kalau itu sih jelas," sahut Dafa. "Hmm." Diandra berjalan mendahului Dafa, dia juga tidak sanggup kalau terlalu lama berhadapan dengan Dafa yang dililit oleh rasa canggung. Lagian semakin lama di depan rumah maka semakin lama pula Dafa pulang ke rumah. Ceklek! Diandra membuka pintu depan rumah. Pandangan yang dia lihat pertama kali ada sebuah sofa ruang tamu yang berukuran minimalis, tetapi terlihat mewah. Sebuah vas bunga yang berada di atas meja membuat tampilan ruang tamu terlihat elegan. Terasa nyaman sih, meskipun tidak terlalu luas. Rumah Diandra memang tidak besar, akan tetapi desainnya yang membuat rumah tersebut terlihat mewah, justru malah halaman rumahnya yang sangat luas dengan taman kecil dan ayunan yang berada di taman tersebut. Pembuatan taman tersebut sesuai dengan permintaan Diandra dan kebetulan kedua orang tuanya sangat menyetujui. Kedua mata Dafa pun menyapu kondisi ruangan, dia benar-benar terluka. Rasanya seperti sedang menginap di hotel, hanya saja tidak memiliki kolam renang. Dafa duduk di sofa ruang tamu tersebut tanpa meminta izin Diandra terlebih dahulu dan bahkan Diandra sendiri belum mempersilahkannya. Kesan pertama yang Dafa rasakan adalah rasa empuk dan lembut. Sofa milik Diandra tidak sebagus miliknya yang berada di rumah. "Biasa saja kali," sindir Diandra merasa ada yang aneh dari dalam diri Dafa. Dia tidak menyangka saja bisa melihat ekspresi wajah Dafa yang sedang terpukau. Raut wajahnya itu sangat berbeda-beda ketika berada di sekolah. Diandra sangat yakin bahwa Dafa ternyata tidak seburuk apa yang dirinya pikirkan selama ini. Dia bersyukur bisa mengenal Dafa lebih dekat karena di luar sana banyak temannya yang ingin sekali bisa mendekati Dafa atau minim sebagai teman lah. Namun, mereka sadar bahwa dirinya tidak sebanding dengan Dafa. Kini Diandra yang menjadi teman curhat temannya justru malah bisa berteman dekat dengan Dafa. Rasanya seperti sebuah keberuntungan yang amat besar. "Apa?" Tanya Dafa masih belum sadar terhadap tingkahnya sendiri. "Nggak apa-apa kok, gue bingung saja sama perilaku dan sikap lo," jawab Diandra terkikik geli. "Bingung? Lagian siapa juga yang menyuruh lo buat mikir?" "Lo tuh ya memang diciptakan menjadi orang yang sangat menyebalkan!" Ketus Diandra. "Nggak kok, cuma lo saja jadi orang mudah kesal sama orang." "Gue nggak ngomong kesal, gue cuma ngomong menyebalkan." "Sama saja kali." Diandra memutar bola matanya malas lalu menghela napas. Kali ini dia harus lebih memanjangkan lagi ususnya agar tetap bisa menjadi orang yang bersabar. Kalau tidak sabar maka kemungkinan besar dirinya akan mudah tersulut emosi yang bisa menyebabkan kerugian baik dirinya sendiri maupun orang lain. Perlu diingat bahwa orang yang emosi terkadang di luar kesadaran, sehingga kesalahan itu bisa disengaja maupun tidak disengaja dan parahnya lagi ada beberapa orang yang tidak bisa mengendalikan emosi, sehingga orang lain yang tidak tahu apa-apa pun bisa jadi terkena dampaknya. Hal tersebut sudah seringkali terjadi, apalagi kalau tidak bisa menyesuaikan diri, maka kemungkinan besar yang ada malah rasa terus bersalah. "Terserah lo saja. Gue mau ganti baju dulu, lo tunggu di sini," ujar Diandra. "Oke," sahut Dafa. Setelah mendapat persetujuan dari Dafa, Diandra memutuskan untuk menuju ke dalam kamarnya. Dia memang sudah terbiasa ketika pulang sekolah langsung ganti baju, jika tidak seperti itu maka rasanya sangat gerah. Lagi pula seragamnya akan dipakai di hari esok, sehingga dia perlu segera melepasnya agar tidak terlalu banyak keringat. Ya memang sih di rumahnya ada dua seragam, tapi dia lebih suka dipakai dua kali dengan alasan agar salah satunya rusak terlebih dahulu atau di saat keadaan mendesak saja karena ada sebuah halangan, seperti halnya musim hujan yang membuat baju seringkali tidak bisa kering, meskipun saat ini mesin cuci memiliki alat untuk pengering. Baru beberapa langkah, Diandra ingat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Dia pun membalikkan badan dan kembali menuju ke ruang tamu untuk menemui Dafa. Cukup melelahkan karena bolak-balik, meskipun jaraknya dekat. Sebab yang namanya melangkahkan kaki tentunya harus memiliki tenaga. "Daf, lo mau minumnya apa?" Tanya Diandra ketika menghampiri Dafa. "Jus alpukat," jawab Dafa. "Banyak maunya banget, lo pikir gue jualan jus apa?!" Ketus Diandra. "Tadi lo nawarin gue kan? Jadi, nggak ada salahnya dong kalau gue jawab dan mintanya jus alpukat. Lagian tamu adalah raja dan raja harus dilayani dengan baik." "Tapi gue bukan penjual." "Ribet banget jadi orang, tinggal bilang saja apa susahnya sih?" "Syukur kalau lo peka." "Hilih! Ya sudah kalau seperti itu, gue mau es teh saja, pasti ada kan? Gue nggak percaya kalau di rumah lo nggak ada es teh." "Ada, tunggu sebentar!" Tanpa banyak bicara lagi, Diandra langsung meninggalkan ruang tamu kembali. Dia tahu kalau nanti masih bersama Dafa maka akan terjadi keributan lagi. Dia tidak ingin hal tersebut terjadi kepada dirinya. Setelah selesai ganti baju, dia langsung menuju ke dapur untuk membuat es teh manis. Hari ini dia di rumah sendirian, kedua orang tuanya sedang kerja, asisten rumah tangganya kalau tidak ada di rumah biasanya sedang belanja bulanan, sedangkan sopir pribadinya sedang tidak ada di rumah. Biasanya jika tidak di rumah sedang mengantar Mama nya shopping. Sudah tak heran lagi kalau Mama nya suka kerja seenaknya sendiri, maklumlah karena seorang pengusaha. Kapan pun dia bisa libur sesuai dengan situasi dan kondisi. Setelah selesai membuat es teh, Diandra pun langsung menuju ke ruang tamu untuk memberikan minuman tersebut. Dia duduk dengan santai sambil memandangi wajah Dafa ketika meminum es teh tersebut, padahal belum sempat Diandra menghidangkannya, tetapi Dafa sudah merebutnya terlebih dahulu. Tanpa sadar pun Diandra kembali tersenyum. "Kenapa?" Tanya Dafa ketika meletakkan es teh tersebut di atas meja. "Nggak apa-apa kok. Oh iya, gue mau tanya." "Tanya apa?" "Nanti acara KBO nya berapa hari?" "Biasalah, berangkat hari Jumat pagi dan pulangnya hari Minggu siang. Kenapa? Lo mau ikut lagi?" Tanya Dafa. "Hah, nggak lah, ya kali disuruh ikut gituan. Menyiksa banget tahu nggak sih lo." Kedua alis Dafa mengernyit. "Menyiksa? Pada saat kita acara KBO nggak ada acara menyiksa kali, malah acaranya sangat menyenangkan." "Itu kan kalau menurut diri lo. Apakah lo nggak mikir kalau jadi diri gue? Lo bisa bayangin nggak sih datang di tempat baru dengan suasana gelap dan banyak pasang mata dari orang yang tak kasat mata menatap lo?" "Maksudnya bagaimana?" "Gue anak indigo, gue tersiksa ketika melihat penampakan yang tidak sesuai dengan apa yang gue harapkan." "Terus?" "Ya nggak ada terus." "Oh ya sudah. Besok acara MPLS nya dilanjutkan acara persiapan KBO. Lo mau ikut?" "Gue kan bukan anak aktivis. Ngapain juga kalau gue ikut. Buang-buang waktu segala, huft." Lagi-lagi Diandra menghela napas. "Ya sudah kalau nggak mau. Gue pulang dulu ya karena mau mempersiapkan buat acara besok. Sebab, untuk tahun ini kemungkinan jarak acara MPLS dan KBO nggak terlalu jauh, sehingga persiapannya pun harus benar-benar matang," jelas Dafa. "Oh ya sudah nggak apa-apa. Sebelumnya terima kasih ya sudah mau bantuin gue dan mengantar gue pulang ke rumah." "Seharusnya gue mau minta maaf sama lo karena nggak jadi nganterin sopir lo buat ngambil motor lo di sekolah." "Iya nggak apa-apa kok, lagian kan memang sopir gue juga lagi nggak di rumah. Paling nanti sore mepet maghrib pulang." "Oh, jangan lupa istirahat ya. Gue pulang dulu," pamit Dafa. "Iya, hati-hati di jalan ya." "Iya." Diandra mengantarkan Dafa sampai di halaman rumah. Dia tersenyum kepada Dafa sambil melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Mereka berdua seperti teman yang sudah lama kenal dan lama tidak berjumpa. Padahal sih, bukan itu yang sebenarnya. Dafa menanggapinya hanya dengan senyuman lalu melajukan motornya meninggalkan halaman rumah Diandra. *** "Kakek! Nenek!" Panggil Ana sambil mengerjakan kedua matanya untuk menetralkan pandangannya. "Iya, Ana?" Sahut Slamet dan Tumi secara bersamaan. Semenjak tadi, mereka memang sengaja menjaga Ana untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Di kamar Ana memang ada televisi, sehingga bisa digunakan untuk menghilangkan rasa bosan. Di samping Tumi duduk juga ada beberapa cemilan, sehingga mereka sangat santai dan merasa senang dalam menjaga cucu kesayangannya, tidak ada sedikitpun rasa bosan dalam diri mereka. "Ana kangen banget sama Kakek dan Nenek," ujar Ana merentangkan kedua tangannya. Dengan senang hati, Slamet dan Tumi pun menyambut Ana dengan pelukan hangat. Tumi memeluk Ana dari sebelah kanan, sedangkan Slamet dari sebelah kiri. Mereka bertiga saling melupakan segala kerinduan yang selama ini terpendam. "Kakek kangen banget sama kamu," ujar Slamet. "Iya, Nenek juga kangen banget sama kamu. Kita sayang sama kamu," kata Tumi lalu mencium pipi kanan Ana. Kedua mata Ana membulat sempurna ketika merasakan ada sesuatu yang aneh. Apalagi dia melihat jam dinding menunjukkan pukul 18.30 yang artinya ada sesuatu yang Ana tinggalkan. Dia pun segera bangkit dari kasur lalu segera mengambil handuk yang berada di gantungan baju, lebih tepatnya gantungan baju di belakang pintu kamar. "Ana, kamu mau kemana?!" Tanya Slamet ketika Ana akan membuka pintu kamar. "Mau mandi, Kek, Ana mau berangkat sekolah karena sudah telat, nanti malah Ana yang kena hukuman dari kakak kelas karena tidak taat aturan, apalagi hari ini juga akan membahas mengenai masalah kegiatan KBO juga," jawab Ana. "Sekolah?" Gumam Tumi mengernyitkan kedua alisnya, lalu menatap suaminya. Mereka berdua mengendikkan bahu lalu kembali menatap Ana yang masih berdiri kebingungan. "Ada yang salah dari, Ana? Itu sudah jam setengah tujuh, nanti keburu semakin telat. Kalau mau ada pesan yang mau disampaikan nanti saja ya, maaf." Slamet dan Tumi saling menatap lalu tertawa bersama. Mereka merasa geli melihat tingkah Ana yang menurutnya cukup menggemaskan, meskipun dia sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Senyum di bibir Slamet dan Tumi yang tidak hilang membuat Ana malah kebingungan. "Ana, sudah berapa kali sih Nenek bilang kalau sore-sore tuh jangan tidur. Akibatnya seperti itu kan, mirip seperti orang gila. Ini tuh sudah malam Ana, kamu tidurnya terlalu lama seperti orang pingsan," ujar Tumi. "Jadi, kali ini Ana salah waktu ya? Soalnya Ana kira ini sudah pagi, Nek." "Itulah mengapa Nenek seringkali bilang hal-hal yang berkaitan dengan pamali, termasuk tidur sore kalau menurut orang Jawa itu termasuk kategori hal pamali." "Kenapa seperti itu, Nek?" Tanya Ana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN