"Loh, Kak Yoga?" Gumam Elsa menahan malu. Dia tidak menyangka kalau ternyata Yoga tiba-tiba berada di dekatnya, padahal tadi saja jaraknya cukup jauh. Rasanya Elsa ingin menghilangkan begitu saja ketika tertangkap basah oleh Yoga. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa karena tidak ada hal lain yang bisa dirinya lakukan. Saat ini, Ana pun ikut canggung mengingat kebersamaannya dengan Yoga di hari pertama masuk sekolah.
Ana memalingkan muka karena dia malas menatap Yoga yang seperti tidak memiliki perasaan. Apalagi dia sedikit mendengar kabar bahwa salah satu mantan Yoga ada yang rela pindah sekolah di sini hanya karena masih mencintai Yoga. Padahal sudah sangat jelas bahwa Yoga begitu menyia-nyiakannya. Ana hanya bisa tersenyum getir mengingat kelakuan Yoga yang begitu cari perhatian kepada dirinya. Padahal di luar sana masih banyak perempuan yang mengejar dirinya. Itulah mengapa sebabnya Yoga suka berbuat semena-mena karena memang kebanyakan beberapa perempuan yang mengejar, padahal seharusnya merekalah yang dikejar.
"Kenapa malah menatap ke sana Ana?" Tanya Yoga tidak sedikit pun memiliki rasa malu, sedangkan Ana menghela napas. Dia yakin dengan kehadiran Yoga maka akan membuat dirinya menjadi pusat perhatian lagi.
Semakin sering menjadi pusat perhatian maka semakin besar pula peluang menjadi terkenal di lingkungan sekolahnya. Padahal Ana sendiri tidak ingin berurusan dengan kakak kelas yang berpengaruh di lingkungan sekolah, terutama pengurus aktivis yang seringkali aktif dalam setiap kegiatan. Dia yakin kalau di sekolahnya ada 3 orang yang sangat berpengaruh, yaitu Dafa, Yoga, dan Gibran. Tidak melihat siapa orangnya dan bahkan Ana tidak terlalu mengenalnya. Hanya saja dia memiliki firasat seperti hal tersebut.
"Aku nggak mau banyak masalah, Kak," jawab Ana yang tidak sengaja menatap seorang perempuan yang sedang menatapnya tajam seperti memancarkan kebencian. Ana sendiri tidak tahu mengapa perempuan tersebut menatapnya seperti tidak begitu menyukainya. Seakan perempuan tersebut memancarkan kebencian terhadap dirinya.
"Loh, siapa juga yang mau buat masalah sama diri lo?" Tanya Yoga sedikit mengernyitkan kedua alisnya.
Untung saja sekarang giliran barisan Ana untuk melihat informasi pembagian kelompok, sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan Yoga begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Yoga. Bahkan Elsa pun dia tinggal begitu saja. Dia tidak mau kalau nanti Elsa malah menghambat keputusannya mengingat bahwa Elsa mengagumi Yoga. Semakin cepat melangkahkan kaki maka semakin cepat pula dirinya jauh dari hadapan Yoga. Dia tidak mau terlalu banyak membuang waktu.
Elsa pun segera bangkit dan mengejar Ana yang begitu santai dalam melangkah, meskipun sebenarnya Ana juga berusaha jalan cepat. Namun, langkahnya itu seperti memiliki irama yang begitu teratur. Akhirnya Elsa berhasil mensejajarkan langkah Ana. Napasnya begitu memburu karena langkahnya yang tidak teratur. Padahal di belakangnya masih ada beberapa anak lagi, tapi Elsa memang lebih nyaman dengan Ana, meskipun mereka baru saja kenal. Raut wajah datar Ana membuat Elsa semakin penasaran karena dia masih bingung terhadap tingkah Yoga dan Ana saat tadi, sekaligus hubungannya dengan Dafa. Sebab, semenjak hari pertama MPLS, Elsa melihat Ana yang begitu dekat dengan beberapa kakak kelas ganteng. Khususnya mereka yang masih terlihat sangat akrab dan dekat.
"Ana!" Panggil Elsa sambil melangkah kaki.
"Iya?" Sahut Ana.
"Kamu kok terlihat dekat sama Kak Yoga?" Tanya Elsa.
Pada saat itu juga Ana berhenti melangkahkan kaki, dia membalikkan badan lalu menatap Elsa. "Aku nggak deket kok, kebetulan dia yang menolong aku kemarin, lebih tepatnya bukan dia saja sih, ada Kak Dafa, Kak Yoga, Kak Gibran, dan Kak Diandra."
"Hah? Serius kamu bisa bersama mereka yang terkenal di sekolah ini? Ya ampun, hebat banget kamu, Na," puji Elsa yang menurut Ana tidak masuk akal.
Kali ini Ana saja tersenyum getir. Terlalu banyak berpikir, halu, dan berharap ternyata membuat seseorang seperti buta akan sesuatu, bisa dikatakan bucin sih. Namun, sayangnya ini bukan soal percintaan, tapi sebuah pengaguman terhadap orang lain. Dia tidak menyangka saja kalau ternyata orang yang kemarin menolongnya sangat berpengaruh di sekolah barunya, bahkan dari kalangan siswa baru pun banyak yang mengidolakannya.
"Nggak ada yang hebat, Elsa, mereka hanya menolong dalam keadaan mendesak. Lagian aku nggak akrab sama mereka kok," jelas Ana.
"Nggak akrab bagaimana, Ana? Kamu lihat sendiri kan bagaimana Kak Yoga menyapa kamu? Harusnya kamu perlakukan dia dengan baik sebagaimana mereka memperlakukan kamu."
"Ya gimana ya? Aku nggak terbiasa berteman dengan laki-laki," sahut Ana mengingat dirinya yang begitu grogi ketika berdekatan dengan laki-laki, kecuali dalam hal urusan penting. Dia benar-benar menjaga dirinya sendiri dari berbagai orang yang berusaha untuk menyakitinya. Banyak di luar sana orang-orang yang diam-diam hanya memiliki niatan buruk. Bukannya Ana mau berburuk sangka, hanya saja dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan mencegah dari beberapa orang yang berusaha untuk menyakiti dirinya. Begitu pun pesan kedua orang tua dan kakek nenek nya yang selama ini selalu Ana ingat.
"Oh iya, Kak Diandra tuh siapa? Dia kok nggak ada di sini?" Tanya Elsa sedikit bingung.
"Dia temannya mereka, hanya saja Kak Diandra bukan seorang aktivis, sehingga dia tidak ikut acara di sini. Kalau kamu mau ketemu sama dia bisa langsung menghampiri di kelasnya saja kok."
"Memangnya Kak Diandra kelas berapa?"
"Mungkin kelas dua belas karena Kak Dafa menjabat sebagai ketua OSIS maka kemungkinan dia sekarang kelas dua belas, nggak mungkin kan kalau saat ini ketua OSIS nya kelas sebelas karena ini melanjutkan jabatan periode tahun lalu. Biasanya yang menjadi ketua OSIS kelas sebelas karena harus ada pengalaman dalam organisasi dulu. Nah, saat ada acara MPLS dan KBO maka ketua OSIS nya sudah naik kelas jadi kelas dua belas. Nanti setelah selesai kedua acara tersebut nggak lama kemudian akan ada acara pemilu ketua OSIS dan wakil ketua OSIS. Jadi, yang nantinya akan pelepasan jabatan Kak Dafa itu loh," jelas Ana.
"Iya juga ya, Na, tapi Kak Diandra kelasnya jurusan apa ya?"
"Aku nggak tahu, Na. Bahkan kelas Kak Dafa, Kak Yoga, dan Kak Gibran saja aku juga nggak tahu. Aku cuma tahu nama mereka saja," jawab Ana.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di depan papan pengumuman. Di belakangnya, tepatnya di lapangan sudah ada beberapa anak yang berkumpul di sana dengan panitia pendampingnya masing-masing yang berasal dari Dewan Ambalan. Kini giliran Ana dan Elsa, mereka berdua maju beberapa langkah untuk mencari namanya masing-masing. Mereka berdua cukup terkejut ketika melihat namanya berada dalam satu kelompok.
"Kya! Aku senang banget bisa satu kelompok dengan kamu Ana," ujar Elsa lalu memeluk tubuh Ana. Hal itu reflek saja, akan tetapi lagi-lagi malah menjadi bahan pusat perhatian. Ana pun hanya tersenyum sebagai bentuk responnya kepada Elsa.
"Aku juga senang," sahut Ana.
"Ayo, kita gabung ke kelompok kita!" Ajak Elsa.
"Ayo, kelompok satu kan ya?"
"Iya."
Mereka berdua berjalan saling berdampingan menuju kelompok satu yang berada di barisan paling depan di pojok sebelah kanan. Di sana sudah ada 8 anak lain yang menunggu. Jadi, totalnya satu kelompok itu ada 10 anak. Senyum Elsa pun tidak luput dari bibirnya. Dia sangat bangga karena bisa langsung akrab dengan Ana yang merupakan salah satu peserta MPLS yang menjadi pusat perhatian dan incaran dari beberapa laki-laki. Elsa mengetahui hal itu karena beberapa kali dia mendengar kabar mengenai Ana. Setidaknya dengan berteman dengan Ana bisa membuat dirinya merasakan lebih percaya diri.
"Hai teman-teman!" Sapa Elsa ketika bergabung dengan teman-temannya.
"Hai! Kelompok satu juga ya?" Tanya salah satu anak yang sudah kumpul tersebut.
"Iya ni," jawab Elsa.
"Kenalin, namaku Sintia," ujar seorang perempuan berambut pendek dengan kuncir satu. Dia mengulurkan tangan tanda sebagai bentuk perkenalan.
"Aku Elsa," sahut Elsa.
"Eh, kamu ini yang namanya Ana kan ya? Yang kemarin bareng sama itu Kak siapa namanya aku lupa, intinya salah satunya ada Kak Dafa yang ketua OSIS itu," kata Sintia berusaha mengingat nama-nama teman Dafa, tapi malah dia bingung sendiri karena tak berhasil mengingatnya.
"Iya," sahut Ana singkat.
"Nggak nyangka bisa satu kelompok sama kamu. Sekarang ini banyak banget loh yang membicarakan kamu," ujar Sintia.
"Hm, aku nggak tahu sih karena memang aku nggak mau ikut campur."
"Oh jadi kamu ini yang namanya Ana, yang katanya kemarin pingsan itu kan ya. Kenalin, namaku Zea," ujar Zea mengulurkan tangan kanannya.
Ana menyambut uluran tangan tersebut sambil tersenyum. "Ana."
"Ternyata memang betul apa yang dikatakan mereka, ternyata kamu benar-benar cantik, bahkan lebih cantik dari foto dan video yang ada di media sosial. Pantas saja banyak laki-laki di sini yang naksir dan mengidolakan kamu. Salam kenal ya, namaku Nana," kata Nana dengan raut wajahnya yang begitu sumringah.
"Salam kenal juga Nana, aku Ana. Nama kita hampir sama ya, hehehe."
"Apakah semuanya sudah kumpul?" Tanya Dafa yang sudah berdiri di depan lapangan. Semua duduk rapi dengan barisannya masing-masing.
"Sudah!" Jawab seluruh peserta MPLS secara bersamaan.
"Nah, kalau sudah, setelah ini akan ada pendamping kalian masing-masing sekaligus akan ada pemberian nama sangga di masing-masing kelompok. Lakukan dengan tertib dan jangan banyak cengengesan. Apakah paham?"
"Siap, paham!"
"Oke, sekarang bagi pendamping bisa masuk ke dalam sangga nya masing-masing."
Panitia pendamping pun langsung masuk menuju ke tempat kelompoknya masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan kali ini memang cukup menegangkan dan membosankan karena tidak ada canda tawa seperti halnya kegiatan yang sebelum ini. Ketika semuanya masuk, hanya pendamping kelompok 1 saja yang belum masuk. Hal itu membuat kelompok 1 bingung sendiri. Beberapa kali mereka menjadi pusat perhatian karena berbeda sendiri.
"Pendamping kita di mana ini?" Tanya Zea.
"Nggak tahu, harusnya dia sudah berada di sini," jawab Elsa bingung. Kedua matanya menyapu halaman sekolah berharap menemukan adanya tanda-tanda keajaiban. Namun, sayangnya tidak ada sedikitpun tanda-tanda hanya ada hembusan angin yang menerpa daun kering, sehingga membuatnya jatuh dari ranting pohon.
"Duh, bagiamana ini?" Keluh Nana agak panik.
Hanya Ana saja yang diam dengan segala rasa panik. Dia tidak suka ikut campur dan tidak mau tahu jika ada hal-hal buruk yang sedikit membuatnya bingung dan ketakutan. Hanya saja dia berusaha untuk terus menetralkan apa yang dirinya rasakan. Semakin menghindar maka semakin terasa berat. Aneh sih, tapi memang itulah yang terjadi pada diri Ana.
"Na, bagaimana kalau pendamping kita nggak ada?" Tanya Elsa.
"Nggak mungkin, tunggu saja nanti pasti datang kok," jawab Ana.
"Ana, kamu kok terlihat santai saja sih? Padahal kita tuh lagi panik loh karena di kelompok lain sudah mulai, sedangkan kita belum apa-apa."
"Ngapain panik? Kita nggak berbuat kesalahan, tapi pendamping kita yang tidak tepat waktu. Kalau kita kan tepat waktu. Lagian ngapain pada panik, coba deh berpikir pakai logika, mana mungkin bisa-bisanya kelompok satu malah nggak ada pendamping, apalagi satu itu kan pertama dan selalu paling depan. Sangat mustahil kalau hal tersebut terjadi dan aku nggak percaya saja kalau memang hal itu terjadi di kelompok kita. Tunggu saja sampai orangnya datang," jelas Ana.
Beberapa dari mereka ada yang mengangguk-anggukkan kepala karena setuju atas pendapat Ana. Memang ada benarnya juga dan kalimat Ana cukup bisa menenangkan hati. Tak lama kemudian datanglah seseorang yang sibuk membawa beberapa lembar kertas dan tas nya yang bertengger di punggungnya.
"Maaf, saya telat," ucap perempuan tersebut.